December 20, 2009

Sinisme Infotainment VS Luna Maya

Isu Manohara Odelia Pinot mengalahkan "pamor" berita politik? Bahkan, yang tergolong agenda politik nasional? Nyatanya, iya. Dan tanpa dianalisis dengan pisau analisa yang tajam pun, jawabannya akan selalu iya. Hukum pasar yang merupakan cerminan selera masyarakat memang selalu berpihak kepada bidang hiburan dibandingkan bidang lain. Terlebih lagi layar kaca? Bukankah berbagai riset memperlihatkan jumlah penonton tertinggi adalah kaum hawa. Dan mohon maaf - ini tidak ada kaitannya dengan sinisme gender - bukankah kaum perempuan lebih berselera terhadap sajian-sajian yang ringan dan menghibur? Jadi kenapa juga harus heran? Dan, bagaimana dampaknya jika durasi program infotainment mulai mendekati kapasitasnya yang diberikan program berita?

Tanpa disurvei dan dihitung secara quick count, saya akan memastikan program infotainment akan makin bersinar. "Makin berbeling-beling," kata presenter program infotainment Insert di TransTV, Cut Tari. Ibarat sebuah pasar swalayan, kabar seputar selebriti ditempatkan di rak mana pun akan selalu dicari orang. Terlebih lagi bila "produk" itu disediakan rak yang lebih strategis. Maka, hiburan akan semakin berkibar dan memukul bidang-bidang masalah lain. Apalagi politik yang bikin kepala pusing dan rambut rontok. Pilpres? Hare gene ngomongin pilpres?!

Maka sangat wajar bila demam Manohara mampu mengungguli popularitas SBY atau capres-capres lain. Jangan heran bila drama Manohara bisa mengalahkan kesakralan pilpres. Selain diunggulkan secara bidang masalah, hal itu ditunjang jatah durasi yang makin membengkak. Setiap stasiun televisi paling tidak menyediakan slot selama 1,5 jam per hari untuk program infotainment. Sedangkan program berita memiliki durasi rata-rata 2,5 jam per hari. Bisa dibayangkan bila kasus Manohara menguasai durasi di setiap program infotainment di setiap stasiun televisi? Betapa ia mendapat jatah durasi teramat besar, plus cuma-cuma alias gratis. Sedangkan para peserta pilpres tampil hanya beberapa menit saja di setiap program berita.

Ketika tengah "berjuang" untuk memakmurkan keluarga pada 1996-an, saya juga sempat menjadi penulis lepas di sebuah rumah produksi yang membuat sebuah program infotainment. Saat itu, program gosip seputar selebriti masih dua dan hanya ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi. Jadi masih belum seramai sekarang dan saat itu, sang "saudara tiri" memang masih bayi.

Saya tidak akan bercerita soal liku-liku keterlibatan dalam rumah produksi itu. Namun, saya hanya bertutur soal pelajaran berharga saat diminta mengemas setiap item dalam program itu. "Berita infotainment itu isinya gambar-gambar sampah. Jadi, kita bermain dengan narasi. Usahakan setiap sampah ini jadi berita," kata Redaktur Pelaksana di rumah produksi itu.

Maksudnya gambar-gambar sampah adalah gambar-gambar yang tidak terlalu penting, tidak mengikuti kaidah grammar of the shots, dan "astrada" alias asal terang gambar ada. Artinya, peristiwa dalam gambar itu pun bukanlah peristiwa hebat dan memenuhi syarat-syarat nilai berita. Dan agar sampah itu menjadi berita, maka gambar-gambar sampah itu harus ditempeli data terbaru dari orang yang terlihat di gambar. Prinsif kesesuaian antara narasi dan gambar memang tidak berlaku. Yang penting, penulis memiliki data untuk diceritakan. Entah data pribadi, cerita katanya-katanya, dugaan-dugaan, dan berbagai macam jurus "pelintiran". Pokoknya, cerita nomor satu dan gambar jadi pelengkap syarat sebagai produk televisi. Sorry, saya tidak menyebut kumpulan data itu sebagai fakta. Karena, fakta tidak pernah berurusan dengan isu, rumor, gosip, dugaan, dan segala pelintiran.

Untuk menutupi kelemahan kontinuitas atau kesinambungan sequence, maka video editor memaksimal segala macam efek pada alat penyuntingan gambar. Selain itu, cara membacakan narasi atau voice over yang "khas" - bermain-main dengan intonasi dan aksen pada kata-kata tertentu - dan ilustrasi musik juga menjadi jurus andalan. Ingat Fenny Rose saat mempresentasikan dan membacakan narasi program infotainment Silet. Belakangan, gaya centil dan sedikit nyinyir juga diperlihatkan para presenter program para selebriti itu.

So, sejak masa perkenalan saya dengan jagat infotainment pada 1996 hingga sekarang, ternyata sang "saudara tiri" telah berkembang dengan pesatnya. Program infotainment dan rumah produksinya bukan lagi dua. Tapi, sudah menjadi belasan. Bahkan, sejumlah stasiun televisi memiliki pasukan khusus untuk memproduksi program tersebut secara in-house. Atau, sedikitnya menjalin kerjasama dengan rumah produksi. Sehingga, posisinya sudah merupakan saudara tiri yang sangat disayang oleh sang "raksasa".

Meskipun demikian, secara content, mohon maaf tidak berubah. Dari segi getting gambar memang makin luar biasa. Para reporter dan kamerawan semakin ulet, nekat, dan nyaris seperti Rajawali. Tapi dari segi pengemasan data dengan narasi sebagai menu utama, sekadar menjejalkan data dan kecurigaan-kecurigaan yang cenderung fitnah ke atas gambar. Sehingga tidak jelas lagi, mana data dan mana prasangka? Maaf, ya... (syaiful HALIM, GADO-GADO Sang Jurnalis: Rundown WARTAWAn ECEK-ECEK, Gramata Publishing, 2009, slug 20)

December 12, 2009

Bedah "Gado-Gado Sang Jurnalis"

Krisis keuangan global dan pembelakuan Undang-Undang Penyiaran menyengat industri televisi di Tanah Air. Bagaimana dengan masa depan lembaga pers di lingkungan stasiun televisi, akan menjadi suram atau sebaliknya?

Pertanyaan serius dan ironi itu muncul seiring dengan rumor tawaran pensiun dini (baca: PHK terselubung) dan gonjang-ganjing yang mewarnai perjalanan lembaga pers di stasiun televisi beberapa tahun ini. Beberapa jurnalis televisi (atau mantan) menuliskannya dalam blog atau menerbitkannya melalui jejaring sosial facebook. Artinya, diam-diam memang ancaman "madesu" memang tengah mengintai para jurnalis televisi.

Entah kesengajaan atau tidak, ternyata isu itu juga muncul dalam buku GADO-GADO sang jurnalis; rundown WARTAWAN ECEK-ECEK yang ditulis jurnalis SCTV, syaiful HALIM. Bahkan, lengkap dengan gambaran "politik ecek-ecek" yang terjadi di lembaga pers di sejumlah stasiun televisi, yang diduga untuk mengkebiri ketajaman dan kemapanan lembaga pers tersebut. Dan untuk mempertegas atmosfir keprihatinan dan kenyataan di dalamnya, sang Wartawan Ecek-Ecek akan berbicara langsung pada:

Rabu, 16 Desember 2006
Pukul 13.00-15.00 WIB
Bertempat di Auditorium Kampus Universitas Sahid Jakarta, Jalan Profesor Dr. Soepomo, Jakarta Selatan
Dengan topik "Menelisik Prospek Jurnalis Televisi di Tanah Air"

"Saya hanya bisa mengatakan, jutaan anak-anak bangsa dari berbagai kalangan masih menjadikan stasiun televisi sebagai salah satu impian. Ribuan mahasiswa dari fakultas-fakultas tertentu masih membidik dunia jurnalime televisi sebagai salah cita-cita," tegas sang Wartawan Ecek-Ecek, syaiful HALIM, dalam blognya.

Benarkan masa depan para jurnalis televisi akan suram pada masa-masa mendatang? Adakah buku GADO-GADO sang jurnalis: rundown WARTAWAN ECEK-ECEK membuktikan kekhawatiran itu?

Untuk mendapatkan jawaban paling akurat, ada baiknya menbaca buku itu terlebih dahulu dan mengikuti penuturan penulisannya pada workshop singkat ini.

JANGAN IKUTI ACARA INI, BILA ANDA INGIN DISEBUT ECEK-ECEK!

December 9, 2009

Pembunuhan Itu, Setelah 34 Tahun

Lembaga Sensor Film Indonesia akhirnya benar-benar "menggunting" Balibo Five. Selasa lalu, film yang digagas Foreign Correspondents Club itu dinyatakan tidak bisa diputar di Blitz Megaplex beberapa jam sebelum jam tayang. Tak ada kejelasan alasan dari LSF perihal pelarangan film itu. Dukungan dari Departemen Luar Negeri, Mabes TNI, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan orang-orang di Senayan terhadap keputusan LSF tadi akan tetapi menunjukkan memang ada kekhawatiran yang luar biasa terhadap pemutaran Balibo Five meski tidak jelas, kenapa mereka harus khawatir.

Kemarin, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) karena itu memprotes keputusan LSF. AJI menganggap pelarangan itu bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi dan tidak menghormati hak masyarakat untuk tahu. Alasan bahwa Balibo Five akan menciderai hubungan Australia dan Indonesia seperti yang diungkapkan oleh Pak Menteri Pariwisata, Jero Wacik, oleh AJI dianggap berlebihan. AJI sebaliknya menduga, pelarangan Balibo Five bermuatan politis karena film itu mengungkap pembantaian lima jurnalis asing di Balibo, Timor Leste, 34 tahun silam.

Apa yang dimaksud sebagai peristiwa Balibo adalah tragedi yang terjadi pada 16 Oktober 1975 ketika situasi Timor Portugal (nama saat itu) berada dalam kondisi perang saudara. Balibo adalah nama kecamatan di Kabupaten Bobonaro.

Hari itu, dua faksi bersenjata Timor Portugal diberitakan terlibat dalam kontak senjata: UDT dan Apodeti melakukan serangan mortir besar-besaran untuk merebut kota kecamatan itu dari Fretilin. Diketahui di kemudian hati, lima wartawan asing yang meliput kejadian di Balibo itu ikut tewas. Mereka adalah Brian Peters dan Briton Malcolm Rennie yang bekerja untuk Channel Nine Australia; Greg Shackleton, Tony Stewart (Inggris), dan Gary Cunningham, juru kamera yang bekerja untuk Channel Seven. Mereka tewas dalam kondisi hangus terbakar di sebuah toko kelontong milik saudagar Cina.

Pemerintah Australia di bawah Perdana Menteri Gogh Whitlam waktu itu mengetahui, pasukan Indonesia memang tengah menyusup ke Timor Portugal. Mereka juga tahu dua wartawan Australia berada di Balibo tapi Canberra belum membuka cerita secara lengkap. Salah satu teka-teki dari cerita yang belum dibuka secara lengkap itu misalnya, kehadiran dua wartawan Australia bersama tiga rekannya di Balibo justru bertepatan dengan sikap Washington dan Canberra yang memberi lampu hijau kepada Jakarta untuk menginvasi Timor Portugal.

Terbunuhnya lima wartawan itulah yang belakangan membuat hubungan Indonesia-Australia panas-dingin. Pengadilan tinggi (koroner) negara bagian New South Wales dua tahun lalu misalnya, pernah menyimpulkan, dua wartawan Australia, dua wartawan Inggris dan satu juru kamera dari Selandia Baru itu telah dibunuh oleh pasukan Indonesia. Dikutip Sydney Morning Herald edisi 16 November 2007, Dorelle Pinch, deputi koroner pengadilan, menyebutkan, pembunuhan dilakukan agar rencana Jakarta menerjunkan pasukan di Timor Timur tidak diberitakan oleh kelima wartawan.

Jakarta menolak keras kesimpulan Pinch, tentu saja. Departemen Luar Negeri mengatakan kesimpulan tersebut sama sekali tidak mengubah sikap pemerintah Indonesia. Dikutip oleh BBC Kristiarto Legowo, Jubir Deplu mengatakan saat itu, pengadilan koroner negara bagian New South Wales mempunyai yurisdiksi yang sangat terbatas. Penolakan yang kurang lebih serupa, juga disampaikan oleh Menteri Pertahanan dan Panglima TNI.

Sejumlah Laporan
Hingga 1990-an banyak laporan jurnalistik yang mencoba melakukan investigasi atas kematian lima rekan mereka. Salah satunya ditulis oleh Jill Jolliffe dalam buku Cover Up, The Inside Story of the Balibo Five (2000). Buku itu antara lain mengungkapkan pelaku penembakan terhadap kelima wartawan adalah pasukan Kopassus (Kopasandha). Yunus Yosfiah yang disebut-sebut oleh buku itu, pernah mengaku memang bertugas di Balibo ketika lima wartawan itu sekarat tapi dia membantah telah membunuh mereka. Beberapa kesaksian menyebutkan kelima wartawan ditembak dengan telak dari jarak 10 meter.

Lalu ketika Timor Timur lepas dari Indonesia pada 1999, para saksi mata mulai banyak yang berbicara soal insiden Balibo. Mereka antara lain adalah Guilherme Gonzalves, Raja dari Apodeti, dan anaknya, Thomas; juga Paulino Gama. Mereka menceritakan keterlibatan pasukan Indonesia dalam peristiwa itu kepada Radio Nederland.

Dalam penyelidikan dan persidangan Glebe Coroner Court di Sydney 6 Februari 1997, seorang saksi kunci yang adalah orang Timor Timur menyatakan pasukan Indonesia telah menembak kelima wartawan tersebut. Dia juga mengaku melihat para pasukan lainnya menembaki rumah yang dihuni para wartawan selama dua hingga tiga menit. Saksi yang diberi kode “Glebe 1” itu mengaku melihat dua warga kulit putih dengan tangan mereka di atas kepala tapi tembakan terus dilakukan. Setelah dibunuh mayat kelima wartawan lalu dibakar di dalam rumah selama dua hari.

Setahun sebelumnya, sebuah penyelidikan yang dilakukan oleh PBB menyimpulkan bahwa para wartawan tersebut secara sengaja dibunuh oleh pasukan Indonesia. Penyelidikan PBB atas sejumlah saksi itu dibuat dalam laporan setebal 2.500 halaman. PBB antara lain merekomendasikan agar "perlu diadakan penyelidikan lanjut atas fakta (kebenaran) yang sulit dari peristiwa tersebut". Namun hingga lebih 10 tahun, penyelidikan PBB dan persidangan di pengadilan Australia tak menghasilkan keputusan apa pun karena beberapa orang Indonesia yang disebut-sebut terlibat dalam kasus itu tak pernah bisa dihadirkan dalam persidangan.

Sebelum pasukan Indonesia menyerbu Timor Timur 15 Desember 1975 dengan sandi Operasi Seroja, Jakarta memang menggelar operasi khusus. Operasi pertama dengan sandi Operasi Komodo digelar sejak awal Januari 1975 dengan melibatkan satuan tugas dari unsur tentara di bawah komando Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Operasi itu lalu dilanjutkan dengan Operasi Flamboyan hingga masuknya pasukan Indonesia ke Timor Timur. Selain untuk memantau perkembangan yang terjadi, target dari operasi penyusupan adalah menjalin kontak dengan para warga Timor Portugal yang bermaksud berintegrasi dengan Indonesia.

Karena bersifat tertutup, dalam penugasan itu seluruh pasukan tidak mengenakan seragam tentara resmi. Sebagai gantinya mereka mengenakan pakaian sipil agar tidak menarik perhatian: celana jins, kaus oblong dan sebagainya. Beberapa komandan lapangan ditugaskan untuk menyamar sebagai mahasiswa yang sedang kuliah kerja nyata. Senjata dan amunisi dimasukkan ke dalam karung yang dibubuhi dengan tulisan alat pertanian.

Tugas awal mereka adalah melatih para simpatisan pemuda Timor Portugal yang menghendaki wilayahnya menjadi bagian dari Indonesia. Saat satu regu unit operasi dari pasukan Indonesia berada di Balibo, lima wartawan itu juga berada di kota kecamatan itu.

Itu mirip dengan operasi yang sama yang dilakukan oleh pasukan Green Baret Amerika, sebelum tentara Amerika terlibat dalam perang Korea, menyerbu Vietnam, dan belakangan menginvasi Irak dan Afghanistan. Pasukan khusus itu datang terlebih dulu, menyusup sebagai penduduk sipil, melatih penduduk setempat dan mengondisikan sasaran untuk kedatangan tentara yang lebih masif.

Lalu sebelum Pinch menyampaikan kesimpulan di pengadilan tinggi New South Wales, pemerintah Australia dan Indonesia sebetulnya telah sepakat menyebutkan kelima wartawan tewas secara tak sengaja dan menyatakan kasus itu telah selesai. Namun Pinch mengaku menemukan fakta yang bertentangan soal kasus tersebut. Menurut Pinch, ada bukti-bukti bahwa Yunus Yosfiah, Christoforus da Silva, L.B. Moerdani dan Dading Kalbuadi terlibat dalam kematian lima wartawan tersebut.

Perintah pembunuhan diberikan oleh Moerdani selaku komandan intelijen kepada Dading Kalbuadi atasan Yunus dan Christoforus. Setelah Timor Timur masuk menjadi wilayah Indonesia, Moerdani dan Dading mendirikan PT Denok Hernandes Indonesia yang memonopoli pembelian dan ekspor kopi dari Timor Timur. Mereka dibantu oleh dua bersaudara, Robby dan Hendro Sumampouw yang ikut membiayai operasi militer pasukan Indonesia ke Timor Timur saat itu.

Lalu siapa pembunuh kelima wartawan itu? Film Balibo Five yang akan diputar Kamis malam ini di Teater Utan Kayu, Jakarta mencoba mencari jawaban atas teka-teki yang tertutup selama 34 tahun meski mungkin tidak akan memuaskan semua pihak. Satu hal yang pasti, Jakarta dan Canberra, mestinya bisa belajar untuk lebih serius dan jujur mengungkap apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Itu termasuk tentang kesepakatan yang terjadi antara kedua negara sehingga tentara Indonesia bisa diterjunkan ke Timor Timur sejak Desember 1975, dua bulan sebelum kelima wartawan nahas itu dibunuh.[Rusdi Mathari]

"Balibo" , Tragedi Jurnalis

"BALIBO" , TRAGEDI JURNALIS

Tigapuluhsatu tahun setelah pembantaian lima wartawan asing di Balibo, Timor Leste, puluhan laporan investigatif, buku dan laporan polisi PBB dan komisi parlemen Australia telah menghimpun bahan untuk membongkar kasus tsb. Kini, giliran keluarga korban memburu para pelaku 'Balibo' melalui peradilan. Pekan silam, menyusul tuntutan kerabat salah satu wartawan yang tewas, Brian Peters, pengadilan di Sidney, Australia, mendengar keterangan saksi-saksi baru. Lagi-lagi muncul nama beken seperti "Mayor Andreas", yang tidak lain adalah mantan Menteri Penerangan Letjen pur. Yunus Yosfiah.

Suatu hari, pertengahan Oktober 1975, sebuah satuan RPKAD memasuki Balibo, di ujung barat Timor Leste, waktu itu Timor-Portugis. Portugal baru setahun menyiapkan dekolonisasi jajahan-jajahannya. Di Jakarta, Timor-Portugis menjadi "ancaman komunis di pekarangan Indonesia" yang harus "dipasifikasi" ke dalam negara kesatuan. Menlu Adam Malik bersedia mengakui hak kemerdekaan Timor-Portugis, tapi kalangan militer memilih operasi klandestin. Di Canberra, PM Gough Whitlam gagal melobi Lisbon agar Timor tetap di bawah Portugal dengan harapan meraih minyak bumi di Celah Timor, lantas berharap Jakarta dapat menyelesaikan gejolak Timor. Para jenderal di Jakarta menafsirkannya sebagai "lampu hijau" Australia meski dubesnya di Jakarta, Richard Woolcott, tahu benar apa yang sebenarnya terjadi
berkat hubungan baiknya dengan Mayjen. Benny Moerdani.

Di tengah konspirasi dan ketidakpastian itu, para arsitek "TimTim" - Ali Moertopo, Yoga Sugama dan Benny Moerdani - cuek saja. Dan Canberra mengutamakan hubungan baik dengan Soeharto. Akibatnya, tidak hanya rakyat Timor terjepit, tapi pers bebas juga.

Ketiga arsitek BAKIN dan Opsus itu melanjutkan Operasi Flamboyan dari Atambua, Timor Barat (NTT), untuk menyulut perang saudara di Timor-Portugis. Komandannya, Kol. RPKAD Dading Kalbuadi, mengaku bermimpi dapat menguasai Timor Portugis dengan metode bujuk dan gertak semacam ulah Inggris menguasai Transjordania. "Seperti (cara) Lawrence of Arabia itu, lho, mas," tutur Dading (Radio Nederland 1995) yang membawahi tiga satuan RPKAD, Tim Umi, Tim Tuti dan Tim Susi. "Mereka masuk Timor (Timur), menyamar sebagai turis, dengan nama-nama berbau Portugis dan membawa kamera dan peta," ungkap Jose Martins (1992), mantan pembantu Ali Moertopo.

Mendengar kehadiran lima wartawan televisi asing, Komandan Tim Susi, Mayor Andreas, bertopi turis, berrambut gondrong dan dibantu kelompok Apodeti yang pro-Jakarta, menuju Balibo. Beberapa jam sebelumnya, menurut sadapan intelejens Australia, Benny Moerdani berpesan kepada Dading Kalbuadi "We can't have any witness". Dading menjawab "Don't worry!" (Jill Jollife, Cover Up, The Inside Story of the Balibo Five, 2001, h. 312)

Apa yang terjadi kemudian, kita tahu. Pada 16 Oktober 1975 kelima wartawan asing itu - Gary Cunningham, Gregory Shackleton, Tony Stewart, Brian Peters and Malcolm Renie - mati konyol. Mereka bukan korban "di tengah baku tembak" (cross fire) antara tentara Indonesia dan gerilya Fretilin seperti diklaim Jakarta. Jakarta menyiarkan gambar-gambar mereka setelah jasad mereka diberi baju seragam Fretilin (untuk memberi pembenaran pada pembunuhan kepada wartawan tak bersenjata), kemudian dibakar di sebuah toko Cina.

Banyak laporan jurnalistik investigatif telah menunjukkan bahwa mereka ditembak dengan telak (cold blood). Empat mati ditembak, satu ditusuk. Mantan Konsul Australia James Dunn, mantan Presiden Fretilin Xavier do Amaral, pemimpin Apodeti Raja Guilherme Gonzalves, anaknya, Thomas, dan mantan Komandan Fretilin Paulino "Mouk Mouruk" Gama menceritakannya (Radio Nederland, media Australia, 1990-1995).

Tapi baru sejak Timor Leste merdeka, saksi mata mulai bicara. Jill Jollife dalam bukunya Cover Up tsb mengungkap secara rinci latar seputar peristiwa keji itu. Menurut J. Martins, di antara satuan RPKAD, ada "beberapa yang kejam, termasuk Mayor Andreas dan Sinaga". Jill Jolliffe memastikan, "Mayor Andreas" adalah Kapten RPKAD Yunus Yosfiah dan sumber lain menyebut satuan Susi menembak dari jarak 10 meter. Tahun 1999 Yunus membantah, dia mengaku tak pernah bertemu wartawan, tapi membenarkan, satuannya pada Oktober 1975 berada di Balibo selama 10 hari. Di kota sekecil Cimahi selama itu tidak mendengar insiden lima warga asing yang menyandang kamera?

Pekan silam, Pengadilan Glebe Coroner di Sidney tidak menambahkan detil baru yang penting. Sejumlah saksi anonim, Glebe Two, Glebe Four dan Glebe Five kembali menegaskan bahwa Yosfiah sendiri tidak pernah melepas tembakan. Sebagai komandan dia memberi perintah "Tembak saja, Tembak saja!" "Bohong, bohong!" bantah Yosfiah dari Jakarta pekan lalu. Seorang saksi mata baru mengatakan, tentara Indonesia mengejar kelima wartawan tsb. Rakyat memperingatkan mereka agar lari, tapi mereka menolak karena yakin wartawan tak akan dilukai. Mereka hanya berseru "Australia, Australia!". Seorang saksi memperingatkan anggota Tim Susi, wartawan tak boleh ditembak.

Kelima wartawan na'as itu "berdosa" karena ingin meliput operasi militer, sebuah hot item, agresi yang melanggar Piagam PBB - juga melanggar mukadimah konstitusi Indonesia sendiri. Mereka menjadi korban dari sebuah halaman pengantar (prelude) menuju perang besar nan kotor.

Kurang dari dua bulan kemudian, lengkaplah agresi tsb dengan lampu hijau Presiden AS Gerard Ford dan invasi besar 7 Des. 1975. Selebihnya kita tahu: TimTim jadi jajahan, ditelan tragedi kemanusiaan, kita menjadi penjajah, asas politik luar negeri Non Blok menjadi hipokrisi, dan solidaritas Asia-Afrika (Bandung 1955) pudar.

Pemerintahan PM Gough Whitlam pada Oktober 1975 tahu benar bahwa tentara Indonesia tengah menyusup. Mereka tahu ada operasi Flamboyan dan kelima wartawannya ada di Balibo, tapi Canberra hingga kini berkelit. Komisi Parlemen Sherman (1996) hanya meragukan klaim Jakarta tentang "baku tembak". Akhirnya, tim polisi PBB Civpol yang mengusut kasus Balibo kandas karena Jakarta menolak mengirim para saksi dan tersangkanya ke Dili.

Sisi Indonesia dari Operasi Flamboyan tetap gelap. Banyak nama beken selain Yunus Yosfiah, terlibat operasi, seperti Krisbiantoro, Bibit Waluyo (Cagub DKI) dan Soetiyoso (Gub. DKI). Pers Indonesia diam, ada yang menjadi bagian propaganda militer (worse than embedded) dan sebagian besar dipasung Orde Baru. Belakangan, ketika wartawan film media Jepang, Agus Muliawan, dan sejumlah wartawan lokal dan asing tewas di masa bumi hangus Tim-Tim Sept. 1999, pers Jakarta juga tak banyak bersuara. Di Indonesia, kebanyakan wartawan jadi korban di
masa damai. Baru ketika wartawan RCTI Ersa Siregar tewas semasa tugas di Aceh, Des. 2003, pers ramai, tapi hasil penyelidikan TNI yang dijanjikan Jen. Ryamirzard Ryacudu tak pernah terdengar.

Kasus Balibo 1975 adalah tragedi wartawan perang di tengah Perang Dingin. Yunus Yosfiah pernah mengaku "ABRI mungkin menakutkan, tapi saya seorang demokrat." (Kompas 27 Juni 1999). Tapi 'Balibo' juga kasus pembunuhan wartawan terbesar sejauh ini.

Bagi pers Indonesia pasca-SIUPP, apalagi di Hari Pers 9 Februari ini, 'Balibo' mustinya pedih, sebuah ironi, karena melibatkan seorang mantan Menpen di bawah Presiden Gus Dur yang pernah berjasa mencabut SIUPP. "Balibo" pantas menjadi simbol masa kelam pers dunia dan dunia pers di masa Orde Baru.

Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi Timor Leste CAVR (2006) dalam laporannya kepada PBB menyarankan agar menyelidiki kembali sejumlah kejahatan HAM, di Timor Leste, termasuk "Balibo". Menarik pula, Komisi-bersama Indonesia dan Timor Leste untuk Kebenaran dan Persahabatan CTF hanya mencakup seputar bumi hangus 1999. CTF melanggengkan impunitas dengan menjanjikan amnesti bagi mereka yang mengaku terlibat pelanggaran HAM, tapi mengabaikan kasus kasus historis sebelumnya. Jadi, kedua negara masih harus menghadapi kasus Balibo - idem dito kasus pembantaian Kraras 1983 (Letnan Kopasandha Prabowo) dan yang lain.

Walhasil, bagi banyak pihak, kisah Timor masih panjang. Hantu Balibo dan sejenisnya masih akan terus membayang-bayangi mereka yang bertanggungjawab.[Aboeprijadi S]

December 8, 2009

Menyoal "Gado-Gado Sang Jurnalis"

Sesaat setelah buku Gado-Gado Sang Jurnalis: Rundown Wartawan Ecek-Ecek memasuki rak toko buku, seorang sahabat menyodorkan dua kritik serius kepada saya. Yakni, soal pemilihan tokoh "saya" dan momen peluncurannya yang dianggap berbanding terbalik dengan kondisi sekarang.

"Kenapa juga harus sampean sendiri yang menjadi kendaraan cerita. Apa tidak khawatir buku itu bakal disebut otobiografi? Bahkan, sampean bisa dicap pemuja aliran narsis?!"

Astaghfirullah. Buru-buru saya membuka lembar demi lembar buku itu dan membacanya secara seksama. Seteliti, mungkin. Kali ini, saya harus memastikan kebenaran kesan itu. Dan jurus memilih posisi sebagai pembaca harus saya pilih. Karena, saya membutuhkan jawaban obyektif.

Kalau hal itu terbukti benar, maka sesungguhnya saya tengah dihadapkan pada dua persoalan besar. Pertama, saya telah melanggar komitmen spiritual untuk istiqomah berzuhud secara batin. Kedua, saya telah melanggar komitmen berkesenian untuk tidak melakukan -- maaf -- masturbasi!

"Setiap amal tergantung niatnya. Katanya guru saya, hahaha...," sahut saya mencoba menanggapi kritik serius itu seraya berpura-pura mengabaikan konflik batin di pikiran.

Namun, di balik kutipan yang sejatinya hadits Rasulallah SAW itu saya ingin bertutur bahwa alasan-alasan "pelanggaran" komitmen secara spiritual atau berkesenian itu. Ketika harus memilih kendaraan "saya", seperti juga telah dipaparkan dalam kata pengantar, hal itu lebih disebabkan untuk mendapatkan kemudahan. Karena memilih tokoh lain pastinya akan dihadapkan berbagai persoalan administrasi, royalti, waktu, dan sejuta alasan lain.

Selain itu, mendapatkan tokoh dari kalangan "bawah" -- dunia jurnalistik televisi -- dengan banyak cerita juga bukan perkara gampang. Karena, bisanya kalangan "bawah" sangat sedikit mendapatkan kesempatan untuk menabung pengalaman dan cerita.

Daripada niatan membagi pengatahuan dan pengalaman terhambat masalah karakter, maka diputuskanlah "saya". Untuk mengimbangi dominasi "saya", saya juga menyediakan ruang untuk teman-teman lain -- dari kalangan "bawah" -- yang selama ini tidak tersentuh tinta sejarah. Dan menorehkannya dalam bentuk cerita atau foto. Dengan porsi kecil itu saya berharap, pembaca juga mengenal "wartawan ecek-ecek" lain yang selama bertahun-tahun ini meramaikan jagat pertelevisian kita.

"Apa mereka memang layak masuk catatan sejarah itu?"

"Iya. Selama ini publik lebih mengenal kalangan 'atas' atau selebritas -- presenter atau anchor program berita -- yang sering tampil di layar kaca. Padahal di balik kecemerlangan mereka juga terdapat para praktisi lain yang angat bekerja keras. Buat saya, masyarakat juga perlu menjadikan orang-orang itu inspirasi. Orang kalangan 'bawah' pun berhak menjadi inspirasi," jelas saya meyakinkan.

Tentang kritik kedua?

Saya sangat tahu, arah kritik itu ditujukan kepada situasi gonjang-ganjing yang belakangan ini dialami sejumlah stasiun televisi nasional. Entah menyangkut keterlibatan pemilik modal atau jajaran pengelola stasiun televisi secara langsung dalam menata lembaga pers di dalamnya. Atau soal masa depan pertelevisian itu yang tengah diuji krisis keuangan global atau pelaksanaan Undang-Undang Penyiaran. Singkatnya, efisiensi yang berujung pada pemangkasan karyawan. Dan, tentu saja, masa depan lapangan pekerjaan di bidang penyiaran.

Kali ini, saya hanya bisa mengatakan, jutaan anak-anak bangsa dari berbagai kalangan masih menjadikan stasiun televisi sebagai salah satu impian. Ribuan mahasiswa dari fakultas-fakultas tertentu masih membidik dunia jurnalime televisi sebagai salah cita-cita. Dan mereka membutuhkan referensi. Baik menyangkut teori keilmuannya maupun praktik nyata di lapangan. Bahkan, peta "politik" di dalamnya.

Bahwa momen peluncuran buku dan kondisi usaha stasiun televisi yang berbanding terbalik bukanlah penghalang untuk terus berbicara tentang dunia jurnalisme. Khususnya, jurnalisme televisi. Sebagai pengetahuan atau ilmu, jurnalisme tidak akan pernah mati dan masih akan terus berkembang sejalan dengan perubahan-perubahan zaman. Karena itu, buku-buku yang berkaitan dengan masalah itu pun masih sangat dibutuhkan tanpa terusik situasi lapangan kerja.

Dan untuk ke dalam, wawasan tentang jurnalisme televisi itu juga membutuhkan otokritik. Ketika dunia tersebut menempati papan atas dan dalam kesombongan yang teramat sangat, para pengelolanya lupa dan lengah bahwa tren selalu berputar dan minat penonton juga ikut bergeser. Pada akhirnya, kebijakan pemilik modal dan pengelola stasiun telivisi pun harus berakrobat untuk mempertahankan laju usahanya.

"Bagian itulah yang saya pikir sangat ironi," kata teman saya lirih.

Ironi?

Buat saya dan teman-teman dari kalangan "bawah" yang termasuk dalam cerita buku, baik yang masih bertahan maupun resign, hal itu bukan sekadar ironi. Tapi, sangat ironi. Bahkan, sangat-sangat ironi![gado-gado SANG JURNALIS]

November 26, 2009

TANGERANG BOOK FAIR

Dapatkan buku "GADO-GADO sang jurnalis: rundown WARTAWAN ECEK-ECEK" di Tangerang Book Fair yang digelar di Kantor Walikota Tangerang, 30 November hingga 03 Desember 2009.


November 18, 2009

Berbagi Ilmu Penulisan

Selama tiga bulan terakhir ini saya menjadi guru workshop penulisan di sebuah yayasan di Bandung. Workshop tersebut berlangsung tiap Sabtu, akan berakhir pada Sabtu, 20 November 2009 nanti, ditandai dengan acara nonton bareng film tentang penulis---kami masih menimbang apa akan nonton tentang Beatrix Potter atau Harvey Pekar. Sekitar dua bulan sebelumnya saya juga menjadi instruktur kelas serupa di visikata.com. Namun karena gagal berkomitmen, saya mengundurkan diri dua minggu sebelum program tersebut akan selesai.

Sebenarnya saya enggan menjadi guru, sebab kemampuan pedagogi saya boleh dibilang nol. Yang lebih membuat saya suka ialah pengalaman berbagi dengan para peserta. Momen itu sangat berharga, dari sanalah saya bisa menyerap ilmu dan pengetahuan milik orang lain. Lepas dari kekurangan sebagai instruktur menulis, entah kenapa saya bersemangat sekali ingin merenung setelah workshop itu selesai. Ada apa dengan kemampuan menulis? Ini bisa jadi sangat terkait dengan kebiasaan baca juga.

Agak mengherankan ada peserta yang ikut pada pertemuan pertama, tapi setelah itu tak pernah muncul kembali. Atau sebaliknya, awalnya tampak bersemangat, menunggu-nunggu, bahkan janji akan terus hadir selama masa workshop, tapi begitu dimulai tak sekali pun batang hidupnya tampak. Ada juga yang persis tahu workshop sedang berlangsung, tapi ternyata dia memilih aktivitas lain. Kejadian ini membuktikan ternyata tak semua niat kuat itu akhirnya terlaksana. Ini mirip dengan sesal sebagian orang yang gagal membaca tumpukan buku, meskipun dia semangat berniat menghabisinya, tapi waktunya ternyata habis buat kerja dan merokok, sementara sampul bukunya terus tertutup rapat. Bisa jadi kemampuan retorika saya buruk dan ilmu saya cetek, jadi gagal menjadi guru menulis dengan pesona seperti magnet dan mampu memikat banyak peserta. Tapi bagaimana lagi, justru dengan berbagi ilmu itulah saya pun mendapat pengetahuan baru.

Kejutan lain ialah ternyata ada peserta yang benar-benar mengaku tidak bisa menulis apa-apa (blank), bingung cara memulainya, meskipun dia merasa ada sesuatu di dalam kepalanya yang ingin ia tumpahkan. Seseorang mengaku baru bisa menulis bila ada pendapat yang merangsang pengetahuannya, jadi tulisannya merupakan respons dan sumber polemik. Ada lagi peserta lain yang tampak mampu menulis, punya banyak pemikiran dan pendapat, berpengalaman membaca banyak literatur, namun merasa tidak punya waktu untuk menulis, dan Tuhan tampak belum menakdirkannya untuk menulis. Dia percaya sebagian penulis memang sengaja diberi waktu khusus untuk menulis, seperti Buya Hamka yang baru bisa menulis tafsir Al Quran ketika di penjara. Teman saya ini mengaku kehabisan waktu menulis karena kegiatannya tersita untuk mengurus warung. Dia agak yakin bahwa sebagian karya tulis itu seolah-olah lahir dari keadaan "terpaksa" kalau bukan memang sudah dirancang seperti itu. Dugaan ini benar. Sejumlah buku atau karya tulis tampaknya tidak lahir dari tangan, tetapi dari mulut pengarangnya. Contoh terkemuka dari "menulis" model ini ialah ribuan puisi Jalaluddin Rumi, yang konon lahir begitu saja dari ucapan beliau ketika dalam keadaan ekstase spiritual. Para muridnya yang mendengar itu langsung "mengikat puisi itu" dengan mencatatnya. Di Bandung, keprolifikan Jalaluddin Rakhmat salah satunya berkat rutinitas ceramah mingguan di masjid samping rumahnya. Koleganya---kalau bukan putranya sendiri---lantas mentranskripsi sekaligus mengedit hasil ceramah dan tanya jawab itu menjadi sejumlah buku dengan tema tertentu. The Autobiography of Malcolm X awalnya merupakan penuturan Malcolm X kepada penulis Alex Haley, dan akhirnya menjadi buku monumental. Jelaslah bahwa buku tidak mesti lahir dari tulisan atau ketikan, ia juga bisa lahir dari rekaman dan ucapan.

Belajar dari pengalaman, saya cukup percaya bahwa menulis berawal dari kebiasaan yang diteguhkan lewat disiplin. Kebiasaan bisa jadi bermula dari keberanian. Saya juga yakin bahwa menulis merupakan keahlian (kemampuan) yang bisa dipelajari. "Kamu hanya butuh alat, bukan aturan," demikian tegas Roy Peter Clark dalam bukunya Writing Tools. Alat menulis ialah bahasa dan seluruh unsurnya, alat untuk menyampaikan pesan dan luapan pesan sepenuh perasaan dan tepat seperti keinginan kita. Saya berpegang bahwa awal menulis bisa dipicu dengan adagium KEEP YOUR HAND MOVING dari Natalie Goldberg. Meski Alfathri Adlin, seorang teman saya, bilang yang lebih mendasar ialah KEEP YOUR MIND THINKING. Itu benar. Menulis maupun membaca merupakan keterampilan yang harus dipelajari manusia. Ia bukan bawaan orok. Dulu kita semua buta huruf dan buta menulis. Baru setelah belajar a-b-c, kita jadi bisa menyampaikan pesan lewat pernyataan.

Jadi lebih dari sekadar bisa menulis dengan baik, orang ingin mewujudkan isi kepala jadi tulisan persis sesuai keinginannya. Mungkin itu sebabnya sebagian mahasiswa heran kenapa dia pernah bisa menulis paper atau skripsi, tapi bingung dengan isinya, atau tulisan itu betul-betul buruk sampai malu bila harus dibaca kembali. Ini persis kata Joe Elliot, vokalis Def Leppard, yang pernah berseloroh begini: "Saya harus mabuk dulu kalau mau mendengarkan album pertama kami." Orang bisa geleng-geleng kenapa dahulu dia bisa menulis secara ajaib---baik bagus ataupun buruk. Penulis hanya perlu mengakui bahwa itu memang karyanya. Setelah itu lupakan atau lanjutkan. Kehidupan jalan terus, pikiran lain mendesak, emosi perlu diluapkan.

Selama workshop, saya menyadari bahwa mayoritas peserta sebenarnya sudah punya kebiasaan dan kemampuan menulis yang bagus, berani berekspresi dan bereksperimen, punya kebiasaan menulis yang hebat, bahkan sebagian dari mereka sudah berprestasi, misalnya memenangi sayembara penulisan. Sebagian orang punya blog yang rutin dia isi dan ternyata jadi favorit banyak orang. Bila dia menulis, tanggapan orang bersahut-sahutan. Peserta lain jadi redaktur buletin internal yayasan. Saya pikir itu tanda bahwa mereka telah jadi penulis. Di sisi lain ada juga teman yang masih ragu untuk berani mengirimkan tulisan ke media massa semata-mata dia merasa pemikirannya bertentangan dengan arus utama saat itu, meskipun argumennya kuat dan jelas. Fenomena ini muncul berbagai kesempatan workshop penulisan yang pernah saya hadiri. Jadi apa kekurangan mereka? Yang paling utama ialah mereka buta akan aturan umum (standar) menulis yang berlaku di media massa atau digunakan oleh penerbit yang bagus. Ini lebih dari sekadar menguasai EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dengan baik, melainkan menulis secara efektif, hemat, fokus, tegas, langsung pada sasaran. Menguasai EYD tentu bisa membuat tulisan kita rapi, tapi belum menjamin tulisan kita "bernyawa" dan punya "suara" sendiri, yang kuat, mampu mempesona pembaca dari awal sampai akhir.

Ini persis kriteria Hetih Rusli terhadap tokoh cerita yang kuat. "Yang terpenting ialah meniupkan nyawa ke dalam diri si tokoh. Tokoh tersebut harus hidup, bergerak, dan bernapas pada saat kita membacanya. Si tokoh harus hidup dalam bentuk tiga dimensi di benak pembaca, bukan cuma tertulis di atas kertas." Hal serupa berlaku pada tulisan nonfiksi. Feature profil orang dan biografi hebat pasti punya tokoh yang mengesankan.

Wajar kalau begitu banyak orang mampu menulis namun dia heran sendiri kenapa tulisannya diabaikan orang lain atau ditolak media massa. Perhatikan blog, zine, atau media tertentu lain. Mereka suka menulis suka-suka, sehendak hati, tak peduli apa orang lain kesulitan dengan cara berbahasanya. Ini membuktikan sebenarnya menulis sangat personal, khas, sesuai maksud masing-masing---sementara industri, akal sehat, kesepakatan umum, dan keinginan menyetarakan cara berpikir memunculkan standardisasi. Sejumlah orang mampu menulis di luar standar dan ternyata baik-baik saja. Saya pernah bertemu mahasiswa yang menerbitkan zine tapi buta EYD. Bagi dia yang penting ekspresinya terlampiaskan dan pikirannya tersampaikan.

Itu sebabnya saya berpendapat bahwa persoalan terbesar menulis ada pada proses editing (penyuntingan). Saat itu penulis harus berjarak dari karyanya dan tulisan mulai hendak menyapa pembaca luas. Jernihkah maksudnya? Mau apa dia dengan tulisannya? Bisakah tulisan itu dibaca? Bagaimana bahasanya? Kepaduan paragrafnya? Apa persis sesuai keinginan penulis? Adakah emosi mengalir di sana? Ketika diedit, tulisan dinegosiasikan. Saya pernah menghabiskan empat kali pertemuan hanya untuk membahas editing satu karya sebelum penulisnya benar-benar siap mengirimnya ke media massa. Apalagi saya ternyata bukan tipe editor killer yang tega main babat kalimat kabur tanpa diskusi lebih dulu. Di fase inilah berkah lain muncul, yaitu saya jadi membuka-buka rujukan baru. Mizan mengirimi Quantum Writer (Bobbi DePorter), dari Herry Mardian saya memfoto kopi Writing Tools (Roy Peter Clark) dan On Writing Well (William Zinsser), Ignatius Haryanto mengirimi The Quotable Book Lover (Ben Jacobs & Helena Hjalmarsson, eds.) dan Menuju Jurnalisme Berkualitas. Semua merupakan pustaka berharga.

Persoalan editing juga yang saya kemukakan kepada bang Mula Harahap waktu dia menelepon saya membicarakan sekolah tulis-menulis yang sedang dia rancang di kepalanya. "Iseng-iseng aku search tentang sekolah menulis, ternyata muncul nama kau," katanya. Wah, senangnya ditelepon senior ramah seperti dia. Sudah lama kami tak kontak.

Setelah workshop penulisan selesai, saya harus segera meneruskan order yang terbengkalai karena berhari-hari berkutat menyiapkan materi. Rekan kerja saya sampai penasaran karena saya membiarkan respons editannya. "Apa pembicaraan kita mengenai teks itu sudah berhenti? Saya harap tak ada salah paham di antara kita." Ah, tidak, jawab saya. Saya hanya sebentar teralihkan ke subjek yang juga penting untuk dikaji dengan sungguh-sungguh.

Entah kapan dan di mana lagi saya punya kesempatan berbagi ilmu penulisan.[Anwar Holid]

November 14, 2009

GADO-GADO SANG JURNALIS

Buku ini laksana rundown sebuah program berita menjadi segmen per segmen. Segmen pertama menguraikan sepenggal perjalanan hidup yang berkiatan dengan profesi jurnalis televisi. Dari sekedar gila menonton televisi hingga menjadi mahasiswa. Selain mencoba membangun inspirasi dan kebanggaan akan profesi kewartawanan, segmen itu pun menguraikan sejumlah pengetahuan Dasar-Dasar Jurnalistik, Filosofi dan Sejarah Profesi Kewartawanan, Manajemen Media Massa, dan Penulisan Berita.

Segmen dua dan tiga makin fokus pada persiapan menekuni profesi jurnalis televisi dan aspek-aspek di dalam lingkungan televisi. Dari menguraikan pengetahuan tentang persiapan peliputan untuk jurnalistik televisi hingga mengenal profesi-profesi khusus di lingkungan Divisi Pemberitaan. Dalam segmen tiga, buku ini akan mengajak Anda memasuki kavling-kavling penggarapan berita televisi menurut bidang masalahnya. Jika dibuat komposisi, sekitar 70% uraian mengungkap praktik serta sisanya berisikan teori dan hal-hal remen-temeh lainnya.

Segmen terakhir, buku ini akan memaparkan sisi jurnalis televisi yang back to the jungle alias balik kanan ke kantor. Segmen ini mengupas teori ideal dan praktik pekerjaan sebagai produser, plus perkembangan tren jurnalistik televisi terbaru. Selain “booming” program infotainment yang mengalahkan pamor program berita, perkembangan manajemen media massa termutakhir, hingga masa depan yang harus dibangun sang jurnalis televisi saat bintangnya meredup.

Jadi, terasa kan cita rasa “gado-gado”nya?

Bisa jadi gaya penulisan buku ini dianggap ecek-ecek, karena ditulis oleh seorang yang menganggap dirinya sebagai jurnalis televisi yang ecek-ecek, meski sejatinya buku ini menyuguhkan "sesuatu" yang sulit dipandang ecek-ecek. Karena dari serangkaian cerita gado-gado yang dibuat penulisnya, Anda akan dibawa untuk menentukan bagian-bagian yang penting dalam jurnalistik dari sekian lama petualangan penulisnya sebagai jurnalis.

Atau justru Anda menjadi salah satu yang berani menyatakan bahwa buku ini ecek-ecek? BACA DULU![GGsj: rWEE]

October 28, 2009

Sisa Pikiran dan Imajinasi Mantan Lelaki Sempurna

Seorang penderita locked-in syndrome hidup seperti dalam kepompong mahaberat, membungkus tubuhnya begitu ketat, sampai ia merasa dirinya disemen pada tembok. Dia hanya bisa diam di tempat, seluruh tubuhnya mengalami stroke, lumpuh total, tapi pikiran dan perasaannya normal. Dia gagal memerintahkan saraf dalam tubuhnya agar bergerak. Dengan pikiran dan imajinasi itu dia masih bisa mengembara ke manapun mau. Dia mengomentari segala yang dia lihat dengan mata kirinya -- satu- satunya organ masih berfungsi, bersama kedipannya. Penyakit ini merupakan kondisi yang luar biasa jarang terjadi. Salah satu penderitanya ialah Jean-Dominique Bauby, orang Prancis.

Sutradara Julian Schnabel memfilmkan kehidupan dan pikiran Bauby berdasarkan skenario karya Ronald Harwood, dengan Mathieu Amalric berperan sebagai Bauby. Film itu sepenuhnya berbahasa Prancis, dengan subtitle Inggris. Film itu langsung mengingatkan aku pada film My Left Foot (Str. Jim Sheridan, 1989), ketika Daniel Day-Lewis berperan sebagai Christy Brown, seorang penyair-pelukis- penulis penderita cerebral palsy, yang hanya bisa menggerakkan kaki kirinya. Upaya keras Bauby sebagai penderita stroke parah yang menuliskan pikiran dan perasaan dalam sisa hidupnya menjadikan kisah itu luar biasa. Schnabel cukup mengeksploitasi sisi itu.

Bagaimana Bauby menulis buku, padahal dia hanya bisa mengedip? Dia cuma bisa memberi dua kode kepada orang lain: satu kedip untuk "ya", dua kedip untuk "tidak." Lelaki kelahiran 1952 ini menggunakan cara berkomunikasi yang diajarkan pihak rumah sakit, terutama oleh Henriette Durand. Durand mula-mula melatih Bauby untuk terbiasa dengan huruf yang paling sering digunakan dalam percakapan Prancis, lantas satu demi satu huruf diucapkan sambil bertatapan, untuk memastikan bahwa huruf itu yang ingin didiktekan Bauby. Segera setelah Bauby terbiasa dengan cara itu, orang-orang di dekatnya, terutama dokter, perawat, pembaca buku untuknya, juga ibu dari anak-anaknya menggunakan cara berkomunikasi tersebut.

Secara harfiah Bauby mengetik dengan mengedip, sehuruf demi sehuruf. Dalam proses penulisannya, dia berutang besar kepada Claude Mendibil, seorang pegawai penerbit Robert Laffont yang dipekerjakan untuk menuliskan imajinasi dan pikiran Bauby. Sebelum sakit, Bauby memang punya kontrak dengan penerbit tersebut. Awalnya pihak penerbit juga ragu, "Bukankah dia tidak bisa bicara?" "Tapi bukan berarti dia tidak bisa berkomunikasi, " yakin Durand. Dulu dia ingin menulis kisah tentang balas dendam berdasarkan novel The Count of Monte Cristo (Alexandre Dumas, père) dengan tokoh utama seorang wanita.

Penulisan dalam kasus Bauby merupakan proses yang betul-betul menguras energi, kesabaran, dan waktu. Mereka harus mengulang setiap awal huruf, seperti kita harus mengucapkan ABCD sampai Z sebelum memastikan memilih awalan huruf dan memulai kata. Mereka sering bekerja lima jam per hari. Selama masa perawatan itu mereka mengerjakan buku itu, mengedit, dan merevisi, dua tahun lebih lamanya. Akhirnya buku tersebut terbit berjudul Le scaphandre et le papillon, setebal kira-kira 130-an halaman.

Bauby seorang pembaca sastra yang kuat. Dia membaca karya Honore Balzac, dan terutama The Count of Monte Cristo. Dia hedonis, suka keindahan dan kenikmatan, suka berimajinasi tentang segala hal, kecuali yang berbau agama. Dalam kehidupan mudanya yang cemerlang, dia jurnalis di majalah fashion perempuan Elle, sampai menjadi editor-in-chief. Elle bukan saja populer, ia merupakan majalah terkemuka, franchisenya ada di mana-mana, termasuk Indonesia. Alih-alih menulis tentang balas dendam, Le scaphandre et le papillon lebih merupakan memoar, berisi tentang pengalamannya sebagai penderita locked-in syndrome yang dirawat di rumah sakit di pinggir pantai, hubungan dengan ibu dari ketiga anaknya, anak-anaknya, kawan-kawan baiknya, sekelumit kerjanya di Elle, makanan favoritnya, dan upaya memahami wanita. Meski sukses, dia tampak kurang terkesan dengan karirnya selama di Elle atau bagaimana dia dahulu menulis secara normal. Tapi minimal, di sana dia memperoleh kemewahan dan sosialita kelas satu. Dia lebih suka bercerita tentang orang-orang yang dia sayangi.

"Buku itu tiada kecuali ia dibaca," demikian kata Bauby. Maka Bauby memilih mengutarakan pikirannya, perasaannya, alih-alih membicarakan atau mengeluh soal sakitnya. Untuk ukuran orang sakit mengerikan, dia cukup humoris. Bagaimanapun, yang tersisa dari dirinya hanyalah pikiran dan kenang-kenangan. Itulah yang dia ceritakan. Menjadi penderita stroke yang sia-sia mau melakukan apa-apa, bergantung sepenuhnya pada pertolongan orang lain, dia merasa dirinya sebagai bayi berumur 42 tahun.

Film The Diving Bell and the Butterfly mula-mula bercerita dan bersudut pandang kamera dari Bauby. Jadi penonton melihat dari matanya, mendengar suara dan pikirannya, merasakan penderitaannya. Tapi lama-lama sudut pandang film meluas, dan akhirnya penonton menyaksikan kisah tentang kehidupan dan keluarganya. Dia punya ayah yang sama-sama merasa sakit locked-in syndrome, hanya saja dia terkurung di apartemen. Bauby punya tiga anak dari seorang perempuan yang tidak dia cintai, karena itu tidak dia nikahi. ("Dia bukan istriku, dia ibu dari anak-anakku, " tegasnya.) Memang agak aneh seseorang sampai bisa punya tiga anak dari seorang wanita yang tidak dicintai, meskipun perempuan itu tampak perhatian, tetap tampak intim merayakan Hari Ayah, dan bila bertemu dengan anak-anaknya, dia jadi ayah yang ramah. Seorang perempuan lain juga mencintai Bauby, tapi dia tak tega melihat Bauby dalam keadaan sakit. Menurut Wikipedia, film ini menyisakan kontroversi soal akurasi tentang perempuan dalam hidup Bauby. Schnabel tampak sengaja mengubah untuk alur drama, atau mungkin dia ingin menunjukkan kasih sayang keluarga yang lebih utuh dan mengharukan.

Di ujung film Bauby ingat kembali bagaimana saat dirinya terkena stroke. Pada Jumat, 8 Januari 1995, ia berangkat ke bioskop dengan anak sulungnya, mengendarai mobil super mewahnya, sambil bicara sebagai sesama lelaki. Di tengah jalan, dia merasa ada yang salah dengan tubuhnya, membuatnya segera berhenti di pinggir jalan. Anaknya panik menyaksikan serangan mendadak itu, sebab Bauby bukan perokok dan peminum. Dia bukan lelaki dengan ciri-ciri kemungkinan terkena penyakit mengerikan seperti itu. Dia koma sekitar dua puluh hari, dan setelah bangun mendapati dirinya gagal mengucapkan sepatah kata pun. Pada dua puluh minggu pertamanya setelah stroke, dia kehilangan bobot 27 kg.

Kalau kita mengabaikan Bauby yang menderita, isi film ini mungkin biasa saja. Pada dasarnya cerita dia seperti mengawang-awang, dia banyak membicarakan mimpi, imajinasi, mengomentari ini-itu, meluapkan perasaan. Schnabel memvisualisasikan imajinasi Bauby dengan bagus sekali. Di Festival Film Cannes dan Golden Globe Award dia memenangi sutradara terbaik, sementara di Academy Award dia mendapat nominasi untuk kategori itu. Dua film terkemuka lain karya Schnabel ialah Basquiat dan Before Night Falls. Mathieu Amalric juga bermain bagus. Tapi karena perannya, gerak tubuhnya minim. Ini membuatnya jadi kurang eksploratif bila dibandingkan Daniel Day-Lewis yang tampak kepayahan berusaha menggerakkan kaki kiri atau badan lain dalam My Left Foot. Bedanya lagi, dulu Bauby sempurna, dia pencinta perempuan, kenyang dengan pengalaman itu; sementara Christy Brown cacat sejak awal, dia ditertawakan ketika akan mengucapkan perasaan pada perempuan.

Perjuangan seseorang mengatasi rintangan hidupnya bisa jadi merupakan hal klise. Budi Warsito, seorang script-writer, berkomentar, "Tapi seberat atau seringan apa pun perjuangan orang, membuat kita sering salut. Kita sulit menghakimi mereka. Karena kadang-kadang yang ringan menurut kita, mungkin berat buat orang lain. Begitu sebaliknya. Bisa jadi, semangatlah penyebabnya. " Jelas semangat Bauby bisa membuat orang lain malu, apalagi bagi penulis normal.

Bauby meninggal sepuluh hari setelah Le scaphandre et le papillon terbit pada 1997 dan mendapat pujian di mana-mana.[anwar holid]

The Diving Bell and the Butterfly
Sutradara: Julian Schnabel
Produksi: Kathleen Kennedy, Jon Kilik
Penulis: Jean-Dominique Bauby
Screenplay: Ronald Harwood
Pemain: Mathieu Amalric, Emmanuelle Seigner, Marie-Josée Croze, Max Von Sydow
Sinematografi: Janusz Kaminski
Editing: Juliette Welfling
Musik: Paul Cantelon
Distribusi: Pathé Renn Productions, Miramax Films
Rilis: 23 Mei 2007
Durasi: 112 minutes
Bahasa: Prancis; subtitle Inggris

October 11, 2009

Upaya Editor Mengatasi Kejenuhan

Hampir dua bulan ini aku menangani dua naskah yang mirip. Secara prinsip, terjemahan naskah itu sudah benar. Setidaknya itulah klaim penerbit. Penerjemah naskah itu orang terkemuka dan ahli di bidangnya. Jadi secara keilmuan dia bisa diandalkan dan wawasannya mumpuni. Untuk sementara, aku sulit membantah klaim itu dan percaya omongan penerbit.

Di ruang kerja sederhanaku, ketika siap-siap membedah naskah itu, barulah aku merasakan sulitnya menangani terjemahan itu. Memang tugas editor ialah meluweskan penuturan, memadukan inkoherensi paragraf, membuat keterbacaan naskah tinggi. Itu mirip tugas utama dokter ialah menyembuhkan pasien atau petugas kebersihan kota menyingkirkan sampah. Begitulah adanya. Tapi kalau kamu mendapati tugas kamu ternyata begitu bikin suntuk, terlalu sulit atau menggunung, wajar bila ia bikin stres atau frustrasi. Seorang striker bisa frustrasi dan kalap kalau terus-menerus gagal mencetak gol dan kesulitan mendobrak pertahanan lawan, atau kiper lawan terlalu tangguh. Kalau sifat ksatrianya cedera, dia bisa gelap mata dan akhirnya bertindak curang dengan melakukan diving. Tantangan setiap pekerjaan itu sama. Namun menyebalkan bila faktanya beban kamu terlalu berat. Ada yang salah, dan itu bukan salah kamu, melainkan proses sebelumnya atau kasusnya memang berat. Untuk itu
kamu hanya harus tabah dan bertahan. Lakukan inovasi dan istirahat secukupnya.

Begitu menghadapi baris kalimat sulit, aku yakin ada yang salah dari penanganannya. Aku kerap kesulitan menangkap maksud kalimat itu sebenarnya apa. Bahasanya ribet. Banyak banget kalimat panjang melelahkan, bahkan bisa terdiri dari satu paragraf! Yang terdiri dari tiga - empat baris juga banyak. Polanya pun masih dalam bahasa sumber, dan kerap berbentuk negatif. Dalam kalimat panjang itu selalu ada sisipan anak kalimat berisi tambahan informasi, termasuk hal-hal trivial yang bahkan sering berulang di bagian sebelumnya. Ini jelas gaya sang penulis, dan penerjemah membiarkannya. Bikin capek baca, dan energiku terkuras dengan cepat. Penerbit suka menggampangkan kondisi ini, bilang bahwa beban editor ringan. Padahal meluweskan bahasa, dengan penyampaian yang enak itu penting sekali dalam sebuah buku.

Kalimat pendeknya saja suka membingungkan. Contoh: "Pidatonya merupakan yang tidak lazim antara kepalsuan dan sifat agresif yang terang-terangan. " Maaf, ini apa maksudnya?

Kalimat panjangnya antara lain begini: "Al-Quran menjasadkan di depan mata kita suatu gambaran yang hidup, dan menggerakkannya pada lebih dari satu arah, untuk mengimbau orang-orang yang merasa tidak berdaya itu untuk membebaskan diri dari tekanan, sejak sekarang, agar kelak mereka tidak menghadapi konsekuensinya sesudah mereka mati, dengan sikap menyerah pada kelemahan diri, sebagai suatu unsur yang sangat diperingatkan untuk dijauhi."

"Kekuatan-kekuatan hegemonis itu, yang menganggap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa merdeka dan mandiri sebagai ancaman terhadap monopoli mereka dalam instrumen kekuasaan yang penting ini dan yang tidak ingin melihat keberhasilan yang sama di negara-negara lain, telah salah mengartikan teknologi nuklir Iran yang terjaga dan aman sebagai usaha untuk membuat senjata nuklir."

"Bagaimanapun, kalau ada kebebasan pribadi yang akan dipertahankan mati-matian oleh seseorang di dunia modern, itu adalah haknya yang tidak boleh diingkari untuk menyaksikan pertandingan sepakbola di televisi, dan kuatnya dorongan pandangan umum, bahkan di kalangan Islam fundamentalis dengan kepala yang penuh dengan dalih-dalih teologis untuk menentangnya, pemerintah terpaksa menayangkan pertandingan sepakbola di televisi."

Halo... rasanya aku menerima sandi dari alien.

Seberapa besar usaha seorang editor menyunting kalimat itu, berapa lama waktu yang dia butuhkan? Atau sebaliknya, seberapa toleran dia boleh bilang bahwa kalimat itu sudah jernih?

Kondisi itu membuat tugasku mengubah penyampaian agar luwes, lincah, mudah dicerna, dan lancar justru bakal paling besar menyita energi. Memoles dan melenturkan kalimat itu kerap butuh coba-coba dan mengutak-atik dulu sebelum akhirnya menemukan penyampaian yang paling pas. Butuh waktu dan energi besar. Bayangkanlah pekerja furnitur kayu jati yang mengamplas ukiran kasar menjadi halus. Dia melakukannya berhari-hari, terpaksa harus menghirup hamburan serbuknya, dengan tenaga yang hebat. Itulah kerja keras. Itulah yang juga harus dihadapi penyunting bila menemukan kalimat-kalimat kasar, penuh gerinjul, menyulitkan makna.

Saking sebal, aku berprasangka penerjemah ini mungkin awalnya berpikir bahwa pekerjaannya sudah keren, jadi dia serahkan ke penerbit. Coba kalimat-kalimat berlepotan dan penuh lumpur itu dibiarkan, lantas langsung dibungkus dan ditawarkan ke publik. Aku yakin seminggu kemudian pembacanya pada sakit kepala. Atau mereka langsung melemparkannya ke tong sampah. Aku jadi ingat pelajaran pertama seorang penyunting dari dosenku, ibu Sofia Mansoor, yang mengenalkan istilah "keterbacaan" ---yaitu tingkat suatu naskah mudah atau sulit dipahami.

Penulis, penerjemah, penyunting bahu-membahu untuk menghasilkan naskah dengan keterbacaan tinggi. Bila rendah, harus diubah, atau minimal membuatnya lebih mudah. Tapi itu pun bukan harga mati. Keterbacaan sebagian karya memang rendah. Misal Finnegan's Wake (James Joyce) atau puisi Afrizal Malna dan Nirwan Dewanto. Mau apa kita dengan naskah seperti itu? Mau berkompromi? Di ranah nonfiksi juga sama. Aku pernah berusaha baca The Uses of Literacy (Richard Hoggart) yang konon penting, tapi hanya sedikit sekali yang aku paham dari pemaparannya. Kemungkinannya ialah otakku terlalu tebal terhalang kabut. Susah memahami membuat orang jadi mudah frustrasi.

Seorang penyunting lain mendapat kasus serupa, mengeluhkan buruknya bahasa yang dia garap, sampai merasa bahwa tawaran honornya terlalu kecil untuk menangani naskah menyebalkan seperti itu. Aku setuju. Karena menyita energi, emosi, bikin frustrasi, kompensasi menggarapnya harus sepadan. Penerbit bagus biasanya bisa diajak bicara tentang seberapa jauh tingkat kesulitan editing yang dilakukan editornya, terutama editor outsource. Mereka biasanya minta bukti (sampel). Kalau sepakat bahwa naskah itu memang sulit, mereka setuju menaikkan honor---sesedikit apa pun itu.

Kalau setiap hari menemukan kalimat kacau, manusia akan jadi cepat lapuk. Ada yang salah bila kita gagal menangani kesulitan berbahasa, menangkap pesan dengan jernih, atau mengungkapkan dengan baik. Di dalam Writing Tools (2006), Roy Peter Clark mensinyalir malapetaka dari konsekuensi tulisan buruk, baik untuk bisnis, profesi, pendidik, konsumen, dan warga negara. Buruknya tulisan dalam laporan, memo, pengumunan, dan pesan menguras biaya dan waktu. Itu merupakan gumpalan darah di lembaga politik dan pemerintahan. Membuat arus informasi mampat. Masalah penting terus mengendap dan tertutup. Kesempatan untuk perbaikan dan efisiensi tetap terkubur (hal. 7-8).

Tulisan sulit membuat pembaca kepayahan. Padahal tujuan membaca dan menulis ialah kefasihan, mengungkapkan maksud secara jernih dan lancar. "Tulisan juga harus mengalir dengan lancar dari penulis. Idealnya memang seperti itu," tegas Clark.

Aku bukan hendak memuliakan editor atau memberat-beratkan tugasnya. Seperti aku bilang, profesi ini sama dengan profesi lain. Ia memiliki tantangan dan kesulitan sendiri. Jadi editor mungkin mustahil membuat kamu mati luka-luka seperti tentara tertembak di medan perang. Tapi kamu bisa gila kalau gagal menangani kalimat kacrut yang bikin akal dan logika jadi putus asa.[Anwar Holid]

September 11, 2009

WARTAWAN ECEK-ECEK


Suatu ketika saya diminta berbicara teknik produksi feature oleh sebuah lembaga pendidikan di Gorontalo. Lantas seorang peserta bertanya tentang perasaan saya menjadi jurnalis televisi. Pertanyaan yang teramat sederhana. Dan, wartawan pemula sekali pun akan mudah menjawabnya. Bahkan lengkap dengan segala remeh-temehnya. Saya menduga, pertanyaan itu pun sekedar uji nyali sang peserta agar terbiasa menjadi berani di berbagai forum pertemuan. Karena mereka memang calon-calon jurnalis.

Saat itu, saya pun mencoba menjawabnya seringan mungkin. Dalam artian, saya hanya memaparkan apa-apa yang bisa mereka lihat secara jelas. Misal, kesempatan bertemu dengan tokoh-tokoh ternama, kesempatan berpergian ke berbagai daerah dengan segala fasilitasnya, dan tentu saja kesempatan menghimpun pelajaran tentang hidup. Dua jawaban terdepan adalah kenyataan yang nyaris didapatkan oleh kalangan wartawan dari media massa mana pun. Bahkan, siapa pun bisa menyepakatinya tanpa berpikir panjang. Jawaban terakhir? Ups, apa tidak mengada-ada? Atau, sekadar menghiperbolakan persoalan?

Saya sempat berpikir panjang tentang makna “pelajaran hidup” dari pernyataan yang pernah saya ungkapkan itu. Saya sangat yakin jawaban itu tidak salah. Karena, toh saya melontarkan jawaban itu berdasarkan apa-apa yang terekam otak kiri-kanan saya selama bertahun-tahun. Sebaliknya, apakah mahasiswa yang mendengarkan jawaban itu akan memahami dan memaknainya seperti yang saya maksudkan? Belum tentu. Biar bagaimana pun, pengetahuan dan pengalaman mereka masih teramat sedikit untuk memahami pelajaran tentang hidup. Terutama, memaknai pesan-pesan yang didapat dari kehidupan itu sendiri.

Berbekal dari konflik batin itu, saya jadi bersemangat untuk menuliskan cerita tentang profesi jurnalis televisi dan pelajaran hidup yang terekam di dalamnya. Niatan awalnya, karena ingin membuktikan kebenaran atas keyakinan saya itu. Sehingga, konflik batin itu bisa tersalurkan secara positif.

Teman-teman, dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, semoga saja saya bisa segera menghadirkan buku tentang semua uraian di atas berjudul "WARTAWAN ECEK-ECEK, dari gila nonton tv hingga jadi jurnalis tv". Dan semoga juga, hal itu memberikan kebarokahan bagi kehidupan kita semua.[]

MEMOTRET KHATULISTIWA

Akhirnya, tuntas sudah perjalanan memikul amanah. Desember 2005 hingga Desember 2007, saya berada di rumah bernama POTRET. Hasil kunjungan ke 20 provinsi, 31 kabupaten, dan entah berapa kabupaten dan kecamatan yang dilewati -- sekedar singgah atau istirahat -- adalah 41 episode, dengan berbagai topik dan kemasan.

Syukur alhamdulillah, akhirnya perjalanan itu bisa dilewati dengan selamat. Saya tidak berani menjamin, apakah isinya berguna atau tidak, apakah materinya bermanfaat atau tidak, dan apakah contentnya bermutu atau tidak. Banyak parameter yang bisa dibuat untuk mengukurnya. Tapi, banyak subyektivitas pula yang menjadi acuan. Sehingga, akhirnya "rasa"lah yang menjadi alat ukur terobyektif dan jujur. Karena itu, marilah kita sama-sama mengasah "rasa" hingga menjadi cita rasa nan tulus, mampu menembus setiap hijab dengan kesempurnaan, dan bisa memaknainya secara mendalam.

Rasa syukur nan terkira, bukan hanya karena saya berhasil menuntaskan amanah itu persis di dua tahun perjalanan dan hari jadi yang 40 tahun, tapi dengan kerendahan hati, saya berhasil mengabadikannya dalam dua buah buku. "MEMOTRET KHATULISTIWA" & "NABI-NABI BLOG", judulnya. Isinya, catatan produksi di belakang komputer, di tengah lapangan, dan di ruang editing. Ada kisah petualangannya nan indah dan melelahkan, ada teknis pemilahan ide dan perumusan premis, dan ada cerita the making of... nya yang berlagak ilmiah. Buku itu bukan karya hebat dan bisa dibanggakan. Tapi, sekedar catatan kerja, yang diharapkan bisa memberikan inspirasi bagi siapa pun untuk berani memulai sebuah pekerjaan. Khususnya, menggagarp film dokumenter.

Sedangkan buku kedua bercerita tentang kisah-kisah inspiratif yang bisa dipetik dari kehidupan masyarakat adat dan seniman tradisional. Arahnya, bisa disebut menjadi semacam buku motivasi dan tasawuf populer. Hal ini jadi perlu dihadirkan, karena saya merasa menemukan banyak mutiara ketika mengunjungi berbagai lokasi produksi. Dan, sayang bila mutiara-mutiara itu tidak dibagikan kepada Anda.

Dalam waktu dekat, Insya Allah "MEMOTRET KHATUSLITIWA" & "NABI-NABI BLOG" akan menjumpai Anda. Sabar menanti adalah memenuhi amanah Rasulallah dan firman Allah. Sabar, kami akan mengabarkan kabar penerbitannya.

Terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu pemenuhan amanah tersebut. Semoga Allah Swt akan membalasnya dengan segala ketulusan dan kemuliaan. Salam hangat dan penuh kedamaian.[]

ALBERT ARNOLD G0RE JR.

Malam itu, 4 November 2000. Al Gore mengangkat gagang telepon dan menghubungi George Walker Bush. Dia mengucapkan selamat atas kemenangan Gubernur Negara Bagian Texas itu dalam pemilihan presiden. Percakapan tersebut tak berlangsung lama, dan Gore yang ketika itu masih menjabat sebagai Wakil Presiden Amerika Serikat sekaligus calon presiden dari Partai Demokrat, menutup telepon.

Sebagaimana galibnya dalam budaya politik AS, Gore pun bersiap menyampaikan pidato kekalahan di depan pendukungnya. Namun, dalam rentang tak terlalu lama, dia dikejutkan oleh telepon dari Ron Klain, manajer kampanyenya. Kabar yang didengarnya bak petir di siang bolong. Klain mengatakan ada yang salah dengan hasil suara di Negara Bagian Florida. Dan, tipisnya selisih suara antara Gore dan Bush, membuat kesalahan itu cukup untuk mengantarkan Gore menjadi pemenang dalam Pilpres 2000. Intinya, siapa yang memenangkan Florida dipastikan bakal berkantor di Gedung Putih.

Seketika itu juga, konstelasi politik di AS berubah. Sebagian besar media elektronik mencabut running text tentang kemenangan Bush. Media cetak pun buru-buru membuat edisi ralat. Reporter yang berada di lapangan mengubah arah pemberitaan dengan mengatakan “belum ada Presiden AS terpilih”. Sejak malam itu, sebuah “drama” yang disebut-sebut sebagai the most controversial presidential election in US history tersebut dimulai.

Jujur saja, buat saya apa yang terjadi di AS dari 4 November hingga 13 Desember 2000 itu biasa saja. Namun, semuanya menjadi berbeda ketika saya menyaksikan sebuah film semidokumenter berjudul Recount yang dirilis 2008 silam. Film ini menceritakan kejadian hari demi hari pertarungan antara tim kampanye Gore dan Bush untuk memenangkan Florida. Dan film yang berangkat dari fakta sejarah ini saya rasakan semakin relevan karena Komisi Pemilihan Umum baru saja menetapkan hasil Pilpres 2009.

Tak pernah terbayangkan negara kampiun demokrasi seperti AS bisa terjerembab dalam sejarah memalukan ini. Jika biasanya presiden AS terpilih bisa ditentukan dalam waktu satu hari, kali ini berbeda. Penentuan Presiden ke-43 AS harus menempuh jalan berliku dan panjang. Warga AS pun menaruh perhatian pada Florida, dimana terbongkar banyak kasus pelanggaran pemilu, kesimpangsiuran kertas suara, gugatan pemilihan, dan tuntutan hukum.

Pihak Partai Demokrat mengklaim angka 19 ribu suara di Palm Beach County yang didiskualifikasi. Setelah suara di 21 county di Florida dihitung ulang, Gore mendapat tambahan 642 suara dan Bush memperoleh tambahan 144 suara. Jika ditotal, Bush meraup 2.909.404 suara, sedangkan Gore baru mendapat 2.908.126 suara. Ini berarti Bush unggul dengan selisih 1.278 suara. Angka yang tipis dan tentu saja tak sebanding dengan 19 ribu suara yang hilang itu.

Demokrat jelas tak asal teriak. Sebanyak 19 ribu suara yang dipermasalahkan itu dianggap tak sah karena dicoblos dua kali. Sebagian besar pemilih adalah dari kalangan minoritas Afrika-Amerika atau kulit hitam yang secara politik adalah massa tradisional Demokrat yang tentu saja condong memilih Gore. Apalagi, para pemilih ini mengaku mencoblos dua kali karena kertas suara yang membingungkan. Gore menjadi capres nomor urut dua, tapi di kertas suara posisi mencoblosnya ada di urutan ketiga.

Masalah kedua adalah soal DPT. Tak jauh beda dengan Pilpres 2009 di Indonesia, ada 1.800 nama fiktif dalam daftar pemilih tetap di Florida. Dengan kedua masalah itu, perang opini pun dimulai. Tim kampanye masing-masing capres sibuk melobi, tim hukum Gore dan Bush pun mengumpulkan semua bahan untuk beradu argumen. Selain penghitungan ulang, kemungkinan dilakukannya pemilihan ulang juga mulai membayang.

Florida sendiri memiliki atmosfer politik yang unik saat masalah ini mengemuka. Bush diuntungkan karena Gubernur Florida dijabat adik kandungnya Jeb Bush. Demikian juga sejumlah pejabat negara bagian yang tak lain adalah anggota Partai Republik dan menjadi bagian tim kampanye Bush. Sementara Gore yang diusung Partai Demokrat memiliki keuntungan karena pengadilan di Florida mayoritas hakimnya dipilih ketika Partai Demokrat menguasai negara bagian itu.

Tuntutan penghitungan suara ulang dipenuhi pengadilan Florida. Namun, sempat diperintahkan untuk dihentikan sebelum kemudian dilaksanakan kembali. Bahkan, waktu untuk penghitungan ulang juga diperpanjang sampai dua kali. Karena tetap tak tercapai titik temu, kasus ini sampai ke Mahkamah Agung. Meski tanpa suara bulat, pada 12 Desember 2000 Mahkamah Agung memutuskan Bush memenangkan pemilihan di Florida. Hebatnya, tim kampanye dan tim hukum Gore tak patah semangat. Ron Klain dan stafnya menyiapkan bukti baru untuk mematahkan putusan itu.

Pagi hari, 13 Desember 2000, atau 40 hari setelah pilpres berlangsung, telepon di ruang kerja Ron Klain berdering. Ketika diangkat, ternyata dari Gore. Dengan sikap formal, Ron Klain menyapa bosnya. Gore mengatakan tak bisa tidur karena memikirkan putusan MA tersebut. “Aku harus menghentikan perang ini ketika aku tahu aku tak bisa menang, Ron,” ujar Gore. Ron Klain –yang diperankan dengan baik oleh Kevin Spacey– terdiam dan matanya memerah.

Malam harinya, Gore tampil di televisi nasional dan menyampaikan selamat kepada Bush. “Aku tahu banyak pendukung yang kecewa, termasuk aku. Namun, kekecewaan itu akan berlalu karena kecintaan terhadap negeri ini,” ujar Gore yang terus menebar senyum. Konflik yang melelahkan itu pun berakhir. Bukan oleh putusan hukum atau tekanan politik, tapi lebih karena jiwa besar yang ditunjukkan seorang Gore.

Di Jakarta, 25 Juli 2009, pasangan calon presiden dan wakil presiden Megawati Sukarnoputri dan Prabowo Subianto menolak hadir di Kantor Komisi Pemilihan Umum. Keduanya menolak mengakui hasil pilpres dan menolak pula mengakui kemenangan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono. Saya bisa memaklumi jika pasangan ini mempermasalahkan berbagai pelanggaran yang ada. Tapi, menyoal pelanggaran pemilu dan menolak mengakui presiden yang dipilih mayoritas rakyat dalam konteks Pilpres 2009 adalah sesuatu yang berbeda.

Bahwa pelanggaran, kecurangan, atau kesalahan dalam pemilu harus diusut, saya sangat setuju. Ini penting agar di masa datang KPU sebagai penyelenggara pemilu bisa lebih awas dan suara setiap pemilih bisa dihargai. Namun, dalam kasus ini, harus pula dilihat apakah pelanggaran atau kecurangan itu signifikan untuk mengubah hasil penghitungan. Dengan selisih suara antara SBY-Boediono dan Megawati-Prabowo yang mencapai 40 juta lebih, sulit rasanya pemenang pilpres bisa berubah.

Karena itu, sejak awal saya berharap Megawati dan Prabowo mengucapkan selamat kepada SBY dan Boediono. Pada saat bersamaan keduanya juga harus membawa pelanggaran dan kecurangan yang ada ke Mahkamah Konstitusi. Langkah ini menyiratkan dua hal. Pertama, bahwa pasangan capres-cawapres menghargai pilihan rakyat dan berbesar hati ketika dirinya menjadi pihak yang kalah. Kedua, pelanggaran atau kecurangan dalam pemilu sama dengan menciderai suara rakyat, dan itu harus diselesaikan melalui mekanisme hukum.

Ketika gagasan pemilihan presiden langsung mengemuka pascaturunnya Presiden Soeharto, banyak kalangan yang menilai masyarakat kita belum siap. Ada ketakutan bakal muncul konflik, anarki, serta perpecahan. Kini, dua kali sudah negara ini menyelenggarakan pemilihan umum langsung dan ketakutan itu tak terbukti. Rakyat ternyata bisa berdemokrasi dan menerima pemimpin yang telah dipilih secara langsung. Tak ada unjuk rasa atau anarki menyikapi hasil pilpres.

Sebaliknya, calon pemimpin kita masih hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Sulit menerima kekalahan dan sibuk mencari kesalahan-kesalahan orang lain. Itulah dilema pemimpin di negara kita yang jumlahnya sudah berlebih namun sangat sedikit yang bisa disebut negarawan itu. Pemimpin bisa jadi masih punya nafsu berkuasa, menganggap diri paling hebat, dan menganggap rakyatnya pion belaka. Sementara seorang negarawan selalu bertindak dan bersikap semata-mata untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu negara dan bangsa.

Kini, saya hanya bisa berandai-andai. Andai saja Megawati yang dalam setiap pidatonya begitu suka menyebut kata “bangsa” dan “negara” itu tak melulu hanya berbicara kepada massa PDI Perjuangan, tapi kepada seluruh rakyat Indonesia. Andai saja Prabowo mengucapkan selamat kepada SBY-Boediono usai hasil hitung cepat diumumkan. Dan andai saja keduanya hadir di KPU pada Sabtu silam sebagai penghargaan kepada 32 juta lebih suara yang memilihnya, saya yakin pasangan ini sudah menanam benih psikologis yang positif untuk maju pada Pilpres 2014. Sayang, tak banyak pemimpin kita yang punya kerendahan hati dan kebesaran jiwa layaknya Albert Arnold Gore Jr. [Rinanldo, blog.liputan6.com]

RINDU AL GORE

Film dokumenter “An Inconvenient Truth” dengan karakter mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Albert Arnold "Al" Gore, Jr., sungguh terlalu perkasa buat saya. Hingga, saya tidak akan pernah tega untuk membandingkan tampilan Al Gore dengan Horrison Ford atau bintang-bintang kelas dunia lain.

Sebagai bintang film dokumenter, Al Gore tampil sempurna. Good looking, memiliki kualitas vokal yang di atas rata-rata, dan selalu tampil prima dalam mempresentasikan materi kampanye. Tiga elemen itu sudah merupakan modal yang sangat besar bagi sutradara untuk “memainkan” sang karakter dalam setiap scene. Bahkan, sutradara tidak perlu mengarahkan blocking atau aturan pengambilan gambar baku pada pemainnya. Karena, justru filmmakerlah yang dituntut melayani dan menafsirkan semua pergerakan dan pesan yang disampaikannya.

Memang sangat tidak mengejutkan bila dalam film itu Al Gore begitu terampil mengampanyekan isu global warming dan pencitraan diri. Catatan profil yang mantan wartawan, pengusaha, aktivis, dan politisi, merupakan petunjuk bahwa ia bukan orang sembarangan yang tiba-tiba saja bernafsu menjadi presiden. Ia bukan hanya memiliki ambisi dan strategi politik. Tapi, ia juga memiliki materi presentasi yang lebih dari memadai, untuk ditawarkan kepada publik sebagai proposal capres. Dan ketika gong kampanye dimulai, ia tidak serta merta “sadar kamera”. Tapi, ia memang telah menyiapkan diri sedemikian rupa, untuk tampil meyakinkan di depan kamera dan masyarakat luas.

Lepas dari itu semua, kunci kekaguman saya terhadap film itu, karena saya memfokuskan diri pada film statement dan pencitraan yang dibangun oleh Al Gore sebagai capres negara adidaya saat bertarung dengan capres Partai Republik George W. Bush pada 2000. Sejak opening scene digulirkan, sutradara Davis Guggenheim tanpa ampun menghujamkan fakta ancaman terhadap bumi akibat pemanasan global. Setelah itu, kamera obyektif terus menguntit kampanye capres Partai Demokrat itu di berbagai tempat. Dengan topik yang fokus pada masalah lingkungan, tentu saja.

Di luar materi global warming, pastinya Al Gore juga melontarkan isu-isu lain seputar kondisi negaranya dan juga perspektifnya terhadap dunia. Tapi harus diakui sejujur-jujurnya, keberanian Al Gore memperbesar porsi masalah lingkungan dibandingkan isu lain – terlebih lagi aib pesaingnya – jelas sangat luar biasa. Bahkan, saat seorang capres memilih isu lingkungan sebagai materi kampanye saja sudah perlu mendapat pujian. Karena, jujur saja, memang banyak kalangan mengasumsuikan masalah itu sangat tidak seksi, kan?

Tidak percaya? Mari kita cermati satu demi satu materi kampanye pasangan capres dan cawapres yang tengah memperebutkan kursi R-1 dan R-2 pada pilpres kali ini. Adakah masalah pembantaian orangutan di Kaliman Tengah disinggung oleh para kandidat? Adakah masalah kerusakan terumbu karang menjadi perhatian para peserta pilpres? Adakah masalah pembalakan liar dan bahaya kerusakan “paru-paru” khatulistiwa menjadi menu kampanye mereka?

Faktanya, isu neoliberalisme versus ekonomi kerakyatan, penegakan hukum dan keadilan, plus konsep-konsep abstrak yang sulit dipahami orang awam, masih bertebaran. Ada kesan keseragaman proposal. Namun, semuanya belum menghadirkan dimensi lain yang lebih membumi. Apalagi, memiliki kepercayaan diri untuk menggulirkan keprihatinan masalah lingkungan. Apa mungkin masalah tersebut masih dianggap “baik-baik saja” di mata para capres dan cawapres?

Kita juga mungkin jadi sangat tidak bijaksana bila, para capres dan cawapres pada pilpres kali ini diharapkan memiliki kualitas presentasi seperti Al Gore. Kualitas pencitraan diri yang luar biasa, menurut saya. Karena, biar bagaimanapun masing-masing kandidat memiliki latar belakang dan jam terbang, yang sudah pasti, tertinggal jauh dibandingkan Al Gore.

Tapi – kalau boleh berharap – mereka merupakan calon pemimpin bangsa yang sudah seharusnya memiliki keterampilan seperti itu, bukan? Lima tahun di depan, nasib bangsa dan negara ini ada di genggamannya. Dan sudah sangat pasti, mereka akan berbicara, berdiskusi, bernegoisasi, dan menunjukkan proposal perbaikan negara ini kepada pemimpin-pemimpin negara lain atau forum dunia. Sehingga sangat wajar sekali, kita menuntut para capres dan cawapres memiliki kemampuan pencitraan diri yang luar biasa.

Seperti sama-sama kita tahu, pada akhirnya Al Gore – dengan kemampuan presentasi dan pemilihan materi kampanyenya nan menakjubkan – tidak berhasil menduduki kursi presiden. Ia kalah atas Bush. Ia sempat memiliki peluang dengan kekisruhan penghitungan di Florida. Tapi, jiwa kenegarawanannya membimbingnya untuk mengalah. Demi persatuan dan kejayaan negara adidaya, ia memilih membiarkan Bush tampil sebagai Presiden Amerika Serikat. Pelajaran demokrasi yang luar biasa.

Berkat pelajaran pencitraan diri dan kepedulian terhadap nasib bumi, serta ekstra kurikuler tentang “tawakal” ala politisi dunia, saya tetap mengagumi semua apa-apa yang telah diperbuatnya. Ia memang pantas untuk senantiasa dirindu. Terlebih, bagi bangsa yang berharap memiliki pemimpin berkualitas.

Khusus untuk film “An Inconvenient Truth” yang dibintangi oleh Al Gore, menurut saya, memang sangat beralasan dan pantas meraih dua piala Oscar pada 2007 dan sejumlah penghargaan dari festival lain. “An Inconvenient Truth” merupakan contoh ideal film dokumenter yang menawarkan inspirasi dan perubahan bagi penontonnya. [NPCI.org - Foto: thebreakthrough.org]

Tangerang, 17 Juni 2009