July 4, 2008

Membuat Film Dokumenter (6)

Setelah karakter ditentukan, maka cukup beralasan bila kita segera menyusun treatment script. Sangat jarang para pekerja televisi membuat treatment script. Karena, hal itu dianggap tidak efisien dan membuang banyak waktu. Tapi, buat saya, hal itu merupakan keharusan! Karena, dengan cara itulah, kita bisa menjelaskan ide dan keinginan kita pada rekan kerja yang lainnya. Khususnya, kamerawan.

Kamerawan bisa saja mengetahui premis yang telah saya uraikan. Namun, apakah ia memahami premis yang saya maksud? Apakah ia juga bisa menginterpretasikannya dalam bentuk gambar? Pengalaman membuktikan, premis adalah bagian yang selalu terlewati. Karena, rancangan produksi kerap lebih mempertimbangkan pengolahan data menjadi sebuah berita panjang, ketimbang membuat cerita yang berisi pesan tertentu. Bahkan, pertimbangan gambar pun jadi nomor dua. Sehingga, kesannya adalah seperti membuat sebuah berita yang ditutupi oleh gambar!

Konsep adanya treatment script biasanya milik penulis skenario sebelum ia membuat skenario. Biasanya, treatment script tersebut berisi pesan; LOKASI SYUTING dan WAKTU, serta uraian rinci adegan yang akan dibuat di lokasi dan waktu tersebut. Gunanya treatment script tersebut merupakan coret-coretan kecil sang penulis, sebelum ia menyusun naskah yang lebih lengkap dengan dialog dan adegan-adegan lainnya.

Sedangkan untuk film dokumenter, treatment script berguna untuk menjadi panduan untuk syuting. Khususnya, menyangkut waktu syuting, lokasi syuting, dan rencana adegan atau stok gambar yang diinginkan. Biasanya saya membuatnya dalam bentuk dua kolom; satu kolom berisi scene by scene visual dan sequence-sequence yang saya butuhkan, dan kolom kedua berisi rancangan narasi atau kutipan-kutipan yang saya butuhkan. Misal, isi wawancara terfokus pada masalah A, dialog yang ingin dicari juga tentang masalah A, lalu suara natural yang saya inginkan juga harus berkaitan dengan masalah A.

Namun dalam keadaan darurat dan tergesa-gesa, saya membuatnya dalam bentuk yang lebih sederhana. Sekedar coretan-coretan kecil, berisi urut-urutan ide kecil yang bakal digarap. Kerap ditambah dengan materi wawancara atau dialog yang akan menjadi bagian cerita. Sangat sederhana. Meskipun demikian, coretan-coretan itu sudah membentuk sebuah cerita dan bisa memberi gambaran, sejauhmana pesan bisa sampai ke penonton.

Pengalaman membuktikan, treatment script membuat saya bekerja lebih sistematis, dan saya bisa berharap banyak kepada kamerawan. Ia memiliki kesempatan memahami premis kita, sekaligus mendiskusikannya. Bahkan, kami berdua bisa memiliki satu pikiran.

Dengan treatmen script di tangan, sebenarnya kita telah bekerja sebanyak 40 persen. Sedangkan sisanya adalah proses perekaman atau syuting dan penyuntingan gambar. Karena itu, saya bisa menyerahkan naskah itu kepada kamerawan, mendiskusikannya lebih intens, dan berpikir tentang kendala dan keberhasilannya.

Selain itu, saya dan kamerawan pun bisa menimbang perlengkapan kerja yang harus dibawa ke lokasi; jenis kamera, lensa tambahan, lampu-lampu, mikrofon, jumlah kaset, biaya produksi, hingga kru tambahan. Perhitungan-perhitungan seperti ini perlu dilakukan. Karena, kita bakal mencapai lokasi yang tidak dekat. Dan, dengan sejumlah keadaan, yang bisa jadi, tidak seperti yang diharapkan. Maka, pastikan semua kebutuhan untuk syuting bisa terbawa dan bakal tidak merepotkan.

Ingat, berhasil-tidaknya ide atau gagasan kita terwujud, bergatung pada hasil eksekusi di lapangan. Pertimbangkan juga soal lokasi, situasi cuaca, kendaraan, karakter atau talent, periset tambahan, bahkan porter! Kendaraan pun sering menjadi dewa, yang bisa membuat berhasil atau tidaknya sebuah pekerjaan. Karena, adanya kendaraan itulah yang bisa mengantarkan kami ke lokasi dengan kondisi fresh. Karena jauh-jauh datang, tapi ketika di lokasi loyo, ya percuma jadinya.

Saya juga harus berpikir kembali soal karakter atau pemeran utama dalam cerita. Treatment script telah menentukan adanya karakter, karakter tambahan, dan narasumber. Kadang orang yang dimaksud sebenarnya belum ada. Sehingga, saya pun harus memastikan adanya karakter yang sesuai dengan naskah treatment. Dalam situasi seperti ini, peran periset tambahan atau local guide memang dominan. Merekalah “mata” kami di lapangan. Pengalaman dan pengetahuannya tentang kondisi lapangan akan memudahkan proses produksi.

Masalah kebiasaan cuaca di lokasi yang bakal dituju juga perlu diketahui. Sehingga, jadual kerja dan keamanan perlengkapan kerja bisa diduga. Karena, masalah tersebut bisa bersdampak pada biaya produksi. Belum lagi, bila syuting harus dilakukan di tengah laut? Ancaman ombak dan badai juga harus dipertimbangkan. Pada bagian ini, saya harus berpikir soal keselamatan kru dan keselamatan alat-alat kerja.

Seperti pernah disinggung tentang kru produksi, saya juga harus membiasakan diri bekerja dalam tim kecil. Saya dan kamerawan. Hanya dua orang! Kalaupun ada tambahan, ya teman-teman di kota lokasi tujuan. Hanya membantu. Tidak lebih. Mereka bisa merupakan karakter, periset, local guide, pengemudi, bahkan porter. Meskipun demikian, saya tetap harus memaksimalkan tenaga dan pikiran mereka. Karena, mereka pun bagian dari tim dan pendukung produksi yang handal!

Karena dukungan kuat mereka, kami berhasil memenuhi target seperti yang diminta. Artinya, saya bisa pulang dengan paket seperti yang diharapkan. Kalaupun ada perubahan, hanyalah perubahan-perubahan kecil pada struktur cerita atau ornament-ornamen pelengkapnya. Pesan cerita atau premis, selama ini tidak pernah meleset. []

NOTE:

Artikel di atas merupakan petikan dari buku “Cerita tentang Negeri Dongeng”, sekaligus sebagai pengantar pada delapan contoh kasus yang disajikan dalam buku tersebut.

Membuat Film Dokumenter (5)

Sebelum menyusun treatment script, ingatan saya berbalik pada “wasiat” untuk selalu mencari film referensi. Saya langsung berpikir soal film referensi yang paling pas dengan premis dan perkiraan situasi di lapangan. Inilah bagian tersulit itu. Karena, sebenarnya saya belum melihat situasi di lapangan. Karena, saya kan tengah menggarap film dokumenter original yang belum pernah ditampilkan stasiun televisi lain. Juga, belum pernah digarap oleh filmmaker lain. Jadi, posisinya benar-benar blank!

Karena itu, mencari dan menonton film referensi yang mendekati tema film dokumenter yang bakal digarap, benar-benar sangat perlu. Bahkan, sedapat mungkin kamerawan yang bakal menemani kita pun ikut menontonnya. Untuk menyamakan persepsi dan sudut pandang. Sehingga, kita sama-sama memiliki bayangan, kira-kira seperti apa film dokumenter yang akan kita garap. Atau sedikitnya, ada bagian-bagian kecil dalam film referensi, yang bisa dijadikan inspirasi.

Untuk memperkaya wajah dan keunikan film dokumenter yang bakal digarap biasanya saya memburu banyak film referensi. Karena, biasanya selalu saja ada bagian menarik dari masing-masing film, untuk dijadikan ilham. Kerap dari satu film referensi kita mendapat pola menarik di bagian awal. Tapi, ada film lain, justru menarik dalam pembahasan. Atau, malah terlihat dasyat di bagian penutup atau klimaks. Maka, jangan pernah ragu-ragu untuk menonton banyak film referensi. Sehingga, kita benar-benar memiliki banyak solusi, ketika tiba-tiba di lapangan menghadapi situasi tidak seperti yang kita rencanakan.

Dan, buat saya, film referensi tidak mesti harus dari film dokumenter atau education video produksi Discovery Channel atau National Geographic Channel. Tapi, film-film cerita Hollywood atau negara-negara yang tidak terlalu menonjol produksinya, tetap perlu dilihat bila dirasa bakal ada kesesuaian. Jangan pernah alergi dengan jenis film atau asalnya. Cobalah bertukar informasi dengan sesama filmmaker, untuk mendapatkan judul-judul film yang dirasa sejalan dengan film dokumenter yang bakal digarap.

Dan dengan bekal data dan film referensi itulah, saya bisa segera berpikir tentang karakter, yakni seseorang yang bakal menjadi pemeran utama atau artis dalam film dokumenter ini. Tujuannya, agar ia bisa menjadi kendaraan yang bisa menghubungkan satu elemen ke elemen yang lain. Katakanlah, sebagai benang merah untuk keseluruhan cerita. Perlunya menentukan karakter yang tepat merupakan upaya untuk memuluskan alur cerita. Sehingga, penonton bisa menikmati jalannya cerita dengan mudah dan meraih pesan yang dimaksud.

Anehnya, pemilihan karakter di produksi film dokumenter kerap dianggap seperti hendak membuat film dokumenter tentang profil seseorang. Padahal, berbeda jauh sekali membuat film dokumenter profil dengan cerita yang menggunakan karakter sebagai kendaraan cerita. Benar-benar dua hal yang berbeda jauh.

Pada film dokumenter profil, hampir sebagaian cerita mengungkapkan data dan informasi sang karakter. Sedangkan pada cerita yang menggunakan karakter sebagai kendaraan cerita, porsi sang karakter sangat sedikit diceritakan. Sebaliknya, masalah dalam premis itulah yang sebagian besar diungkapkan. Dan agar karakter yang dipilih tepat dan memiliki kaitan erat dengan premis yang dimaksud dalam film, maka proses seleksi pun perlu dilakukan.

Namun, jangan membayangkan seperti tengah memproduksi film layar lebar yang menyediakan seorang talent director. Karena, dalam menggarap film dokumenter – terlebih lagi untuk televisi, sang filmmaker harus berinisiatif dan memiliki kecermatan laksana seorang talent director. Minimal, ia bisa mempertimbangkan hubungannya dengan cerita, serta kemampuannya berhubungan dengan kamera dan kru produksi. Pemilihan karakter yang tidak tepat akan mengganggu kredibilitas dan kualitas film dokumenter kita. Sehingga, meski tidak dilakukan audisi, kecermatan dan ketelitian pemilihan karakter perlu dilakukan oleh filmmaker.

Dan ingat pula satu kenyataan, kelak di lapangan, sag filmmaker harus bekerja sama dan mengarahkan langsung karakter pilihannya tersebut. Sehingga, kemampuan kita memilih seorang karakter akan berdampak besar pada kerja di lapangan nanti. Pada tahap tersebut, kita juga harus realitis untuk melihat perkiraan hasil. Bagaimanakah kira-kira film dokumenter yang kita garap dengan karakter pilihan kita? Bisa memuluskan alur cerita? Mampu menghantarkan premis seperti yang diingatkan? Atau, malah sebaliknya?

Membuat Film Dokumenter (4)

Bila pada bagian terdahulu, saya bercerita banyak tentang peraihan dan pengolahan ide, maka saya ingin melangkah jauh ke depan. Yakni, mulai bermain-main dengan data dan elemen cerita.

Buah dari premis yang benar-benar fokus adalah kemudahan kita, untuk memilah data atau fakta atau informasi yang ada di meja. Ada hasil riset para peneliti, ada print-out hasil browsing internet, ada buku-buku referensi, ada catatan hasil wawancara dengan pakar, ada juga laporan informasi dari informan. Semuanya menarik. Semuanya penting. Tapi, apakah semua data itu bisa menjadi bagian dari cerita film dokumenter kita?

Belum tentu.

Kembali fokus ke premis akhir yang telah disusun. Segeralah memusatkan perhatian pada pencapaian film dokumenter itu sendiri. Sehingga, kita akan “tega” membantai setiap data yang dirasa tidak berhubungan dengan premis. Cara termudah untuk memilah-milah data yang berserakan di atas meja adalah dengan memilah premis akhir menjadi elemen-elemen cerita. Perkirakan hal apa saja yang perlu ditonjolkan dan akan menjadi bagian dari sentral cerita. Dengan begitu, pemilahan data pun akan mengerucut pada pasokan elemen cerita.

Pada akhirnya, proses penyaringan terhadap tumpukan data pun akan terjadi gila-gilaan. Data yang dianggap tidak penting dan menarik, abaikan. Data yang dirasa tidak mendukung cerita, buang. Bahkan, buku tebal yang dijadikan referensi pun harus ditelaah lagi, bab mana atau pasal mana yang sesuai dengan kebutuhan. Lebih sempit lagi, kutipan referensinya pun paling beberapa kalimat saja. Yang penting, data di dalamnya sesuai dengan kebutuhan cerita.

Print-out hasil browsing dari internet merupakan rincian data yang biasanya sangat menunjang penyusunan treatment script. Karena, sesungguhnya pergeseran data di lapangan biasanya tidak terjadi secara ekstrim. Dan, cara ini dilakukan sebagai jalan pintas untuk menghindari wawancara di lapangan atau mengumpulkan data sebelum produksi. Efisiensi waktu, tepatnya. Sedangkan materi yang dibrowsing umumnya lebih kepada data dan informasi termutakhir dari berbagai media.

Data dari buku biasanya saya gunakan sebagai penunjang teori atau bahan membangun hipotesis tentang premis akhir. Sehingga, kita mencoba membuat bangunan logika yang tepat secara keilmuan, dan bukan asumsi-asumsi. Apalagi, imajinasi semata. Kerap dari buku, kita bisa mendapatkan data yang tidak digali dari media lain. Sehingga, hal itu akan menjadi “peluru” baru untuk mencari nilai lebih pada film dokumenter kita nanti.

Di luar data dari internet dan buku, dialog dan penggalian data kepada ahli atau orang-orang yang pernah berhubungan dengan tema film dokumenter kita, juga menjadi referensi penting untuk mendapat elemen cerita. Cara ini biasanya menjadi senjata paling hebat dalam menyiasati ketidaktahuan kita akan topik dan situasi di lapangan. Bila kita berhubungan dengan banyak orang, yang kerap masing-masing merasa paling tahu, membuat kita bingung. Siapa yang bisa dipercaya dan data mana yang bisa dipakai?

Kali ini, kembali ke data sebelumnya yang kita dapat. Cobalah telusuri secara hati-hati. Bagaimanakah hubungannya? Apa masuk di akal? Dan, tentu saja, apa memang data seperti itu yang dicari? Jadi, kembali fokus ke masalah. Bisa saja diskusi atau dialog menggumpalkan sebesar gunung. Tapi, perhatian harus terus fokus ke masalah.

Agar data yang sudah terkumpul tidak terlalu lama bermukim di meja dan kepala, maka saya pun segera memilah-milah seluruh data menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Lalu, menyusun data terpilih menjadi elemen-elemen cerita dan menempatkannya dalam sebuah kerangka cerita. Produksi tentang orangutan di Kalimantan Tengah (seperti pernah dibahas di baba pendahuluan buku terdahulu), kembali saya jadikan sebagai contoh kasus.

Premis Akhir:

Upaya penyelamatan orangutan dari kekejaman para pekerja kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah”

Elemen Cerita:

1. Upaya penyelamatan orangutan;

orangutan yang masih hidup, orangutan yang dianiaya, perawatan dan rehabilitasi orangutan, habitat orangutan yang sebenarnya, kebun kelapa sawit.

2. Kekejaman pekerja kebun kelapa sawit;

Footage aksi pengejaran orangutan, footage penyelamatan orangutan, wawancara tentang alasan perburuan dan pembunuhan terhadap orangutan.

3. Cerita pendukung;

Wawancara dengan LSM soal situasi yang sebenarnya, nasib orangutan, masa depan orangutan, masa depan Kalimantan akibat peristiwa itu.

Bila bagian ini telah terlewati, Kini, saatnya memikirkan tentang pengemasan cerita. Memperkirakan alur cerita scene by scene. Mirip membuat skenario film. Atau membuat treatment script – naskah kasar yang biasanya menjadi acuan para penulis skenario.[]

Membuat Film Dokumenter (3)

Seperti sudah kelaziman di setiap stasiun-stasiun televisi, dominasi produser eksekutif dan produser sangat besar dalam menawarkan topik cerita. Merekalah yang berperan mencari, mempertimbangkan, dan menawarkannya pada sebuah rapat praproduksi. Kru lain pun sebenarnya memiliki kesempatan untuk menawarkan idenya. Namun, menyangkut pengambilan keputusan, tetap mutlak berada di tangan produser eksekutif.

Situasi ini, tentu saja, jauh berbeda dengan penggarapan film dokumenter independen – yang diproduseri dan disutradarai sendiri. Karena, biasanya sang filmmakerlah yang mencari, mempertimbangkan, dan memutuskan topik terbaik untuk filmnya. Kadang, sang filmmaker mendapat dukungan ide atau saran dari kru lainnya. Namun, kebebasan berkehendak tetaplah menjadi harta sang filmmaker.

Keuntungan yang didapat dari banyaknya kreator yang berkumpul di satu meja, tentu saja, semakin banyaknya ide dan sudut pandang. Ada banyak pilihan yang disedikaan. Seiring dengan itu, semakin berkumpul pulalah sejumlah keinginan. Seakan seluruh penyumbang ide berkeinginan memaksakan idenya(?) Rumit juga, kan?

Agar tidak terjebak dalam pertarungan tentang ide atau data, maka biasa saya langsung menutuskan, untuk mengolah kumpulan ide dan data itu menjadi film statement atau premis atau ide cerita. Kalangan pembuat film layar lebar atau sinentron menyebutnya premis atau ide cerita. Namun, kalangan pembuat film dokumenter menyebutnya film statement. Padahal, makna ketiganya sama saja, yakni sebuah rencana untuk mengatakan sesuatu melalui film. Atau, sebuah kehendak untuk menyampaikan pesan melalui bahasa audio-visual. Atau, ide dasar dari rangkaian cerita.

Inilah persoalan terpenting dalam setiap produksi. Ibaratnya, ia merupakan roh bagi jasmani. Atau, pondasi bagi sebuah bangunan. Ia akan menjadi dasar pijakan untuk pekerjaan berikutnya. Karena itu, ketika ide sudah didapat dan ada keinginan untuk membuat film dokumenter, para filmmaker akan berjuang mati-matian untuk merumuskan film statement atau premis filmnya.

Karena itu, penguraian masalah premis itu akan mendapat porsi yang besar pada setiap bab di buku ini. Tanpa menceritakan proses perumusan premis, maka sama artinya dengan tidak membahas film dokumenter atau program dokumeter televisi. Pengalaman membuktikan, pelajaran utama memproduksi film dokumenter, justru pada bagian itu.

Dan untuk mempermudah penentuan fokus cerita, agar lebih spesifik dan mengerucut ke suatu masalah, biasanya saya langsung memikirkan premis awal. Disebut premis awal, karena saya selalu merasa bakal ada perubahan dan menjadikannya sebagai premis akhir. Penyebabnya, lagi-lagi, menyangkut riset yang lemah dan ketidakmengertian akan situasi di lokasi. Anehnya, kedua problem selalu terjadi di setiap produksi.

Meskipun demikian, diskusi untuk merumuskan premis awal tetaplah menarik. Dan, sangat memungkinkan untuk menjadikannya fokus ke masalah yang ingin kita tuju. Karena, waktu tidak bisa kompromi dan senantiasa menuntut untuk segera menentukan; masalah apa yang harus disampaikan pada film dokumenter kita?

Jurus pertama yang biasa saya lakukan adalah benar-benar memusatkan perhatian pada pesan yang ingin disampaikan. Buka mata dan telinga, untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin. Sehingga, kita bisa membuat premis yang benar-benar baru, lebih spesifik, lebih fokus, serta sedapat mungkin, sangat menarik dan tengah menjadi perhatian orang banyak.

Misalnya, ketika saya mendapat permintaan menggarap masalah orangutan di Kalimantan. Maka, saya pun langsung mencari masalah yang paling menarik dari ide cerita itu. Bicara tentang orangutan, segera saja ingatan saya tertuju pada nasib orangutan yang sering diperjualbelikan secara illegal, diburu dan dibantai, dan ada juga direhabilitasi.

Maka, premis saya pun mengarah pada “penyelamatan orangutan”. Arah pesannya sudah sangat jelas, yakni tentang bagaimana upaya menyelamatkan orangutan lantaran banyak pihak yang membantai hewan liar itu. Namun, apakah premis itu sudah spesifik? Dikatakan “penyelamatan”, pertimbangkan lagi, diselamatkan dari apa? Diselamatkan dari kejahatan atau masalah apa?

Obyeknya memang sudah jelas, yakni orangutan. Tapi, rumusan itu terasa masih menggantung dan belum mengarah ke suatu fokus. Kita pun masih akan diputar-putar oleh premis kita sendiri. Karena itu, saya harus membuat premis itu, katakanlah premis awal, menjadi lebih spesifik. Sehingga, kita bisa mendapat gambaran tentang fokus cerita. Premis yang bisa menuntun ke arah fokus cerita. Sebut saja, premis akhir.

Saya mencoba membalikkan pikiran menuju premis awal “penyelamatan orangutan”. Dengan bekal premis itu, saya pun segera memikirkan data dan fakta lain, yang saat itu tengah berhubungan erat dengan masalah penyelamatan orangutan. Sehingga, saya bisa mempertimbangkan fakta itu dan menjadikannya sebagai premis akhir.

Informasi dari teman LSM di Kalimantan Tengah menyebutkan, adanya pembantaian orangutan oleh para pekerja kebun kelapa sawit. Hal itu merupakan dampak dari pembukaan hutan menjadi kebun kelapa sawit. Orangutan kehilangan habitat, lalu mencari makan ke dalam kawasan kebun kelapa sawit. Banyak kelapa sawit yang rusak. Sehingga, pemilik kebun harus menanggung kerugian. Maka, ia pun memerintahkan para pekerjanya untuk memburu orangutan. Tujuan utamanya adalah menyelamatkan kebun kelapa sawitnya.

Saya tidak perlu berpikir lama. Karena, data mutakhir yang saya dapat makin memfokus pada satu masalah; pemburuan orangutan oleh para pekerja kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah. Lokasi penggarapannya pun sudah jelas, yakni Kalimantan Tengah. Maka, akhirnya merumuskan premis akhir, “penyelamatan orangutan dari kekejaman para pekerja kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah”. Sebuah film statement atau premis yang lebih panjang dari premis asal, namun makin fokus ke suatu obyek.


Topik:

Orangutan di Kalimantan

Tujuan:

Mengungkapkan berbagai permasalahn orangutan di Kalimantan

Premis Awal:

Penyelamatan orangutan”

Info aktual:

Pembukaan kebun kelapa sawit di sejumlah tempat di Kalimantan Tengah diikuti hilangnya habitat orangutan. Orangutan kehilangan habitat dan tempat mencari makan. Orangutan masuk ke kebun kelapa sawit dan merusak kelapa sawit. Para pemilik kebun kelapa sawit marah dan meminta para pekerjanya memburu orangutan. Perburuan berakibat kematian dan korban kekerasan lain pada orangutan.

Premis Akhir:

Upaya penyelamatkan orangutan dari kekejaman para pekerja kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah”


Seperti tadi diungkapkan di atas, premis ibarat pondasi dari sebuah bangunan. Ia bisa berbentuk apa saja dan ia bakal menjadi cikal-bakal bentuk bangunan di atasnya. Karena itu, kokoh dan tidaknya bangunan, indah atau tidak indahnya bangunan, tentu saja sangat bergantung pada pondasi bangunan.

Kesimpulannya, rapat praproduksi merupakan momen menarik bagi seluruh tim produksi, untuk sama-sama memfokuskan diri ke satu pandangan. Bukan sekedar mendiskusikan data dan hipotesis-hipotesis. Tapi, kinilah saatnya mempertimbangkan pesan pada film kita. Apa sih yang ingin dikatakan kepada penonton? Satu kalimat saja, jawabannya.[]