September 11, 2009

WARTAWAN ECEK-ECEK


Suatu ketika saya diminta berbicara teknik produksi feature oleh sebuah lembaga pendidikan di Gorontalo. Lantas seorang peserta bertanya tentang perasaan saya menjadi jurnalis televisi. Pertanyaan yang teramat sederhana. Dan, wartawan pemula sekali pun akan mudah menjawabnya. Bahkan lengkap dengan segala remeh-temehnya. Saya menduga, pertanyaan itu pun sekedar uji nyali sang peserta agar terbiasa menjadi berani di berbagai forum pertemuan. Karena mereka memang calon-calon jurnalis.

Saat itu, saya pun mencoba menjawabnya seringan mungkin. Dalam artian, saya hanya memaparkan apa-apa yang bisa mereka lihat secara jelas. Misal, kesempatan bertemu dengan tokoh-tokoh ternama, kesempatan berpergian ke berbagai daerah dengan segala fasilitasnya, dan tentu saja kesempatan menghimpun pelajaran tentang hidup. Dua jawaban terdepan adalah kenyataan yang nyaris didapatkan oleh kalangan wartawan dari media massa mana pun. Bahkan, siapa pun bisa menyepakatinya tanpa berpikir panjang. Jawaban terakhir? Ups, apa tidak mengada-ada? Atau, sekadar menghiperbolakan persoalan?

Saya sempat berpikir panjang tentang makna “pelajaran hidup” dari pernyataan yang pernah saya ungkapkan itu. Saya sangat yakin jawaban itu tidak salah. Karena, toh saya melontarkan jawaban itu berdasarkan apa-apa yang terekam otak kiri-kanan saya selama bertahun-tahun. Sebaliknya, apakah mahasiswa yang mendengarkan jawaban itu akan memahami dan memaknainya seperti yang saya maksudkan? Belum tentu. Biar bagaimana pun, pengetahuan dan pengalaman mereka masih teramat sedikit untuk memahami pelajaran tentang hidup. Terutama, memaknai pesan-pesan yang didapat dari kehidupan itu sendiri.

Berbekal dari konflik batin itu, saya jadi bersemangat untuk menuliskan cerita tentang profesi jurnalis televisi dan pelajaran hidup yang terekam di dalamnya. Niatan awalnya, karena ingin membuktikan kebenaran atas keyakinan saya itu. Sehingga, konflik batin itu bisa tersalurkan secara positif.

Teman-teman, dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, semoga saja saya bisa segera menghadirkan buku tentang semua uraian di atas berjudul "WARTAWAN ECEK-ECEK, dari gila nonton tv hingga jadi jurnalis tv". Dan semoga juga, hal itu memberikan kebarokahan bagi kehidupan kita semua.[]

MEMOTRET KHATULISTIWA

Akhirnya, tuntas sudah perjalanan memikul amanah. Desember 2005 hingga Desember 2007, saya berada di rumah bernama POTRET. Hasil kunjungan ke 20 provinsi, 31 kabupaten, dan entah berapa kabupaten dan kecamatan yang dilewati -- sekedar singgah atau istirahat -- adalah 41 episode, dengan berbagai topik dan kemasan.

Syukur alhamdulillah, akhirnya perjalanan itu bisa dilewati dengan selamat. Saya tidak berani menjamin, apakah isinya berguna atau tidak, apakah materinya bermanfaat atau tidak, dan apakah contentnya bermutu atau tidak. Banyak parameter yang bisa dibuat untuk mengukurnya. Tapi, banyak subyektivitas pula yang menjadi acuan. Sehingga, akhirnya "rasa"lah yang menjadi alat ukur terobyektif dan jujur. Karena itu, marilah kita sama-sama mengasah "rasa" hingga menjadi cita rasa nan tulus, mampu menembus setiap hijab dengan kesempurnaan, dan bisa memaknainya secara mendalam.

Rasa syukur nan terkira, bukan hanya karena saya berhasil menuntaskan amanah itu persis di dua tahun perjalanan dan hari jadi yang 40 tahun, tapi dengan kerendahan hati, saya berhasil mengabadikannya dalam dua buah buku. "MEMOTRET KHATULISTIWA" & "NABI-NABI BLOG", judulnya. Isinya, catatan produksi di belakang komputer, di tengah lapangan, dan di ruang editing. Ada kisah petualangannya nan indah dan melelahkan, ada teknis pemilahan ide dan perumusan premis, dan ada cerita the making of... nya yang berlagak ilmiah. Buku itu bukan karya hebat dan bisa dibanggakan. Tapi, sekedar catatan kerja, yang diharapkan bisa memberikan inspirasi bagi siapa pun untuk berani memulai sebuah pekerjaan. Khususnya, menggagarp film dokumenter.

Sedangkan buku kedua bercerita tentang kisah-kisah inspiratif yang bisa dipetik dari kehidupan masyarakat adat dan seniman tradisional. Arahnya, bisa disebut menjadi semacam buku motivasi dan tasawuf populer. Hal ini jadi perlu dihadirkan, karena saya merasa menemukan banyak mutiara ketika mengunjungi berbagai lokasi produksi. Dan, sayang bila mutiara-mutiara itu tidak dibagikan kepada Anda.

Dalam waktu dekat, Insya Allah "MEMOTRET KHATUSLITIWA" & "NABI-NABI BLOG" akan menjumpai Anda. Sabar menanti adalah memenuhi amanah Rasulallah dan firman Allah. Sabar, kami akan mengabarkan kabar penerbitannya.

Terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu pemenuhan amanah tersebut. Semoga Allah Swt akan membalasnya dengan segala ketulusan dan kemuliaan. Salam hangat dan penuh kedamaian.[]

ALBERT ARNOLD G0RE JR.

Malam itu, 4 November 2000. Al Gore mengangkat gagang telepon dan menghubungi George Walker Bush. Dia mengucapkan selamat atas kemenangan Gubernur Negara Bagian Texas itu dalam pemilihan presiden. Percakapan tersebut tak berlangsung lama, dan Gore yang ketika itu masih menjabat sebagai Wakil Presiden Amerika Serikat sekaligus calon presiden dari Partai Demokrat, menutup telepon.

Sebagaimana galibnya dalam budaya politik AS, Gore pun bersiap menyampaikan pidato kekalahan di depan pendukungnya. Namun, dalam rentang tak terlalu lama, dia dikejutkan oleh telepon dari Ron Klain, manajer kampanyenya. Kabar yang didengarnya bak petir di siang bolong. Klain mengatakan ada yang salah dengan hasil suara di Negara Bagian Florida. Dan, tipisnya selisih suara antara Gore dan Bush, membuat kesalahan itu cukup untuk mengantarkan Gore menjadi pemenang dalam Pilpres 2000. Intinya, siapa yang memenangkan Florida dipastikan bakal berkantor di Gedung Putih.

Seketika itu juga, konstelasi politik di AS berubah. Sebagian besar media elektronik mencabut running text tentang kemenangan Bush. Media cetak pun buru-buru membuat edisi ralat. Reporter yang berada di lapangan mengubah arah pemberitaan dengan mengatakan “belum ada Presiden AS terpilih”. Sejak malam itu, sebuah “drama” yang disebut-sebut sebagai the most controversial presidential election in US history tersebut dimulai.

Jujur saja, buat saya apa yang terjadi di AS dari 4 November hingga 13 Desember 2000 itu biasa saja. Namun, semuanya menjadi berbeda ketika saya menyaksikan sebuah film semidokumenter berjudul Recount yang dirilis 2008 silam. Film ini menceritakan kejadian hari demi hari pertarungan antara tim kampanye Gore dan Bush untuk memenangkan Florida. Dan film yang berangkat dari fakta sejarah ini saya rasakan semakin relevan karena Komisi Pemilihan Umum baru saja menetapkan hasil Pilpres 2009.

Tak pernah terbayangkan negara kampiun demokrasi seperti AS bisa terjerembab dalam sejarah memalukan ini. Jika biasanya presiden AS terpilih bisa ditentukan dalam waktu satu hari, kali ini berbeda. Penentuan Presiden ke-43 AS harus menempuh jalan berliku dan panjang. Warga AS pun menaruh perhatian pada Florida, dimana terbongkar banyak kasus pelanggaran pemilu, kesimpangsiuran kertas suara, gugatan pemilihan, dan tuntutan hukum.

Pihak Partai Demokrat mengklaim angka 19 ribu suara di Palm Beach County yang didiskualifikasi. Setelah suara di 21 county di Florida dihitung ulang, Gore mendapat tambahan 642 suara dan Bush memperoleh tambahan 144 suara. Jika ditotal, Bush meraup 2.909.404 suara, sedangkan Gore baru mendapat 2.908.126 suara. Ini berarti Bush unggul dengan selisih 1.278 suara. Angka yang tipis dan tentu saja tak sebanding dengan 19 ribu suara yang hilang itu.

Demokrat jelas tak asal teriak. Sebanyak 19 ribu suara yang dipermasalahkan itu dianggap tak sah karena dicoblos dua kali. Sebagian besar pemilih adalah dari kalangan minoritas Afrika-Amerika atau kulit hitam yang secara politik adalah massa tradisional Demokrat yang tentu saja condong memilih Gore. Apalagi, para pemilih ini mengaku mencoblos dua kali karena kertas suara yang membingungkan. Gore menjadi capres nomor urut dua, tapi di kertas suara posisi mencoblosnya ada di urutan ketiga.

Masalah kedua adalah soal DPT. Tak jauh beda dengan Pilpres 2009 di Indonesia, ada 1.800 nama fiktif dalam daftar pemilih tetap di Florida. Dengan kedua masalah itu, perang opini pun dimulai. Tim kampanye masing-masing capres sibuk melobi, tim hukum Gore dan Bush pun mengumpulkan semua bahan untuk beradu argumen. Selain penghitungan ulang, kemungkinan dilakukannya pemilihan ulang juga mulai membayang.

Florida sendiri memiliki atmosfer politik yang unik saat masalah ini mengemuka. Bush diuntungkan karena Gubernur Florida dijabat adik kandungnya Jeb Bush. Demikian juga sejumlah pejabat negara bagian yang tak lain adalah anggota Partai Republik dan menjadi bagian tim kampanye Bush. Sementara Gore yang diusung Partai Demokrat memiliki keuntungan karena pengadilan di Florida mayoritas hakimnya dipilih ketika Partai Demokrat menguasai negara bagian itu.

Tuntutan penghitungan suara ulang dipenuhi pengadilan Florida. Namun, sempat diperintahkan untuk dihentikan sebelum kemudian dilaksanakan kembali. Bahkan, waktu untuk penghitungan ulang juga diperpanjang sampai dua kali. Karena tetap tak tercapai titik temu, kasus ini sampai ke Mahkamah Agung. Meski tanpa suara bulat, pada 12 Desember 2000 Mahkamah Agung memutuskan Bush memenangkan pemilihan di Florida. Hebatnya, tim kampanye dan tim hukum Gore tak patah semangat. Ron Klain dan stafnya menyiapkan bukti baru untuk mematahkan putusan itu.

Pagi hari, 13 Desember 2000, atau 40 hari setelah pilpres berlangsung, telepon di ruang kerja Ron Klain berdering. Ketika diangkat, ternyata dari Gore. Dengan sikap formal, Ron Klain menyapa bosnya. Gore mengatakan tak bisa tidur karena memikirkan putusan MA tersebut. “Aku harus menghentikan perang ini ketika aku tahu aku tak bisa menang, Ron,” ujar Gore. Ron Klain –yang diperankan dengan baik oleh Kevin Spacey– terdiam dan matanya memerah.

Malam harinya, Gore tampil di televisi nasional dan menyampaikan selamat kepada Bush. “Aku tahu banyak pendukung yang kecewa, termasuk aku. Namun, kekecewaan itu akan berlalu karena kecintaan terhadap negeri ini,” ujar Gore yang terus menebar senyum. Konflik yang melelahkan itu pun berakhir. Bukan oleh putusan hukum atau tekanan politik, tapi lebih karena jiwa besar yang ditunjukkan seorang Gore.

Di Jakarta, 25 Juli 2009, pasangan calon presiden dan wakil presiden Megawati Sukarnoputri dan Prabowo Subianto menolak hadir di Kantor Komisi Pemilihan Umum. Keduanya menolak mengakui hasil pilpres dan menolak pula mengakui kemenangan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono. Saya bisa memaklumi jika pasangan ini mempermasalahkan berbagai pelanggaran yang ada. Tapi, menyoal pelanggaran pemilu dan menolak mengakui presiden yang dipilih mayoritas rakyat dalam konteks Pilpres 2009 adalah sesuatu yang berbeda.

Bahwa pelanggaran, kecurangan, atau kesalahan dalam pemilu harus diusut, saya sangat setuju. Ini penting agar di masa datang KPU sebagai penyelenggara pemilu bisa lebih awas dan suara setiap pemilih bisa dihargai. Namun, dalam kasus ini, harus pula dilihat apakah pelanggaran atau kecurangan itu signifikan untuk mengubah hasil penghitungan. Dengan selisih suara antara SBY-Boediono dan Megawati-Prabowo yang mencapai 40 juta lebih, sulit rasanya pemenang pilpres bisa berubah.

Karena itu, sejak awal saya berharap Megawati dan Prabowo mengucapkan selamat kepada SBY dan Boediono. Pada saat bersamaan keduanya juga harus membawa pelanggaran dan kecurangan yang ada ke Mahkamah Konstitusi. Langkah ini menyiratkan dua hal. Pertama, bahwa pasangan capres-cawapres menghargai pilihan rakyat dan berbesar hati ketika dirinya menjadi pihak yang kalah. Kedua, pelanggaran atau kecurangan dalam pemilu sama dengan menciderai suara rakyat, dan itu harus diselesaikan melalui mekanisme hukum.

Ketika gagasan pemilihan presiden langsung mengemuka pascaturunnya Presiden Soeharto, banyak kalangan yang menilai masyarakat kita belum siap. Ada ketakutan bakal muncul konflik, anarki, serta perpecahan. Kini, dua kali sudah negara ini menyelenggarakan pemilihan umum langsung dan ketakutan itu tak terbukti. Rakyat ternyata bisa berdemokrasi dan menerima pemimpin yang telah dipilih secara langsung. Tak ada unjuk rasa atau anarki menyikapi hasil pilpres.

Sebaliknya, calon pemimpin kita masih hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Sulit menerima kekalahan dan sibuk mencari kesalahan-kesalahan orang lain. Itulah dilema pemimpin di negara kita yang jumlahnya sudah berlebih namun sangat sedikit yang bisa disebut negarawan itu. Pemimpin bisa jadi masih punya nafsu berkuasa, menganggap diri paling hebat, dan menganggap rakyatnya pion belaka. Sementara seorang negarawan selalu bertindak dan bersikap semata-mata untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu negara dan bangsa.

Kini, saya hanya bisa berandai-andai. Andai saja Megawati yang dalam setiap pidatonya begitu suka menyebut kata “bangsa” dan “negara” itu tak melulu hanya berbicara kepada massa PDI Perjuangan, tapi kepada seluruh rakyat Indonesia. Andai saja Prabowo mengucapkan selamat kepada SBY-Boediono usai hasil hitung cepat diumumkan. Dan andai saja keduanya hadir di KPU pada Sabtu silam sebagai penghargaan kepada 32 juta lebih suara yang memilihnya, saya yakin pasangan ini sudah menanam benih psikologis yang positif untuk maju pada Pilpres 2014. Sayang, tak banyak pemimpin kita yang punya kerendahan hati dan kebesaran jiwa layaknya Albert Arnold Gore Jr. [Rinanldo, blog.liputan6.com]

RINDU AL GORE

Film dokumenter “An Inconvenient Truth” dengan karakter mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Albert Arnold "Al" Gore, Jr., sungguh terlalu perkasa buat saya. Hingga, saya tidak akan pernah tega untuk membandingkan tampilan Al Gore dengan Horrison Ford atau bintang-bintang kelas dunia lain.

Sebagai bintang film dokumenter, Al Gore tampil sempurna. Good looking, memiliki kualitas vokal yang di atas rata-rata, dan selalu tampil prima dalam mempresentasikan materi kampanye. Tiga elemen itu sudah merupakan modal yang sangat besar bagi sutradara untuk “memainkan” sang karakter dalam setiap scene. Bahkan, sutradara tidak perlu mengarahkan blocking atau aturan pengambilan gambar baku pada pemainnya. Karena, justru filmmakerlah yang dituntut melayani dan menafsirkan semua pergerakan dan pesan yang disampaikannya.

Memang sangat tidak mengejutkan bila dalam film itu Al Gore begitu terampil mengampanyekan isu global warming dan pencitraan diri. Catatan profil yang mantan wartawan, pengusaha, aktivis, dan politisi, merupakan petunjuk bahwa ia bukan orang sembarangan yang tiba-tiba saja bernafsu menjadi presiden. Ia bukan hanya memiliki ambisi dan strategi politik. Tapi, ia juga memiliki materi presentasi yang lebih dari memadai, untuk ditawarkan kepada publik sebagai proposal capres. Dan ketika gong kampanye dimulai, ia tidak serta merta “sadar kamera”. Tapi, ia memang telah menyiapkan diri sedemikian rupa, untuk tampil meyakinkan di depan kamera dan masyarakat luas.

Lepas dari itu semua, kunci kekaguman saya terhadap film itu, karena saya memfokuskan diri pada film statement dan pencitraan yang dibangun oleh Al Gore sebagai capres negara adidaya saat bertarung dengan capres Partai Republik George W. Bush pada 2000. Sejak opening scene digulirkan, sutradara Davis Guggenheim tanpa ampun menghujamkan fakta ancaman terhadap bumi akibat pemanasan global. Setelah itu, kamera obyektif terus menguntit kampanye capres Partai Demokrat itu di berbagai tempat. Dengan topik yang fokus pada masalah lingkungan, tentu saja.

Di luar materi global warming, pastinya Al Gore juga melontarkan isu-isu lain seputar kondisi negaranya dan juga perspektifnya terhadap dunia. Tapi harus diakui sejujur-jujurnya, keberanian Al Gore memperbesar porsi masalah lingkungan dibandingkan isu lain – terlebih lagi aib pesaingnya – jelas sangat luar biasa. Bahkan, saat seorang capres memilih isu lingkungan sebagai materi kampanye saja sudah perlu mendapat pujian. Karena, jujur saja, memang banyak kalangan mengasumsuikan masalah itu sangat tidak seksi, kan?

Tidak percaya? Mari kita cermati satu demi satu materi kampanye pasangan capres dan cawapres yang tengah memperebutkan kursi R-1 dan R-2 pada pilpres kali ini. Adakah masalah pembantaian orangutan di Kaliman Tengah disinggung oleh para kandidat? Adakah masalah kerusakan terumbu karang menjadi perhatian para peserta pilpres? Adakah masalah pembalakan liar dan bahaya kerusakan “paru-paru” khatulistiwa menjadi menu kampanye mereka?

Faktanya, isu neoliberalisme versus ekonomi kerakyatan, penegakan hukum dan keadilan, plus konsep-konsep abstrak yang sulit dipahami orang awam, masih bertebaran. Ada kesan keseragaman proposal. Namun, semuanya belum menghadirkan dimensi lain yang lebih membumi. Apalagi, memiliki kepercayaan diri untuk menggulirkan keprihatinan masalah lingkungan. Apa mungkin masalah tersebut masih dianggap “baik-baik saja” di mata para capres dan cawapres?

Kita juga mungkin jadi sangat tidak bijaksana bila, para capres dan cawapres pada pilpres kali ini diharapkan memiliki kualitas presentasi seperti Al Gore. Kualitas pencitraan diri yang luar biasa, menurut saya. Karena, biar bagaimanapun masing-masing kandidat memiliki latar belakang dan jam terbang, yang sudah pasti, tertinggal jauh dibandingkan Al Gore.

Tapi – kalau boleh berharap – mereka merupakan calon pemimpin bangsa yang sudah seharusnya memiliki keterampilan seperti itu, bukan? Lima tahun di depan, nasib bangsa dan negara ini ada di genggamannya. Dan sudah sangat pasti, mereka akan berbicara, berdiskusi, bernegoisasi, dan menunjukkan proposal perbaikan negara ini kepada pemimpin-pemimpin negara lain atau forum dunia. Sehingga sangat wajar sekali, kita menuntut para capres dan cawapres memiliki kemampuan pencitraan diri yang luar biasa.

Seperti sama-sama kita tahu, pada akhirnya Al Gore – dengan kemampuan presentasi dan pemilihan materi kampanyenya nan menakjubkan – tidak berhasil menduduki kursi presiden. Ia kalah atas Bush. Ia sempat memiliki peluang dengan kekisruhan penghitungan di Florida. Tapi, jiwa kenegarawanannya membimbingnya untuk mengalah. Demi persatuan dan kejayaan negara adidaya, ia memilih membiarkan Bush tampil sebagai Presiden Amerika Serikat. Pelajaran demokrasi yang luar biasa.

Berkat pelajaran pencitraan diri dan kepedulian terhadap nasib bumi, serta ekstra kurikuler tentang “tawakal” ala politisi dunia, saya tetap mengagumi semua apa-apa yang telah diperbuatnya. Ia memang pantas untuk senantiasa dirindu. Terlebih, bagi bangsa yang berharap memiliki pemimpin berkualitas.

Khusus untuk film “An Inconvenient Truth” yang dibintangi oleh Al Gore, menurut saya, memang sangat beralasan dan pantas meraih dua piala Oscar pada 2007 dan sejumlah penghargaan dari festival lain. “An Inconvenient Truth” merupakan contoh ideal film dokumenter yang menawarkan inspirasi dan perubahan bagi penontonnya. [NPCI.org - Foto: thebreakthrough.org]

Tangerang, 17 Juni 2009

FILM DOKUMENTER

Film dokumenter adalah film yang mendokumentasikan kenyataan. Istilah "dokumenter" pertama digunakan dalam resensi film Moana (1926) oleh Robert Flaherty, ditulis oleh The Moviegoer, nama samaran John Grierson, di New York Sun pada tanggal 8 Februari 1926.


Di Perancis, istilah dokumenter digunakan untuk semua film non-fiksi, termasuk film mengenai perjalanan dan film pendidikan. Berdasarkan definisi ini, film-film pertama semua adalah film dokumenter. Mereka merekam hal sehari-hari, misalnya kereta api masuk ke stasiun. pada dasarnya, film dokumenter merepresentasikan kenyataan. Artinya film dokumenter berarti menampilkan kembali fakta yang ada dalam kehidupan.


Pada perkembangannya, muncul sebuah istilah baru yakni Dokudrama. Dokudrama adalah genre dokumenter dimana pada beberapa bagian film disutradarai atau diatur terlebih dahulu dengan perencanaan yang detail. Dokudrama muncul sebagai solusi atas permasalahan mendasar film dokumenter, yakni untuk memfilmkan peristiwa yang sudah ataupun belum pernah terjadi.


Para analis Box Office telah mencatat bahwa genre film ini telah menjadi semakin sukses di bioskop-bioskop melalui film-film seperti Super Size Me, March of the Penguins dan An Inconvenient Truth. Bila dibandingkan dengan film-film naratif dramatik, film dokumenter biasanya dibuat dengan anggaran yang jauh lebih murah. Hal ini cukup menarik bagi perusahaan-perusahaan film sebab hanya dengan rilis bioskop yang terbatas dapat menghasilkan laba yang cukup besar.


Perkembangan film dokumenter cukup pesat semenjak era cinema verité. Film-film termasyhur seperti The Thin Blue Line karya Errol Morris stylized re-enactments, dan karya Michael Moore: Roger & Me menempatkan kontrol sutradara yang jauh lebih interpretatif. Pada kenyataannya, sukses komersial dari dokumenter-dokumenter tersebut barangkali disebabkan oleh pergeseran gaya naratif dalam dokumenter. Hal ini menimbulkan perdebatan apakah film seperti ini dapat benar-benar disebut sebagai film dokumenter; kritikus kadang menyebut film-film semacam ini sebagai mondo films atau docu-ganda.[1] Bagaimanapun juga, manipulasi penyutradaraan pada subyek-subyek dokumenter telah ada sejak era Flaherty, dan menjadi semacam endemik pada genrenya.


Kesuksesan mutakhir pada genre dokumenter, dan kemunculannya pada keping-keping DVD, telah membuat film dokumenter menangguk keuntungan finansial meski tanpa rilis di bioskop. Meski begitu pendanaan film dokumenter tetap eksklusif, dan sepanjang dasawarsa lalu telah muncul peluang-peluang eksibisi terbesar dari pasar penyiaran. Ini yang membuat para sineas dokumenter tertarik untuk mempertahankan gaya mereka, dan turut mempengaruhi para pengusaha penyiaran yang telah menjadi donatur terbesar mereka.[2]


Dokumenter modern saling tumpang tindih dengan program-program televisi, dengan kemunculan reality show yang sering dianggap sebagai dokumenter namun pada kenyataannya kerap merupakan kisah-kisah fiktif. Juga bermunculan produksi dokumenter the making-of yang menyajikan proses produksi suatu Film atau video game. Dokumenter yang dibuat dengan tujuan promosi ini lebih dekat kepada iklan daripada dokumenter klasik.


Kamera video digital modern yang ringan dan editing terkomputerisasi telah memberi sumbangan besar pada para sineas dokumenter, sebanding dengan murahnya harga peralatan. Film pertama yang dibuat dengan berbagai kemudahan fasilitas ini adalah dokumenter karya Martin Kunert dan Eric Manes: Voices of Iraq, dimana 150 buah kamera DV dikirim ke Iraq sepanjang perang dan dibagikan kepada warga Irak untuk merekam diri mereka sendiri.


Film kompilasi dicetuskan pada tahun 1927 oleh Esfir Shub dengan film berjudul The Fall of the Romanov Dynasty. Contoh-contoh berikutnya termasuk Point of Order (1964) yang disutradarai oleh Emile de Antonio mengenai pesan-pesan McCarthy dan The Atomic Cafe yang disusun dari footage-footage yang dibuat oleh pemerintah AS mengenai keamanan radiasi nuklir (misalnya, memberitahukan pada pasukan di suatu lokasi bahwa mereka tetap aman dari radiasi selama mereka menutup mata dan mulut mereka). Hampir mirip dengannya adalah dokumenter The Last Cigarette yang memadukan testimoni dari para eksekutif perusahaan-perusahaan tembakau di depan sidang parlemen AS yang mengkampanyekan keuntungan-keuntungan merokok.


Referensi

1. Wood, Daniel B., "In 'docu-ganda' films, balance is not the objective", Christian Science Monitor, 2 June 2006. Diakses pada 6 Juni 2006.

2. Indiewire, "FESTIVALS: Post-Sundance 2001; Docs Still Face Financing and Distribution Challenges". February 8, 2001.


Sumber: Wikipedia.