October 28, 2009

Sisa Pikiran dan Imajinasi Mantan Lelaki Sempurna

Seorang penderita locked-in syndrome hidup seperti dalam kepompong mahaberat, membungkus tubuhnya begitu ketat, sampai ia merasa dirinya disemen pada tembok. Dia hanya bisa diam di tempat, seluruh tubuhnya mengalami stroke, lumpuh total, tapi pikiran dan perasaannya normal. Dia gagal memerintahkan saraf dalam tubuhnya agar bergerak. Dengan pikiran dan imajinasi itu dia masih bisa mengembara ke manapun mau. Dia mengomentari segala yang dia lihat dengan mata kirinya -- satu- satunya organ masih berfungsi, bersama kedipannya. Penyakit ini merupakan kondisi yang luar biasa jarang terjadi. Salah satu penderitanya ialah Jean-Dominique Bauby, orang Prancis.

Sutradara Julian Schnabel memfilmkan kehidupan dan pikiran Bauby berdasarkan skenario karya Ronald Harwood, dengan Mathieu Amalric berperan sebagai Bauby. Film itu sepenuhnya berbahasa Prancis, dengan subtitle Inggris. Film itu langsung mengingatkan aku pada film My Left Foot (Str. Jim Sheridan, 1989), ketika Daniel Day-Lewis berperan sebagai Christy Brown, seorang penyair-pelukis- penulis penderita cerebral palsy, yang hanya bisa menggerakkan kaki kirinya. Upaya keras Bauby sebagai penderita stroke parah yang menuliskan pikiran dan perasaan dalam sisa hidupnya menjadikan kisah itu luar biasa. Schnabel cukup mengeksploitasi sisi itu.

Bagaimana Bauby menulis buku, padahal dia hanya bisa mengedip? Dia cuma bisa memberi dua kode kepada orang lain: satu kedip untuk "ya", dua kedip untuk "tidak." Lelaki kelahiran 1952 ini menggunakan cara berkomunikasi yang diajarkan pihak rumah sakit, terutama oleh Henriette Durand. Durand mula-mula melatih Bauby untuk terbiasa dengan huruf yang paling sering digunakan dalam percakapan Prancis, lantas satu demi satu huruf diucapkan sambil bertatapan, untuk memastikan bahwa huruf itu yang ingin didiktekan Bauby. Segera setelah Bauby terbiasa dengan cara itu, orang-orang di dekatnya, terutama dokter, perawat, pembaca buku untuknya, juga ibu dari anak-anaknya menggunakan cara berkomunikasi tersebut.

Secara harfiah Bauby mengetik dengan mengedip, sehuruf demi sehuruf. Dalam proses penulisannya, dia berutang besar kepada Claude Mendibil, seorang pegawai penerbit Robert Laffont yang dipekerjakan untuk menuliskan imajinasi dan pikiran Bauby. Sebelum sakit, Bauby memang punya kontrak dengan penerbit tersebut. Awalnya pihak penerbit juga ragu, "Bukankah dia tidak bisa bicara?" "Tapi bukan berarti dia tidak bisa berkomunikasi, " yakin Durand. Dulu dia ingin menulis kisah tentang balas dendam berdasarkan novel The Count of Monte Cristo (Alexandre Dumas, père) dengan tokoh utama seorang wanita.

Penulisan dalam kasus Bauby merupakan proses yang betul-betul menguras energi, kesabaran, dan waktu. Mereka harus mengulang setiap awal huruf, seperti kita harus mengucapkan ABCD sampai Z sebelum memastikan memilih awalan huruf dan memulai kata. Mereka sering bekerja lima jam per hari. Selama masa perawatan itu mereka mengerjakan buku itu, mengedit, dan merevisi, dua tahun lebih lamanya. Akhirnya buku tersebut terbit berjudul Le scaphandre et le papillon, setebal kira-kira 130-an halaman.

Bauby seorang pembaca sastra yang kuat. Dia membaca karya Honore Balzac, dan terutama The Count of Monte Cristo. Dia hedonis, suka keindahan dan kenikmatan, suka berimajinasi tentang segala hal, kecuali yang berbau agama. Dalam kehidupan mudanya yang cemerlang, dia jurnalis di majalah fashion perempuan Elle, sampai menjadi editor-in-chief. Elle bukan saja populer, ia merupakan majalah terkemuka, franchisenya ada di mana-mana, termasuk Indonesia. Alih-alih menulis tentang balas dendam, Le scaphandre et le papillon lebih merupakan memoar, berisi tentang pengalamannya sebagai penderita locked-in syndrome yang dirawat di rumah sakit di pinggir pantai, hubungan dengan ibu dari ketiga anaknya, anak-anaknya, kawan-kawan baiknya, sekelumit kerjanya di Elle, makanan favoritnya, dan upaya memahami wanita. Meski sukses, dia tampak kurang terkesan dengan karirnya selama di Elle atau bagaimana dia dahulu menulis secara normal. Tapi minimal, di sana dia memperoleh kemewahan dan sosialita kelas satu. Dia lebih suka bercerita tentang orang-orang yang dia sayangi.

"Buku itu tiada kecuali ia dibaca," demikian kata Bauby. Maka Bauby memilih mengutarakan pikirannya, perasaannya, alih-alih membicarakan atau mengeluh soal sakitnya. Untuk ukuran orang sakit mengerikan, dia cukup humoris. Bagaimanapun, yang tersisa dari dirinya hanyalah pikiran dan kenang-kenangan. Itulah yang dia ceritakan. Menjadi penderita stroke yang sia-sia mau melakukan apa-apa, bergantung sepenuhnya pada pertolongan orang lain, dia merasa dirinya sebagai bayi berumur 42 tahun.

Film The Diving Bell and the Butterfly mula-mula bercerita dan bersudut pandang kamera dari Bauby. Jadi penonton melihat dari matanya, mendengar suara dan pikirannya, merasakan penderitaannya. Tapi lama-lama sudut pandang film meluas, dan akhirnya penonton menyaksikan kisah tentang kehidupan dan keluarganya. Dia punya ayah yang sama-sama merasa sakit locked-in syndrome, hanya saja dia terkurung di apartemen. Bauby punya tiga anak dari seorang perempuan yang tidak dia cintai, karena itu tidak dia nikahi. ("Dia bukan istriku, dia ibu dari anak-anakku, " tegasnya.) Memang agak aneh seseorang sampai bisa punya tiga anak dari seorang wanita yang tidak dicintai, meskipun perempuan itu tampak perhatian, tetap tampak intim merayakan Hari Ayah, dan bila bertemu dengan anak-anaknya, dia jadi ayah yang ramah. Seorang perempuan lain juga mencintai Bauby, tapi dia tak tega melihat Bauby dalam keadaan sakit. Menurut Wikipedia, film ini menyisakan kontroversi soal akurasi tentang perempuan dalam hidup Bauby. Schnabel tampak sengaja mengubah untuk alur drama, atau mungkin dia ingin menunjukkan kasih sayang keluarga yang lebih utuh dan mengharukan.

Di ujung film Bauby ingat kembali bagaimana saat dirinya terkena stroke. Pada Jumat, 8 Januari 1995, ia berangkat ke bioskop dengan anak sulungnya, mengendarai mobil super mewahnya, sambil bicara sebagai sesama lelaki. Di tengah jalan, dia merasa ada yang salah dengan tubuhnya, membuatnya segera berhenti di pinggir jalan. Anaknya panik menyaksikan serangan mendadak itu, sebab Bauby bukan perokok dan peminum. Dia bukan lelaki dengan ciri-ciri kemungkinan terkena penyakit mengerikan seperti itu. Dia koma sekitar dua puluh hari, dan setelah bangun mendapati dirinya gagal mengucapkan sepatah kata pun. Pada dua puluh minggu pertamanya setelah stroke, dia kehilangan bobot 27 kg.

Kalau kita mengabaikan Bauby yang menderita, isi film ini mungkin biasa saja. Pada dasarnya cerita dia seperti mengawang-awang, dia banyak membicarakan mimpi, imajinasi, mengomentari ini-itu, meluapkan perasaan. Schnabel memvisualisasikan imajinasi Bauby dengan bagus sekali. Di Festival Film Cannes dan Golden Globe Award dia memenangi sutradara terbaik, sementara di Academy Award dia mendapat nominasi untuk kategori itu. Dua film terkemuka lain karya Schnabel ialah Basquiat dan Before Night Falls. Mathieu Amalric juga bermain bagus. Tapi karena perannya, gerak tubuhnya minim. Ini membuatnya jadi kurang eksploratif bila dibandingkan Daniel Day-Lewis yang tampak kepayahan berusaha menggerakkan kaki kiri atau badan lain dalam My Left Foot. Bedanya lagi, dulu Bauby sempurna, dia pencinta perempuan, kenyang dengan pengalaman itu; sementara Christy Brown cacat sejak awal, dia ditertawakan ketika akan mengucapkan perasaan pada perempuan.

Perjuangan seseorang mengatasi rintangan hidupnya bisa jadi merupakan hal klise. Budi Warsito, seorang script-writer, berkomentar, "Tapi seberat atau seringan apa pun perjuangan orang, membuat kita sering salut. Kita sulit menghakimi mereka. Karena kadang-kadang yang ringan menurut kita, mungkin berat buat orang lain. Begitu sebaliknya. Bisa jadi, semangatlah penyebabnya. " Jelas semangat Bauby bisa membuat orang lain malu, apalagi bagi penulis normal.

Bauby meninggal sepuluh hari setelah Le scaphandre et le papillon terbit pada 1997 dan mendapat pujian di mana-mana.[anwar holid]

The Diving Bell and the Butterfly
Sutradara: Julian Schnabel
Produksi: Kathleen Kennedy, Jon Kilik
Penulis: Jean-Dominique Bauby
Screenplay: Ronald Harwood
Pemain: Mathieu Amalric, Emmanuelle Seigner, Marie-Josée Croze, Max Von Sydow
Sinematografi: Janusz Kaminski
Editing: Juliette Welfling
Musik: Paul Cantelon
Distribusi: Pathé Renn Productions, Miramax Films
Rilis: 23 Mei 2007
Durasi: 112 minutes
Bahasa: Prancis; subtitle Inggris

October 11, 2009

Upaya Editor Mengatasi Kejenuhan

Hampir dua bulan ini aku menangani dua naskah yang mirip. Secara prinsip, terjemahan naskah itu sudah benar. Setidaknya itulah klaim penerbit. Penerjemah naskah itu orang terkemuka dan ahli di bidangnya. Jadi secara keilmuan dia bisa diandalkan dan wawasannya mumpuni. Untuk sementara, aku sulit membantah klaim itu dan percaya omongan penerbit.

Di ruang kerja sederhanaku, ketika siap-siap membedah naskah itu, barulah aku merasakan sulitnya menangani terjemahan itu. Memang tugas editor ialah meluweskan penuturan, memadukan inkoherensi paragraf, membuat keterbacaan naskah tinggi. Itu mirip tugas utama dokter ialah menyembuhkan pasien atau petugas kebersihan kota menyingkirkan sampah. Begitulah adanya. Tapi kalau kamu mendapati tugas kamu ternyata begitu bikin suntuk, terlalu sulit atau menggunung, wajar bila ia bikin stres atau frustrasi. Seorang striker bisa frustrasi dan kalap kalau terus-menerus gagal mencetak gol dan kesulitan mendobrak pertahanan lawan, atau kiper lawan terlalu tangguh. Kalau sifat ksatrianya cedera, dia bisa gelap mata dan akhirnya bertindak curang dengan melakukan diving. Tantangan setiap pekerjaan itu sama. Namun menyebalkan bila faktanya beban kamu terlalu berat. Ada yang salah, dan itu bukan salah kamu, melainkan proses sebelumnya atau kasusnya memang berat. Untuk itu
kamu hanya harus tabah dan bertahan. Lakukan inovasi dan istirahat secukupnya.

Begitu menghadapi baris kalimat sulit, aku yakin ada yang salah dari penanganannya. Aku kerap kesulitan menangkap maksud kalimat itu sebenarnya apa. Bahasanya ribet. Banyak banget kalimat panjang melelahkan, bahkan bisa terdiri dari satu paragraf! Yang terdiri dari tiga - empat baris juga banyak. Polanya pun masih dalam bahasa sumber, dan kerap berbentuk negatif. Dalam kalimat panjang itu selalu ada sisipan anak kalimat berisi tambahan informasi, termasuk hal-hal trivial yang bahkan sering berulang di bagian sebelumnya. Ini jelas gaya sang penulis, dan penerjemah membiarkannya. Bikin capek baca, dan energiku terkuras dengan cepat. Penerbit suka menggampangkan kondisi ini, bilang bahwa beban editor ringan. Padahal meluweskan bahasa, dengan penyampaian yang enak itu penting sekali dalam sebuah buku.

Kalimat pendeknya saja suka membingungkan. Contoh: "Pidatonya merupakan yang tidak lazim antara kepalsuan dan sifat agresif yang terang-terangan. " Maaf, ini apa maksudnya?

Kalimat panjangnya antara lain begini: "Al-Quran menjasadkan di depan mata kita suatu gambaran yang hidup, dan menggerakkannya pada lebih dari satu arah, untuk mengimbau orang-orang yang merasa tidak berdaya itu untuk membebaskan diri dari tekanan, sejak sekarang, agar kelak mereka tidak menghadapi konsekuensinya sesudah mereka mati, dengan sikap menyerah pada kelemahan diri, sebagai suatu unsur yang sangat diperingatkan untuk dijauhi."

"Kekuatan-kekuatan hegemonis itu, yang menganggap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa merdeka dan mandiri sebagai ancaman terhadap monopoli mereka dalam instrumen kekuasaan yang penting ini dan yang tidak ingin melihat keberhasilan yang sama di negara-negara lain, telah salah mengartikan teknologi nuklir Iran yang terjaga dan aman sebagai usaha untuk membuat senjata nuklir."

"Bagaimanapun, kalau ada kebebasan pribadi yang akan dipertahankan mati-matian oleh seseorang di dunia modern, itu adalah haknya yang tidak boleh diingkari untuk menyaksikan pertandingan sepakbola di televisi, dan kuatnya dorongan pandangan umum, bahkan di kalangan Islam fundamentalis dengan kepala yang penuh dengan dalih-dalih teologis untuk menentangnya, pemerintah terpaksa menayangkan pertandingan sepakbola di televisi."

Halo... rasanya aku menerima sandi dari alien.

Seberapa besar usaha seorang editor menyunting kalimat itu, berapa lama waktu yang dia butuhkan? Atau sebaliknya, seberapa toleran dia boleh bilang bahwa kalimat itu sudah jernih?

Kondisi itu membuat tugasku mengubah penyampaian agar luwes, lincah, mudah dicerna, dan lancar justru bakal paling besar menyita energi. Memoles dan melenturkan kalimat itu kerap butuh coba-coba dan mengutak-atik dulu sebelum akhirnya menemukan penyampaian yang paling pas. Butuh waktu dan energi besar. Bayangkanlah pekerja furnitur kayu jati yang mengamplas ukiran kasar menjadi halus. Dia melakukannya berhari-hari, terpaksa harus menghirup hamburan serbuknya, dengan tenaga yang hebat. Itulah kerja keras. Itulah yang juga harus dihadapi penyunting bila menemukan kalimat-kalimat kasar, penuh gerinjul, menyulitkan makna.

Saking sebal, aku berprasangka penerjemah ini mungkin awalnya berpikir bahwa pekerjaannya sudah keren, jadi dia serahkan ke penerbit. Coba kalimat-kalimat berlepotan dan penuh lumpur itu dibiarkan, lantas langsung dibungkus dan ditawarkan ke publik. Aku yakin seminggu kemudian pembacanya pada sakit kepala. Atau mereka langsung melemparkannya ke tong sampah. Aku jadi ingat pelajaran pertama seorang penyunting dari dosenku, ibu Sofia Mansoor, yang mengenalkan istilah "keterbacaan" ---yaitu tingkat suatu naskah mudah atau sulit dipahami.

Penulis, penerjemah, penyunting bahu-membahu untuk menghasilkan naskah dengan keterbacaan tinggi. Bila rendah, harus diubah, atau minimal membuatnya lebih mudah. Tapi itu pun bukan harga mati. Keterbacaan sebagian karya memang rendah. Misal Finnegan's Wake (James Joyce) atau puisi Afrizal Malna dan Nirwan Dewanto. Mau apa kita dengan naskah seperti itu? Mau berkompromi? Di ranah nonfiksi juga sama. Aku pernah berusaha baca The Uses of Literacy (Richard Hoggart) yang konon penting, tapi hanya sedikit sekali yang aku paham dari pemaparannya. Kemungkinannya ialah otakku terlalu tebal terhalang kabut. Susah memahami membuat orang jadi mudah frustrasi.

Seorang penyunting lain mendapat kasus serupa, mengeluhkan buruknya bahasa yang dia garap, sampai merasa bahwa tawaran honornya terlalu kecil untuk menangani naskah menyebalkan seperti itu. Aku setuju. Karena menyita energi, emosi, bikin frustrasi, kompensasi menggarapnya harus sepadan. Penerbit bagus biasanya bisa diajak bicara tentang seberapa jauh tingkat kesulitan editing yang dilakukan editornya, terutama editor outsource. Mereka biasanya minta bukti (sampel). Kalau sepakat bahwa naskah itu memang sulit, mereka setuju menaikkan honor---sesedikit apa pun itu.

Kalau setiap hari menemukan kalimat kacau, manusia akan jadi cepat lapuk. Ada yang salah bila kita gagal menangani kesulitan berbahasa, menangkap pesan dengan jernih, atau mengungkapkan dengan baik. Di dalam Writing Tools (2006), Roy Peter Clark mensinyalir malapetaka dari konsekuensi tulisan buruk, baik untuk bisnis, profesi, pendidik, konsumen, dan warga negara. Buruknya tulisan dalam laporan, memo, pengumunan, dan pesan menguras biaya dan waktu. Itu merupakan gumpalan darah di lembaga politik dan pemerintahan. Membuat arus informasi mampat. Masalah penting terus mengendap dan tertutup. Kesempatan untuk perbaikan dan efisiensi tetap terkubur (hal. 7-8).

Tulisan sulit membuat pembaca kepayahan. Padahal tujuan membaca dan menulis ialah kefasihan, mengungkapkan maksud secara jernih dan lancar. "Tulisan juga harus mengalir dengan lancar dari penulis. Idealnya memang seperti itu," tegas Clark.

Aku bukan hendak memuliakan editor atau memberat-beratkan tugasnya. Seperti aku bilang, profesi ini sama dengan profesi lain. Ia memiliki tantangan dan kesulitan sendiri. Jadi editor mungkin mustahil membuat kamu mati luka-luka seperti tentara tertembak di medan perang. Tapi kamu bisa gila kalau gagal menangani kalimat kacrut yang bikin akal dan logika jadi putus asa.[Anwar Holid]