May 25, 2008

Membuat Film Dokumenter (2)

Ketika saya mendapat kesempatan, untuk terlibat dalam tim pembuat film dokumenter di stasiun televisi tempat saya bekerja, sejujurnya, saya tidak memiliki gambaran sedikit pun tentang teknis produksi. Bahkan, definisi tentang programnya sendiri tidak tahu. Gambaran kasarnya, saya seakan berada dalam kawasan peta buta. Sehingga, saya harus berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan.

Harap maklum, sebenarnya saya dan juga teman-teman lainnya adalah wartawan. Katakanlah, wartawan televisi, yang tidak memahami teori pembuatan program dokumenter yang sebenarnya. Kami memang tidak pernah mendapat pembekalan atau pendidikan tentang produksi film dokumenter. Dan, tentu saja, tidak memiliki pengalaman yang memadai tentang produksi film dokumenter. Yang kami tahu, ya sekedar membuat berita atau feature televisi. Hanya itu. Tidak lebih. Film dokumenter? Wow, benar-benar sesuatu yang berat dan mewah!

Namun, karena saya sudah berada di dalam sebuah lembaga kreatif, maka tidak ada alasan untuk bingung atau memperluas alasan untuk tidak mengerti. Saya harus segera berpikir dan bekerja. Saya harus segera menyusun ide-ide segar, untuk diajukan dalam rapat praproduksi. Dan, bisa dijadikan sebuah film dokumenter televisi.

Saya tidak perlu berpikir tentang kru produksi, perlengkapan produksi, atau biaya produksi. Karena, perusahaan memang sudah menyediakannya. Meskipun demikian, tiba-tiba saya pun dihadapkan pada persoalan susulan; jangan-jangan kru produksi yang lain pun memiliki persoalan yang sama dengan saya? Minim pengetahuan dan pengalaman tentang film dokumenter(?) Lagi-lagi saya harus berpikir, biarlah. Yang penting, kami harus bergegas memikirkan rencana produksi. Itu saja yang harus ada di pikiran. Jangan dihantui kekhawatiran atau kegagalan.

Persoalan pelik lain bahwa yang disebut kru produksi di setiap Divisi Pemberitaan sebuah stasiun televisi, hanyalah produser eksekutif, produser, asisten produser, reporter, kamerawan, dan editor. Memang masih ada kru lain, seperti penata suara, penata grafis, penata musik, penyulih suara, atau periset. Namun, mereka sifatnya sekedar pendukung dan tidak selalu terlibat di setiap topik.

Produser eksekutif dan produser cenderung berperan sebagai konseptor. Mereka umumnya hanya berada di belakang meja. Kerap asisten produser atau reporter ikut juga memberikan sumbangan saran. Ya, sekedar saran. Karena, porsi konseptor memang berada di tangan produser eksekutif dan produser. Dengan demikian, kedua tokoh penting di balik produksi itulah yang sesungguhnya berperan penuh dalam pemilihan dan penentuan topik, perancangan premis atau film statement, hingga breakdown produksinya.

Sebaliknya dengan asisten produser atau reporter. Mereka adalah pelaksana di lapangan, yang berperan untuk menerjemahkan keinginan para konseptor. Mereka harus menafsirkan premis atau film statement yang diminta, serta menerjemahkan rancangan produski sesuai hasil breakdown. Sulit, memang. Karena, mereka harus kembali “meraba-raba” keinginan itu di tengah lapangan yang masih gulita. Rumitnya lagi, sang asisten produser atau reporter hanya didampingi seorang kamerawan, ketika ia berada di lapangan. Setiap kru produksi memang umumnya hanya dua orang personal. Sehingga, ia hanya memiliki seorang kawan diskusi.

Jangan berpikir tentang produser pelaksana, sutradara, atau kru pendukung lain semacam penata suara, atau penata cahaya. Karena, hal itu memang tidak disediakan. Sehingga, dua kru produksi di lapangan itulah yang harus bisa memainkan berbagai peran. Reporter harus bisa menjadi sutradara, penulis naskah, periset, bahkan unit. Dan, kamerawan harus bisa berfungsi sebagai pengarah fotografi dan asisten kamerawan, bahkan sutradara.

Lebih sulit lagi, bila kenyataan membenturkan para eksekutor itu dengan kondisi lapangan yang berbeda jauh dengan perkiraan. Dalam waktu yang singkat dan dihantui keterbatasan, mereka dipaksa untuk berpikir ulang tentang premis atau film statement dan penggarapannya. Bila dianalogikan dengan komputer, saat itu mereka keharusan untuk merestart. Lantaran, komputer terancam hang. Singkatnya, kali ini mereka harus bisa berperan seperti produser eksekutif atau produser.

Meskipun demikian, dengan segala keterbatasan itu, kami senantiasa dituntut untuk bisa menyelesaikan dengan hasil maksimal. Mampu tak mampu harus bisa. Mau tak mau harus bisa. Pokoknya, serba harus!

Rasa terkejut dan bingung pun segera saja menyatu dalam kepala, ketika pertama kali mendapatkan pengalaman itu. Namun lama-kelamaan, saya menyadarinya, itulah realita bekerja dalan lingkaran kreatif sebuah stasiun televisi.

Sebuah tips sakti dari para senior, “Jangan pernah larut dengan keterkejutan dan kebingungan. Karena, hal itu merupakan ancaman untuk masa depan setiap kreator di stasiun televisi. Dan, tenaga-tenaga muda yang memiliki keberanian dan kaya ide sudah mengantri di belakang. Jadi, segeralah lakukan sesuatu. Do something!”

Dan, pengalaman mengajarkan bahwa ketika saya ada di sebuah program, maka saya harus segera memburu sumber-sumber ide. Entah itu guntingan-guntingan suratkabar dan majalah, print-out hasil browsing di internet, makalah, hasil penelitian, atau buku-buku dan jurnal ilmiah.

Misalnya, ketika saya berada dalam sebuah program hukum dan kriminal, maka saya harus mengumpulkan berbagai data tentang masalah itu dari berbagai sumber. Membolak-balik suratkabar, majalah, membrowsing berbagai data dari internet, mengumpulkan kontak-kontak penting, hingga menelepon teman-teman yang dekat dengan masalah-masalah tersebut. Bahkan, saya pun harus masuk ke kantong-kantong preman!

Kali ini, langkah seperti itu juga harus saya lakukan. Bedanya hanya pada materi. Karena, kali ini saya berada di dalam sebuah program yang memfokuskan diri pada masalah-masalah budaya, maka saya pun harus memusatkan perhatian pada referensi tentang masalah budaya, sosial, atau kisah-kisah human interest lainnya. Maka, narasumber dari kalangan budayawan, akademisi, dan periset, harus segera saya dapatkan. Selain itu, buku-buku tentang antropologi pun langsung saya kumpulkan. Sebagai bekal untuk mempertajam visi bidaya.

Pembekalan seperti itu, sebenarnya standar di bagian mana pun.

Namun, pengalaman ketika menggarap film dokumenter pemilu pada akhir 2003 hingga pertengahan 2004, dan mengikuti Long Documentary Scriptwritting Workshop pada Jiffest 2005 lalu, membuat saya harus berpikir tentang referensi lain. Film-film referensi, jawabnya.

Karena, setiap topik memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Sehingga, saya pun harus siap dengan ide-ide pengemasannnya. Untuk menyiasati persoalan ini, jawabannya ada di kawasan Glodok – pasar terbuka berbagai DVD film bajakan di wilayah Jakarta Barat. Saya harus memburu berbagai film dokumenter. Saya harus menontonnya dan mengingat scene by scenenya. Karena, para filmmaker kawakan pun sangat bergantung pada film referensi.[]

Membuat Film Dokumenter (1)

Kita masih sering mendengar asumsi miring dari sejumlah kalangan bahwa film-film dokumenter yang dibuat di sejumlah stasiun televisi hanyalah feature TV. Atau, paling jauh semi-dokumenter. Kenapa?

Alasannya, menyangkut proses riset yang dianggap terlalu sederhana, waktu penggarapan yang tergopoh-gopoh, atau pendekatan produksi yang masih dalam suasana media cetak. Ketiga alasan itu, tentu saja, dihubungkan dengan situasi penggarapan film dokumenter independen, yang biasanya menelan waktu yang panjang untuk riset dan penggarapan.

Ada banyak buku yang membahas soal definisi film dokumenter. Ada banyak pakar film dokumenter yang rajin mendiskusikan dan menyosialisasikannya ke masyarakat luas. Ada banyak bertumbuhan komunitas-komunitas pembuat film dokumenter, sambil berkarya, berfestival, dan mengapresiasinya dalam suasana kesenian. Namun, kesemuanya lebih mengarah pada film dokumenter independen. Belum menyinggung pada program dokumenter televisi.

Kalaupun seseorang bicara tentang program dokumenter di sebuah stasiun televisi, maka arah pembicaraan langsung mengarah ke kanal televisi berlangganan Discovery Channel atau National Geographic Channel. Karena, kedua kanal itulah yang menjadi barometer program dokumenter televisi.


Ketika pembicaraan menajam ke soal perbedaan film dokumenter independen dan program dokumenter televisi (versi Discovery Channel atau National Geographic Channel), biasanya hanya memunculkan asumsi-asumsi. Salah satunya adalah persoalan menggunakan narasi dan memaksimalkan video effect atau sound effect. Karena, pada film dokumenter independen cenderung meminimalisir penggunaan narasi atau video effect, dan berusaha menampilkan cerita sealami mungkin.[]