October 28, 2008

CINTA OSAMA

Espendi memainkan kaleng berisi bara sambil berlaga seperti guide. Di belakangan, kamera subyektif terus membuntuti. Lelaki kecil itu memang tengah menjadi “kendaraan” untuk bertutur tentang kekumuhan dan kesemrawutan sudut kota Kabul yang di kuasai Taliban.

Espendi makin bergaya, ketika menjumpai dua wanita yang berjalan tergesa-gesa. Salah satu di antaranya adalah bocah perempuan seusia Espendi. Kamera makin “nakal” mempermainkan kedua wanita itu. Untung saja, tiba-tiba muncul ratusan perempuan yang berunjuk rasa menuntut kesamaan hak; kaum muslimah pun berhak bekerja!

Teknik pengambilan gambar yang “cinema veritee” makin liar, tatkala pasukan Taliban datang dan membubarkan massa. Dua wanita kecil yang tadi dipermainkan Espendi mencoba bersembunyi. Mereka ketakutan. Kekacauan kian tak terkendali. Semburan water canon membubarkan massa dan menempatkan dua wanita dan Espendi ke sebuah rumah. Mereka bersembunyi. Saat itulah, Espendi berkenalan si bocah perempuan kecil.

Scene berikutnya, kamera lebih memfokus pada keluarga si bocah perempuan kecil. Ia tinggal bersama ibunya yang dokter dan neneknya. Petaka terjadi, ketika rumah sakit tempat sang ibu bekerja ditutup. Keluarga itu kehilangan nafkah. Parahnya lagi, Taliban begitu perkasa membelakukan syariat Islam, yang melarang perempuan bekerja.

“Dahulu kala ada cerita, ketika lelaki melawati pelangi, ia menjadi perempuan. Dan, ketika perempuan berjalan di bawah pelangi, ia menjadi lelaki,” dongeng nenek si bocah perempuan di setiap malam. Bocah perempuan itu tertidur. Dan, dongeng itulah yang membimbing tangan ibu dan neneknya untuk memangkas rambutnya. Ia memang “dipaksa” menjadi lelaki demi mendapatkan nafkah.

Namun, persoalan tidak selesai begitu saja. Baru saja berpetualang sebagai lelaki, Espendi mengenalinya. Bahkan, ia diperas Espendi untuk memberikan uang karena tahu rahasia keperempuanannya. Klimaksnya, si bocah perempuan harus bergabung dengan “sekolah” khusus Taliban. Artinya, ia benar-benar memasuki dunia lelaki yang sebenarnya. Bahkan, ia pun harus praktik mandi junub bersama bocah-bocah lain di hadapan Mullah Shahib, pimpinan dan guru di tempat itu.

“Basuh dulu yang tengah, gosokkan sebelah kiri tiga kali dan sebelah kanan tiga kali,” kata Mullah Shahib. Janggut putihnya panjang. Umurnya sekitar 70. Tapi, perawakannya masih terlihat gagah.

Si bocah perempuan kecil hanya menurut dan menurut, sambil terus berpura-pura sebagai lelaki. Ia memang harus berjuang menjaga “kelelakiannya” agar selamat di tempat itu. Hingga, ia pun ikhlas membuka baju demi rahasia besarnya itu.

Ketika identitas keperempuannya tercium teman-temannya, Espendi jadi pahlawan. Bahkan, ia memberikan nama baru untuk si bocah perempuan, Osama. Sejak itu, ia dipanggil Osama.

Kepalang hancur, ya hancur juga jadinya. Akhirnya, semua yakin bahwa Osama adalah perempuan. Bahkan, sang Mullah “mengujinya” dengan menggantung Osama di atas sumur. Osama menangis memanggil nama ibunya. Darah pun mengucur dari organ perempuannya. Sang Mullah pun yakin, Osama adalah perempuan!

Perempuan yang bekerja adalah larangan. Perempuan yang berjalan tanpa didampingi muhrimnya larangan. Perempuan menyamar sebagai lelaki juga larangan. Ah, syariat begitu banyak memberangus kemerdekaan perempuan di negeri itu. Resiko atas setiap pelanggaran adalah dikubur hidup-hidup. Dan, hakim memutuskan Osama bersalah dan harus dihukum hidup-hidup.

Entah keberuntungan atau tragedi yang terus memanjang, Mullah Shahib justru melobbi hakim untuk membebaskan Osama. Imbalannya, Osama yang baru berusia 12 dan belum memasuki masa puber harus ikhlas menjadi istri sang kakek. Osama menangis. Tapi, hakim dan Mullah sepakat. Maka, Osama pun bebas dari hukuman kubur hidup-hidup dan menjemput “hukuman” baru di tangan Mullah.

Drama Osama berakhir, ketika para istri Mullah mengintipi malam pertamanya bersama Mullah Shahib. Dari kejauhan, tanpa ada suara tangis Osama, Mullah dengan kain menutupi organ terlarangnya berendam di bak untuk mandi junub. Sayup-sayup terdengar kembali pelajaran tentang mandi jubub yang pernah diberikan Mullah kepada murid-murid lelakinya.

“Basuh dulu yang tengah, gosokkan sebelah kiri tiga kali dan sebelah kanan tiga kali…”

Film “Osama” besutan sutradara asal Afghanistan, Siddiq Barmak, begitu sempurna di mata saya. Tanpa banyak mengumbar keindahan gambar dan “wira-wiri” lagu-lagu pop, ia menjual drama dan kejujuran sebuah tema. Dua modal itu membuat saja pengecut untuk menuliskan referensi atau kritik-kritik pedas terhadapnya. Apalagi, merinci kekurangannya sequence by sequence.

Sebaliknya, saya justru berharap banyak mendapat kesempatan menggarap sekuelnya (bila ada founder). Tiba-tiba saya jadi berpikir keras, seandainya mendapat kesempatan menggarap “Osama 2”(?)

Yang pasti, saya tidak akan menjadi produser atau sutradara dalam film itu. Karena saya merasa miskin pengetahuan dan pengalaman, untuk menggarapkan film dengan tema luar biasa seperti itu. Bahkan, untuk menjadi penulis skenarionya pun, saya angkat tangan. Kelas saya hanyalah menulis skenario sinetron. Bahkan, ketika dulu diminta menulis skenario sebuah sinetron laga, posisi saya cuma ghost writer!

Biar aman, pastinya saya akan lebih memilih posisi produser eksekutif yang lebih memfokuskan pada “pemaksaan” ide besar. Sedangkan, kelelahan di hari-hari syuting biarlah diserahkan kepada produser, sutradara, penulis skenario, dan kru lain. Yang penting, mereka merupakan orang-orang pilihan yang memang mampu menafsirkan ide besar itu.

Dengan kapasitas yang besar itulah, saya akan bermain dengan gagasan nasib Osama selanjutnya. Di benak saya, dalam “Osama 2”, tidak akan mengubar drama kesedihan dan duka lara Osama. Biarlah resep seperti itu menjadi milik sinetron-sinetron kita. Sebaliknya, sosok Osama saya buat lebih tegar dan berkarakter.

Osama yang telah melewati malam pertamanya bersama Mullah Shahib tidak dibiarkan larut dengan tragedi cintanya. Ia tidak perlu marah kepada Tuhan lantaran mendapatkan ketidakadilan. Ia tidak perlu gusar lantaran mendapatkan pelajaran cinta yang sempurna dari lingkungannya. Jauh di benaknya, Osama membangun pemahaman yang dasyat soal cinta.

Menurutnya, pelajaran cinta pertama didapat dari belaian kasih orangtua. Lalu, setiap dari kita belajar mencintai lawan jenis, menikah, dan memiliki anak. Di saat bersamaan, pelajaran cinta pun harus ditebarkan kepada sesama. Puncak pelajaran itu adalah mencintai Yang Mahapencipta dengan penuh keikhlasan dan keridhoan. Itulah klimaks proses pembelajaran itu.

Namun, Osama tidak beruntung. Belum lagi khatam belajar mencintai orangtua, ia “lompat” kelas da harus belajar mencintai sang Mullah yang uzur. Bahkan, ia dipaksa untuk menelan pelajaran itu. Buat kita, pastinya itu merupakan tragedi cinta! Namun, karena saya berniat membuat film dengan tema yang berbeda, maka Osama harus memainkan perannya sebagai perempuan yang “lompat” kelas untuk belajar mencintai Dzat Yang Mahasempurna.

Gambarannya, mungkin tidak seekstrim Ibu Rabbi’ah Addawiyah yang menyerahkan jiwa-raganya hanya untuk Tuhan. Tapi, ia harus memperlihatkan kecintaannya yang luar biasa kepada Ilahi Robbi sambil menemani sang Mullah. Biar ia menjadi pelajaran penting buat penonton, maka saya tidak akan membiarkannya sedetik pun berdekatan dengan sang suami. Untuk tugasnya, karena Allah SWT akan melindungi hambaNya yang sangat mencintaiNya, maka biar saja mata Mullah menjadi “buta” hingga ia tidak sadar dilayani oleh perempuan lain (diinspirasi kisah Asiah yang tidak terjamah Fir’aun).

Dengan tema besar itu, saya hanya ingin bertutur (melalui tangan-tangan kreatif orang lain) bahwa Osama tidak layak mendapat hidayah tragedi cinta. Terlebih lagi, ia masih bocah. Saya sangat tidak ikhlas, syariat justru melegalkan perkawinan yang sesungguhnya haram. Karena, saya termasuk meyakini, perkawinan adalah lembaga untuk mensyahkan upaya pelajaran mencintai lawan jenis, untuk menjemput pelajaran-pelajaran cinta lain. Tanpa ada landasan cinta, bukankah perkawinan itu bukan hanya bersifat haram tapi juga tidak membuahkan pelajaran untuk mencintaiNya?

Kalau kegiatan yang didasarkan syariat atau hukum-hukum yang diakui kebenarannya tidak membuat manusia dekat dan mencintaiNya, lalu buat apa? Masalahnya, mungkinkah ada yang berminat untuk memfilmkan “Osama 2” dengan teman seperti itu?[]

July 4, 2008

Membuat Film Dokumenter (6)

Setelah karakter ditentukan, maka cukup beralasan bila kita segera menyusun treatment script. Sangat jarang para pekerja televisi membuat treatment script. Karena, hal itu dianggap tidak efisien dan membuang banyak waktu. Tapi, buat saya, hal itu merupakan keharusan! Karena, dengan cara itulah, kita bisa menjelaskan ide dan keinginan kita pada rekan kerja yang lainnya. Khususnya, kamerawan.

Kamerawan bisa saja mengetahui premis yang telah saya uraikan. Namun, apakah ia memahami premis yang saya maksud? Apakah ia juga bisa menginterpretasikannya dalam bentuk gambar? Pengalaman membuktikan, premis adalah bagian yang selalu terlewati. Karena, rancangan produksi kerap lebih mempertimbangkan pengolahan data menjadi sebuah berita panjang, ketimbang membuat cerita yang berisi pesan tertentu. Bahkan, pertimbangan gambar pun jadi nomor dua. Sehingga, kesannya adalah seperti membuat sebuah berita yang ditutupi oleh gambar!

Konsep adanya treatment script biasanya milik penulis skenario sebelum ia membuat skenario. Biasanya, treatment script tersebut berisi pesan; LOKASI SYUTING dan WAKTU, serta uraian rinci adegan yang akan dibuat di lokasi dan waktu tersebut. Gunanya treatment script tersebut merupakan coret-coretan kecil sang penulis, sebelum ia menyusun naskah yang lebih lengkap dengan dialog dan adegan-adegan lainnya.

Sedangkan untuk film dokumenter, treatment script berguna untuk menjadi panduan untuk syuting. Khususnya, menyangkut waktu syuting, lokasi syuting, dan rencana adegan atau stok gambar yang diinginkan. Biasanya saya membuatnya dalam bentuk dua kolom; satu kolom berisi scene by scene visual dan sequence-sequence yang saya butuhkan, dan kolom kedua berisi rancangan narasi atau kutipan-kutipan yang saya butuhkan. Misal, isi wawancara terfokus pada masalah A, dialog yang ingin dicari juga tentang masalah A, lalu suara natural yang saya inginkan juga harus berkaitan dengan masalah A.

Namun dalam keadaan darurat dan tergesa-gesa, saya membuatnya dalam bentuk yang lebih sederhana. Sekedar coretan-coretan kecil, berisi urut-urutan ide kecil yang bakal digarap. Kerap ditambah dengan materi wawancara atau dialog yang akan menjadi bagian cerita. Sangat sederhana. Meskipun demikian, coretan-coretan itu sudah membentuk sebuah cerita dan bisa memberi gambaran, sejauhmana pesan bisa sampai ke penonton.

Pengalaman membuktikan, treatment script membuat saya bekerja lebih sistematis, dan saya bisa berharap banyak kepada kamerawan. Ia memiliki kesempatan memahami premis kita, sekaligus mendiskusikannya. Bahkan, kami berdua bisa memiliki satu pikiran.

Dengan treatmen script di tangan, sebenarnya kita telah bekerja sebanyak 40 persen. Sedangkan sisanya adalah proses perekaman atau syuting dan penyuntingan gambar. Karena itu, saya bisa menyerahkan naskah itu kepada kamerawan, mendiskusikannya lebih intens, dan berpikir tentang kendala dan keberhasilannya.

Selain itu, saya dan kamerawan pun bisa menimbang perlengkapan kerja yang harus dibawa ke lokasi; jenis kamera, lensa tambahan, lampu-lampu, mikrofon, jumlah kaset, biaya produksi, hingga kru tambahan. Perhitungan-perhitungan seperti ini perlu dilakukan. Karena, kita bakal mencapai lokasi yang tidak dekat. Dan, dengan sejumlah keadaan, yang bisa jadi, tidak seperti yang diharapkan. Maka, pastikan semua kebutuhan untuk syuting bisa terbawa dan bakal tidak merepotkan.

Ingat, berhasil-tidaknya ide atau gagasan kita terwujud, bergatung pada hasil eksekusi di lapangan. Pertimbangkan juga soal lokasi, situasi cuaca, kendaraan, karakter atau talent, periset tambahan, bahkan porter! Kendaraan pun sering menjadi dewa, yang bisa membuat berhasil atau tidaknya sebuah pekerjaan. Karena, adanya kendaraan itulah yang bisa mengantarkan kami ke lokasi dengan kondisi fresh. Karena jauh-jauh datang, tapi ketika di lokasi loyo, ya percuma jadinya.

Saya juga harus berpikir kembali soal karakter atau pemeran utama dalam cerita. Treatment script telah menentukan adanya karakter, karakter tambahan, dan narasumber. Kadang orang yang dimaksud sebenarnya belum ada. Sehingga, saya pun harus memastikan adanya karakter yang sesuai dengan naskah treatment. Dalam situasi seperti ini, peran periset tambahan atau local guide memang dominan. Merekalah “mata” kami di lapangan. Pengalaman dan pengetahuannya tentang kondisi lapangan akan memudahkan proses produksi.

Masalah kebiasaan cuaca di lokasi yang bakal dituju juga perlu diketahui. Sehingga, jadual kerja dan keamanan perlengkapan kerja bisa diduga. Karena, masalah tersebut bisa bersdampak pada biaya produksi. Belum lagi, bila syuting harus dilakukan di tengah laut? Ancaman ombak dan badai juga harus dipertimbangkan. Pada bagian ini, saya harus berpikir soal keselamatan kru dan keselamatan alat-alat kerja.

Seperti pernah disinggung tentang kru produksi, saya juga harus membiasakan diri bekerja dalam tim kecil. Saya dan kamerawan. Hanya dua orang! Kalaupun ada tambahan, ya teman-teman di kota lokasi tujuan. Hanya membantu. Tidak lebih. Mereka bisa merupakan karakter, periset, local guide, pengemudi, bahkan porter. Meskipun demikian, saya tetap harus memaksimalkan tenaga dan pikiran mereka. Karena, mereka pun bagian dari tim dan pendukung produksi yang handal!

Karena dukungan kuat mereka, kami berhasil memenuhi target seperti yang diminta. Artinya, saya bisa pulang dengan paket seperti yang diharapkan. Kalaupun ada perubahan, hanyalah perubahan-perubahan kecil pada struktur cerita atau ornament-ornamen pelengkapnya. Pesan cerita atau premis, selama ini tidak pernah meleset. []

NOTE:

Artikel di atas merupakan petikan dari buku “Cerita tentang Negeri Dongeng”, sekaligus sebagai pengantar pada delapan contoh kasus yang disajikan dalam buku tersebut.

Membuat Film Dokumenter (5)

Sebelum menyusun treatment script, ingatan saya berbalik pada “wasiat” untuk selalu mencari film referensi. Saya langsung berpikir soal film referensi yang paling pas dengan premis dan perkiraan situasi di lapangan. Inilah bagian tersulit itu. Karena, sebenarnya saya belum melihat situasi di lapangan. Karena, saya kan tengah menggarap film dokumenter original yang belum pernah ditampilkan stasiun televisi lain. Juga, belum pernah digarap oleh filmmaker lain. Jadi, posisinya benar-benar blank!

Karena itu, mencari dan menonton film referensi yang mendekati tema film dokumenter yang bakal digarap, benar-benar sangat perlu. Bahkan, sedapat mungkin kamerawan yang bakal menemani kita pun ikut menontonnya. Untuk menyamakan persepsi dan sudut pandang. Sehingga, kita sama-sama memiliki bayangan, kira-kira seperti apa film dokumenter yang akan kita garap. Atau sedikitnya, ada bagian-bagian kecil dalam film referensi, yang bisa dijadikan inspirasi.

Untuk memperkaya wajah dan keunikan film dokumenter yang bakal digarap biasanya saya memburu banyak film referensi. Karena, biasanya selalu saja ada bagian menarik dari masing-masing film, untuk dijadikan ilham. Kerap dari satu film referensi kita mendapat pola menarik di bagian awal. Tapi, ada film lain, justru menarik dalam pembahasan. Atau, malah terlihat dasyat di bagian penutup atau klimaks. Maka, jangan pernah ragu-ragu untuk menonton banyak film referensi. Sehingga, kita benar-benar memiliki banyak solusi, ketika tiba-tiba di lapangan menghadapi situasi tidak seperti yang kita rencanakan.

Dan, buat saya, film referensi tidak mesti harus dari film dokumenter atau education video produksi Discovery Channel atau National Geographic Channel. Tapi, film-film cerita Hollywood atau negara-negara yang tidak terlalu menonjol produksinya, tetap perlu dilihat bila dirasa bakal ada kesesuaian. Jangan pernah alergi dengan jenis film atau asalnya. Cobalah bertukar informasi dengan sesama filmmaker, untuk mendapatkan judul-judul film yang dirasa sejalan dengan film dokumenter yang bakal digarap.

Dan dengan bekal data dan film referensi itulah, saya bisa segera berpikir tentang karakter, yakni seseorang yang bakal menjadi pemeran utama atau artis dalam film dokumenter ini. Tujuannya, agar ia bisa menjadi kendaraan yang bisa menghubungkan satu elemen ke elemen yang lain. Katakanlah, sebagai benang merah untuk keseluruhan cerita. Perlunya menentukan karakter yang tepat merupakan upaya untuk memuluskan alur cerita. Sehingga, penonton bisa menikmati jalannya cerita dengan mudah dan meraih pesan yang dimaksud.

Anehnya, pemilihan karakter di produksi film dokumenter kerap dianggap seperti hendak membuat film dokumenter tentang profil seseorang. Padahal, berbeda jauh sekali membuat film dokumenter profil dengan cerita yang menggunakan karakter sebagai kendaraan cerita. Benar-benar dua hal yang berbeda jauh.

Pada film dokumenter profil, hampir sebagaian cerita mengungkapkan data dan informasi sang karakter. Sedangkan pada cerita yang menggunakan karakter sebagai kendaraan cerita, porsi sang karakter sangat sedikit diceritakan. Sebaliknya, masalah dalam premis itulah yang sebagian besar diungkapkan. Dan agar karakter yang dipilih tepat dan memiliki kaitan erat dengan premis yang dimaksud dalam film, maka proses seleksi pun perlu dilakukan.

Namun, jangan membayangkan seperti tengah memproduksi film layar lebar yang menyediakan seorang talent director. Karena, dalam menggarap film dokumenter – terlebih lagi untuk televisi, sang filmmaker harus berinisiatif dan memiliki kecermatan laksana seorang talent director. Minimal, ia bisa mempertimbangkan hubungannya dengan cerita, serta kemampuannya berhubungan dengan kamera dan kru produksi. Pemilihan karakter yang tidak tepat akan mengganggu kredibilitas dan kualitas film dokumenter kita. Sehingga, meski tidak dilakukan audisi, kecermatan dan ketelitian pemilihan karakter perlu dilakukan oleh filmmaker.

Dan ingat pula satu kenyataan, kelak di lapangan, sag filmmaker harus bekerja sama dan mengarahkan langsung karakter pilihannya tersebut. Sehingga, kemampuan kita memilih seorang karakter akan berdampak besar pada kerja di lapangan nanti. Pada tahap tersebut, kita juga harus realitis untuk melihat perkiraan hasil. Bagaimanakah kira-kira film dokumenter yang kita garap dengan karakter pilihan kita? Bisa memuluskan alur cerita? Mampu menghantarkan premis seperti yang diingatkan? Atau, malah sebaliknya?

Membuat Film Dokumenter (4)

Bila pada bagian terdahulu, saya bercerita banyak tentang peraihan dan pengolahan ide, maka saya ingin melangkah jauh ke depan. Yakni, mulai bermain-main dengan data dan elemen cerita.

Buah dari premis yang benar-benar fokus adalah kemudahan kita, untuk memilah data atau fakta atau informasi yang ada di meja. Ada hasil riset para peneliti, ada print-out hasil browsing internet, ada buku-buku referensi, ada catatan hasil wawancara dengan pakar, ada juga laporan informasi dari informan. Semuanya menarik. Semuanya penting. Tapi, apakah semua data itu bisa menjadi bagian dari cerita film dokumenter kita?

Belum tentu.

Kembali fokus ke premis akhir yang telah disusun. Segeralah memusatkan perhatian pada pencapaian film dokumenter itu sendiri. Sehingga, kita akan “tega” membantai setiap data yang dirasa tidak berhubungan dengan premis. Cara termudah untuk memilah-milah data yang berserakan di atas meja adalah dengan memilah premis akhir menjadi elemen-elemen cerita. Perkirakan hal apa saja yang perlu ditonjolkan dan akan menjadi bagian dari sentral cerita. Dengan begitu, pemilahan data pun akan mengerucut pada pasokan elemen cerita.

Pada akhirnya, proses penyaringan terhadap tumpukan data pun akan terjadi gila-gilaan. Data yang dianggap tidak penting dan menarik, abaikan. Data yang dirasa tidak mendukung cerita, buang. Bahkan, buku tebal yang dijadikan referensi pun harus ditelaah lagi, bab mana atau pasal mana yang sesuai dengan kebutuhan. Lebih sempit lagi, kutipan referensinya pun paling beberapa kalimat saja. Yang penting, data di dalamnya sesuai dengan kebutuhan cerita.

Print-out hasil browsing dari internet merupakan rincian data yang biasanya sangat menunjang penyusunan treatment script. Karena, sesungguhnya pergeseran data di lapangan biasanya tidak terjadi secara ekstrim. Dan, cara ini dilakukan sebagai jalan pintas untuk menghindari wawancara di lapangan atau mengumpulkan data sebelum produksi. Efisiensi waktu, tepatnya. Sedangkan materi yang dibrowsing umumnya lebih kepada data dan informasi termutakhir dari berbagai media.

Data dari buku biasanya saya gunakan sebagai penunjang teori atau bahan membangun hipotesis tentang premis akhir. Sehingga, kita mencoba membuat bangunan logika yang tepat secara keilmuan, dan bukan asumsi-asumsi. Apalagi, imajinasi semata. Kerap dari buku, kita bisa mendapatkan data yang tidak digali dari media lain. Sehingga, hal itu akan menjadi “peluru” baru untuk mencari nilai lebih pada film dokumenter kita nanti.

Di luar data dari internet dan buku, dialog dan penggalian data kepada ahli atau orang-orang yang pernah berhubungan dengan tema film dokumenter kita, juga menjadi referensi penting untuk mendapat elemen cerita. Cara ini biasanya menjadi senjata paling hebat dalam menyiasati ketidaktahuan kita akan topik dan situasi di lapangan. Bila kita berhubungan dengan banyak orang, yang kerap masing-masing merasa paling tahu, membuat kita bingung. Siapa yang bisa dipercaya dan data mana yang bisa dipakai?

Kali ini, kembali ke data sebelumnya yang kita dapat. Cobalah telusuri secara hati-hati. Bagaimanakah hubungannya? Apa masuk di akal? Dan, tentu saja, apa memang data seperti itu yang dicari? Jadi, kembali fokus ke masalah. Bisa saja diskusi atau dialog menggumpalkan sebesar gunung. Tapi, perhatian harus terus fokus ke masalah.

Agar data yang sudah terkumpul tidak terlalu lama bermukim di meja dan kepala, maka saya pun segera memilah-milah seluruh data menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Lalu, menyusun data terpilih menjadi elemen-elemen cerita dan menempatkannya dalam sebuah kerangka cerita. Produksi tentang orangutan di Kalimantan Tengah (seperti pernah dibahas di baba pendahuluan buku terdahulu), kembali saya jadikan sebagai contoh kasus.

Premis Akhir:

Upaya penyelamatan orangutan dari kekejaman para pekerja kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah”

Elemen Cerita:

1. Upaya penyelamatan orangutan;

orangutan yang masih hidup, orangutan yang dianiaya, perawatan dan rehabilitasi orangutan, habitat orangutan yang sebenarnya, kebun kelapa sawit.

2. Kekejaman pekerja kebun kelapa sawit;

Footage aksi pengejaran orangutan, footage penyelamatan orangutan, wawancara tentang alasan perburuan dan pembunuhan terhadap orangutan.

3. Cerita pendukung;

Wawancara dengan LSM soal situasi yang sebenarnya, nasib orangutan, masa depan orangutan, masa depan Kalimantan akibat peristiwa itu.

Bila bagian ini telah terlewati, Kini, saatnya memikirkan tentang pengemasan cerita. Memperkirakan alur cerita scene by scene. Mirip membuat skenario film. Atau membuat treatment script – naskah kasar yang biasanya menjadi acuan para penulis skenario.[]

Membuat Film Dokumenter (3)

Seperti sudah kelaziman di setiap stasiun-stasiun televisi, dominasi produser eksekutif dan produser sangat besar dalam menawarkan topik cerita. Merekalah yang berperan mencari, mempertimbangkan, dan menawarkannya pada sebuah rapat praproduksi. Kru lain pun sebenarnya memiliki kesempatan untuk menawarkan idenya. Namun, menyangkut pengambilan keputusan, tetap mutlak berada di tangan produser eksekutif.

Situasi ini, tentu saja, jauh berbeda dengan penggarapan film dokumenter independen – yang diproduseri dan disutradarai sendiri. Karena, biasanya sang filmmakerlah yang mencari, mempertimbangkan, dan memutuskan topik terbaik untuk filmnya. Kadang, sang filmmaker mendapat dukungan ide atau saran dari kru lainnya. Namun, kebebasan berkehendak tetaplah menjadi harta sang filmmaker.

Keuntungan yang didapat dari banyaknya kreator yang berkumpul di satu meja, tentu saja, semakin banyaknya ide dan sudut pandang. Ada banyak pilihan yang disedikaan. Seiring dengan itu, semakin berkumpul pulalah sejumlah keinginan. Seakan seluruh penyumbang ide berkeinginan memaksakan idenya(?) Rumit juga, kan?

Agar tidak terjebak dalam pertarungan tentang ide atau data, maka biasa saya langsung menutuskan, untuk mengolah kumpulan ide dan data itu menjadi film statement atau premis atau ide cerita. Kalangan pembuat film layar lebar atau sinentron menyebutnya premis atau ide cerita. Namun, kalangan pembuat film dokumenter menyebutnya film statement. Padahal, makna ketiganya sama saja, yakni sebuah rencana untuk mengatakan sesuatu melalui film. Atau, sebuah kehendak untuk menyampaikan pesan melalui bahasa audio-visual. Atau, ide dasar dari rangkaian cerita.

Inilah persoalan terpenting dalam setiap produksi. Ibaratnya, ia merupakan roh bagi jasmani. Atau, pondasi bagi sebuah bangunan. Ia akan menjadi dasar pijakan untuk pekerjaan berikutnya. Karena itu, ketika ide sudah didapat dan ada keinginan untuk membuat film dokumenter, para filmmaker akan berjuang mati-matian untuk merumuskan film statement atau premis filmnya.

Karena itu, penguraian masalah premis itu akan mendapat porsi yang besar pada setiap bab di buku ini. Tanpa menceritakan proses perumusan premis, maka sama artinya dengan tidak membahas film dokumenter atau program dokumeter televisi. Pengalaman membuktikan, pelajaran utama memproduksi film dokumenter, justru pada bagian itu.

Dan untuk mempermudah penentuan fokus cerita, agar lebih spesifik dan mengerucut ke suatu masalah, biasanya saya langsung memikirkan premis awal. Disebut premis awal, karena saya selalu merasa bakal ada perubahan dan menjadikannya sebagai premis akhir. Penyebabnya, lagi-lagi, menyangkut riset yang lemah dan ketidakmengertian akan situasi di lokasi. Anehnya, kedua problem selalu terjadi di setiap produksi.

Meskipun demikian, diskusi untuk merumuskan premis awal tetaplah menarik. Dan, sangat memungkinkan untuk menjadikannya fokus ke masalah yang ingin kita tuju. Karena, waktu tidak bisa kompromi dan senantiasa menuntut untuk segera menentukan; masalah apa yang harus disampaikan pada film dokumenter kita?

Jurus pertama yang biasa saya lakukan adalah benar-benar memusatkan perhatian pada pesan yang ingin disampaikan. Buka mata dan telinga, untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin. Sehingga, kita bisa membuat premis yang benar-benar baru, lebih spesifik, lebih fokus, serta sedapat mungkin, sangat menarik dan tengah menjadi perhatian orang banyak.

Misalnya, ketika saya mendapat permintaan menggarap masalah orangutan di Kalimantan. Maka, saya pun langsung mencari masalah yang paling menarik dari ide cerita itu. Bicara tentang orangutan, segera saja ingatan saya tertuju pada nasib orangutan yang sering diperjualbelikan secara illegal, diburu dan dibantai, dan ada juga direhabilitasi.

Maka, premis saya pun mengarah pada “penyelamatan orangutan”. Arah pesannya sudah sangat jelas, yakni tentang bagaimana upaya menyelamatkan orangutan lantaran banyak pihak yang membantai hewan liar itu. Namun, apakah premis itu sudah spesifik? Dikatakan “penyelamatan”, pertimbangkan lagi, diselamatkan dari apa? Diselamatkan dari kejahatan atau masalah apa?

Obyeknya memang sudah jelas, yakni orangutan. Tapi, rumusan itu terasa masih menggantung dan belum mengarah ke suatu fokus. Kita pun masih akan diputar-putar oleh premis kita sendiri. Karena itu, saya harus membuat premis itu, katakanlah premis awal, menjadi lebih spesifik. Sehingga, kita bisa mendapat gambaran tentang fokus cerita. Premis yang bisa menuntun ke arah fokus cerita. Sebut saja, premis akhir.

Saya mencoba membalikkan pikiran menuju premis awal “penyelamatan orangutan”. Dengan bekal premis itu, saya pun segera memikirkan data dan fakta lain, yang saat itu tengah berhubungan erat dengan masalah penyelamatan orangutan. Sehingga, saya bisa mempertimbangkan fakta itu dan menjadikannya sebagai premis akhir.

Informasi dari teman LSM di Kalimantan Tengah menyebutkan, adanya pembantaian orangutan oleh para pekerja kebun kelapa sawit. Hal itu merupakan dampak dari pembukaan hutan menjadi kebun kelapa sawit. Orangutan kehilangan habitat, lalu mencari makan ke dalam kawasan kebun kelapa sawit. Banyak kelapa sawit yang rusak. Sehingga, pemilik kebun harus menanggung kerugian. Maka, ia pun memerintahkan para pekerjanya untuk memburu orangutan. Tujuan utamanya adalah menyelamatkan kebun kelapa sawitnya.

Saya tidak perlu berpikir lama. Karena, data mutakhir yang saya dapat makin memfokus pada satu masalah; pemburuan orangutan oleh para pekerja kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah. Lokasi penggarapannya pun sudah jelas, yakni Kalimantan Tengah. Maka, akhirnya merumuskan premis akhir, “penyelamatan orangutan dari kekejaman para pekerja kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah”. Sebuah film statement atau premis yang lebih panjang dari premis asal, namun makin fokus ke suatu obyek.


Topik:

Orangutan di Kalimantan

Tujuan:

Mengungkapkan berbagai permasalahn orangutan di Kalimantan

Premis Awal:

Penyelamatan orangutan”

Info aktual:

Pembukaan kebun kelapa sawit di sejumlah tempat di Kalimantan Tengah diikuti hilangnya habitat orangutan. Orangutan kehilangan habitat dan tempat mencari makan. Orangutan masuk ke kebun kelapa sawit dan merusak kelapa sawit. Para pemilik kebun kelapa sawit marah dan meminta para pekerjanya memburu orangutan. Perburuan berakibat kematian dan korban kekerasan lain pada orangutan.

Premis Akhir:

Upaya penyelamatkan orangutan dari kekejaman para pekerja kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah”


Seperti tadi diungkapkan di atas, premis ibarat pondasi dari sebuah bangunan. Ia bisa berbentuk apa saja dan ia bakal menjadi cikal-bakal bentuk bangunan di atasnya. Karena itu, kokoh dan tidaknya bangunan, indah atau tidak indahnya bangunan, tentu saja sangat bergantung pada pondasi bangunan.

Kesimpulannya, rapat praproduksi merupakan momen menarik bagi seluruh tim produksi, untuk sama-sama memfokuskan diri ke satu pandangan. Bukan sekedar mendiskusikan data dan hipotesis-hipotesis. Tapi, kinilah saatnya mempertimbangkan pesan pada film kita. Apa sih yang ingin dikatakan kepada penonton? Satu kalimat saja, jawabannya.[]

May 25, 2008

Membuat Film Dokumenter (2)

Ketika saya mendapat kesempatan, untuk terlibat dalam tim pembuat film dokumenter di stasiun televisi tempat saya bekerja, sejujurnya, saya tidak memiliki gambaran sedikit pun tentang teknis produksi. Bahkan, definisi tentang programnya sendiri tidak tahu. Gambaran kasarnya, saya seakan berada dalam kawasan peta buta. Sehingga, saya harus berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan.

Harap maklum, sebenarnya saya dan juga teman-teman lainnya adalah wartawan. Katakanlah, wartawan televisi, yang tidak memahami teori pembuatan program dokumenter yang sebenarnya. Kami memang tidak pernah mendapat pembekalan atau pendidikan tentang produksi film dokumenter. Dan, tentu saja, tidak memiliki pengalaman yang memadai tentang produksi film dokumenter. Yang kami tahu, ya sekedar membuat berita atau feature televisi. Hanya itu. Tidak lebih. Film dokumenter? Wow, benar-benar sesuatu yang berat dan mewah!

Namun, karena saya sudah berada di dalam sebuah lembaga kreatif, maka tidak ada alasan untuk bingung atau memperluas alasan untuk tidak mengerti. Saya harus segera berpikir dan bekerja. Saya harus segera menyusun ide-ide segar, untuk diajukan dalam rapat praproduksi. Dan, bisa dijadikan sebuah film dokumenter televisi.

Saya tidak perlu berpikir tentang kru produksi, perlengkapan produksi, atau biaya produksi. Karena, perusahaan memang sudah menyediakannya. Meskipun demikian, tiba-tiba saya pun dihadapkan pada persoalan susulan; jangan-jangan kru produksi yang lain pun memiliki persoalan yang sama dengan saya? Minim pengetahuan dan pengalaman tentang film dokumenter(?) Lagi-lagi saya harus berpikir, biarlah. Yang penting, kami harus bergegas memikirkan rencana produksi. Itu saja yang harus ada di pikiran. Jangan dihantui kekhawatiran atau kegagalan.

Persoalan pelik lain bahwa yang disebut kru produksi di setiap Divisi Pemberitaan sebuah stasiun televisi, hanyalah produser eksekutif, produser, asisten produser, reporter, kamerawan, dan editor. Memang masih ada kru lain, seperti penata suara, penata grafis, penata musik, penyulih suara, atau periset. Namun, mereka sifatnya sekedar pendukung dan tidak selalu terlibat di setiap topik.

Produser eksekutif dan produser cenderung berperan sebagai konseptor. Mereka umumnya hanya berada di belakang meja. Kerap asisten produser atau reporter ikut juga memberikan sumbangan saran. Ya, sekedar saran. Karena, porsi konseptor memang berada di tangan produser eksekutif dan produser. Dengan demikian, kedua tokoh penting di balik produksi itulah yang sesungguhnya berperan penuh dalam pemilihan dan penentuan topik, perancangan premis atau film statement, hingga breakdown produksinya.

Sebaliknya dengan asisten produser atau reporter. Mereka adalah pelaksana di lapangan, yang berperan untuk menerjemahkan keinginan para konseptor. Mereka harus menafsirkan premis atau film statement yang diminta, serta menerjemahkan rancangan produski sesuai hasil breakdown. Sulit, memang. Karena, mereka harus kembali “meraba-raba” keinginan itu di tengah lapangan yang masih gulita. Rumitnya lagi, sang asisten produser atau reporter hanya didampingi seorang kamerawan, ketika ia berada di lapangan. Setiap kru produksi memang umumnya hanya dua orang personal. Sehingga, ia hanya memiliki seorang kawan diskusi.

Jangan berpikir tentang produser pelaksana, sutradara, atau kru pendukung lain semacam penata suara, atau penata cahaya. Karena, hal itu memang tidak disediakan. Sehingga, dua kru produksi di lapangan itulah yang harus bisa memainkan berbagai peran. Reporter harus bisa menjadi sutradara, penulis naskah, periset, bahkan unit. Dan, kamerawan harus bisa berfungsi sebagai pengarah fotografi dan asisten kamerawan, bahkan sutradara.

Lebih sulit lagi, bila kenyataan membenturkan para eksekutor itu dengan kondisi lapangan yang berbeda jauh dengan perkiraan. Dalam waktu yang singkat dan dihantui keterbatasan, mereka dipaksa untuk berpikir ulang tentang premis atau film statement dan penggarapannya. Bila dianalogikan dengan komputer, saat itu mereka keharusan untuk merestart. Lantaran, komputer terancam hang. Singkatnya, kali ini mereka harus bisa berperan seperti produser eksekutif atau produser.

Meskipun demikian, dengan segala keterbatasan itu, kami senantiasa dituntut untuk bisa menyelesaikan dengan hasil maksimal. Mampu tak mampu harus bisa. Mau tak mau harus bisa. Pokoknya, serba harus!

Rasa terkejut dan bingung pun segera saja menyatu dalam kepala, ketika pertama kali mendapatkan pengalaman itu. Namun lama-kelamaan, saya menyadarinya, itulah realita bekerja dalan lingkaran kreatif sebuah stasiun televisi.

Sebuah tips sakti dari para senior, “Jangan pernah larut dengan keterkejutan dan kebingungan. Karena, hal itu merupakan ancaman untuk masa depan setiap kreator di stasiun televisi. Dan, tenaga-tenaga muda yang memiliki keberanian dan kaya ide sudah mengantri di belakang. Jadi, segeralah lakukan sesuatu. Do something!”

Dan, pengalaman mengajarkan bahwa ketika saya ada di sebuah program, maka saya harus segera memburu sumber-sumber ide. Entah itu guntingan-guntingan suratkabar dan majalah, print-out hasil browsing di internet, makalah, hasil penelitian, atau buku-buku dan jurnal ilmiah.

Misalnya, ketika saya berada dalam sebuah program hukum dan kriminal, maka saya harus mengumpulkan berbagai data tentang masalah itu dari berbagai sumber. Membolak-balik suratkabar, majalah, membrowsing berbagai data dari internet, mengumpulkan kontak-kontak penting, hingga menelepon teman-teman yang dekat dengan masalah-masalah tersebut. Bahkan, saya pun harus masuk ke kantong-kantong preman!

Kali ini, langkah seperti itu juga harus saya lakukan. Bedanya hanya pada materi. Karena, kali ini saya berada di dalam sebuah program yang memfokuskan diri pada masalah-masalah budaya, maka saya pun harus memusatkan perhatian pada referensi tentang masalah budaya, sosial, atau kisah-kisah human interest lainnya. Maka, narasumber dari kalangan budayawan, akademisi, dan periset, harus segera saya dapatkan. Selain itu, buku-buku tentang antropologi pun langsung saya kumpulkan. Sebagai bekal untuk mempertajam visi bidaya.

Pembekalan seperti itu, sebenarnya standar di bagian mana pun.

Namun, pengalaman ketika menggarap film dokumenter pemilu pada akhir 2003 hingga pertengahan 2004, dan mengikuti Long Documentary Scriptwritting Workshop pada Jiffest 2005 lalu, membuat saya harus berpikir tentang referensi lain. Film-film referensi, jawabnya.

Karena, setiap topik memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Sehingga, saya pun harus siap dengan ide-ide pengemasannnya. Untuk menyiasati persoalan ini, jawabannya ada di kawasan Glodok – pasar terbuka berbagai DVD film bajakan di wilayah Jakarta Barat. Saya harus memburu berbagai film dokumenter. Saya harus menontonnya dan mengingat scene by scenenya. Karena, para filmmaker kawakan pun sangat bergantung pada film referensi.[]

Membuat Film Dokumenter (1)

Kita masih sering mendengar asumsi miring dari sejumlah kalangan bahwa film-film dokumenter yang dibuat di sejumlah stasiun televisi hanyalah feature TV. Atau, paling jauh semi-dokumenter. Kenapa?

Alasannya, menyangkut proses riset yang dianggap terlalu sederhana, waktu penggarapan yang tergopoh-gopoh, atau pendekatan produksi yang masih dalam suasana media cetak. Ketiga alasan itu, tentu saja, dihubungkan dengan situasi penggarapan film dokumenter independen, yang biasanya menelan waktu yang panjang untuk riset dan penggarapan.

Ada banyak buku yang membahas soal definisi film dokumenter. Ada banyak pakar film dokumenter yang rajin mendiskusikan dan menyosialisasikannya ke masyarakat luas. Ada banyak bertumbuhan komunitas-komunitas pembuat film dokumenter, sambil berkarya, berfestival, dan mengapresiasinya dalam suasana kesenian. Namun, kesemuanya lebih mengarah pada film dokumenter independen. Belum menyinggung pada program dokumenter televisi.

Kalaupun seseorang bicara tentang program dokumenter di sebuah stasiun televisi, maka arah pembicaraan langsung mengarah ke kanal televisi berlangganan Discovery Channel atau National Geographic Channel. Karena, kedua kanal itulah yang menjadi barometer program dokumenter televisi.


Ketika pembicaraan menajam ke soal perbedaan film dokumenter independen dan program dokumenter televisi (versi Discovery Channel atau National Geographic Channel), biasanya hanya memunculkan asumsi-asumsi. Salah satunya adalah persoalan menggunakan narasi dan memaksimalkan video effect atau sound effect. Karena, pada film dokumenter independen cenderung meminimalisir penggunaan narasi atau video effect, dan berusaha menampilkan cerita sealami mungkin.[]

January 17, 2008

KISAH KEPERKASAAN DUA MAESTRO


Aksi barongsai dan liong di sebuah vihara di Pasar Lama Tangerang membuka film dokumenter dua PEREMPUAN”, yang berkisah tentang dua orang perempuan – Masnah dan Rasinah. Masnah (Pang Tjin Nio) adalah maestro kesenian gambang kromong, yang sejak remaja hingga usia senjanya mengabdikan diri pada dunia panggung. Saat ini, hanya Masnah yang sanggup menyanyikan lagu-lagu gambang kromong klasik. Sedangkan Rasinah adalah maestro tari topeng, yang sejak kanak-kanak hingga usia uzurnya tetap setia pada kesenian tradisonal tersebut.

Establish shot dimulai dari aktivitas perahu eretan (perahu untuk menyeberangkan warga di dua tempat yang dipisahkan sungai) di atas Sungai Cisadane. Sungai besar itu memang melintasi Kota Tangerang – tempat bermukim sebagian besar warga Cina Benteng. Termasuk, Masnah.

Siang itu, Masnah keluar dari rumahnya menuju sebuah tempat hajatan. Rencananya, ia memang bakal menyanyi di tempat itu selama dua malam berturut-turut. Warga Cina Benteng memang memiliki kebiasaan menggelar hajat demikian lama. Dan sudah pasti menghadirkan kesenian gambang kromong.

Perjalanan Masnah dari rumah menuju lokasi hajatan menjadi “pengantar”, untuk memperkenalkan karakter pertama film ini. Ia bertutur soal waktu dan alasannya melibatkan diri dalam kesenian itu. Persisnya, dimulai sejak suami dan anaknya meninggal. “Kalo nggak terjun ke seni bisa-bisa senewen!” katanya.

Di tempat pesta, para panjak (pemain gambang kromong) dan para cokek (penari) juga sudah berdatangan. Selain menata kebutuhan pementasan, kita juga akan menyaksikan suasana makan siang anak-anak panggung tersebut, canda-canda khas cokek, dan ritual sederhana di belakang panggung. Meski diakui sebagai budaya Cina Keturunan, prosesi upacara tetap saja bernuansakan Islam yang sinkrestisme. Karena, mereka masih menggunakan suguihan, dupa, dam menyan!

Beberapa saat kemudian, sebuah lagu sayur (popular) “Jali-jali Ujung Jalan” meluncur dari mulut Masnah. Beberapa cokek menemani tamunya ngibing. Sementara sejumlah cokek lain sibuk berdandan. Maklum, malam nanti mereka harus tampil secantik mungkin.

Jauh di Desa Pekadangan, Indramayu, Jawa Barat, Rasinah bersama cucu dan muridnya, Aerli dan Andhika, meninggalkan rumah menuju mobil. Mereka bergerak menuju sebuah lokasi hajatan. Di atas mobil, Rasinah bercerita kepada putrinya, Wacih, soal aksi-aksi panggungnya di luar negeri. Sebagai seniman tradisional, Rasinah beruntung bisa menari di mancanegara. Sehingga, ia dianggap memiliki pengalaman lebih dibandingkan penari-penari topeng lain. Namun, ia tetap rendah hati, untuk tetap menari di panggung-panggung kampung.

Di lokasi hajatan, Mimi Wangi tengah melenggokkan Tari Gandurung. Sesaat kemudian, Rasinah dan rombongan tiba di lokasi. Mereka pun langsung berganti kostum. Dan, kita akan menyaksikan aksi Rasinah dengan tari topeng yang sacral, “Tari Panji”. Biasanya, hanya penari senior atau yang dianggap mumpuni, yang dipilih untuk menghidangkan tarian tersebut. Selain bentuk penghormatan, hal itu pun ditujukan untuk memperlihatkan keagungan filosofi tarian itu sendiri. Mereka percaya, tari topeng diwariskan oleh Sunan Kali Jaga (salah satu Wali Sanga) untuk menyiarkan Islam. Karena itu, nilai dan kesucian pesan-pesannya harus dipelihara.

Scene by scene film akan terus berpindah dari cerita Masnah ke cerita Rasinah. Begitu seterusnya. Sehingga, kita memang diminta menyimak kisah dua perempuan (seniman tradisional dan setingkat maestro) di hari-hari senja. Entah berbagai kegiatan mereka di panggung, suasana khas kesenian itu sendiri di hadapan umum, kegiatan para karakter di rumah, dan tentu saja, penuturan demi penuturan tentang masa lalu, masa sekarang, dan keinginan di depan, kedua karakter. Kekuatan informasi atau penceritaan memang bertumpu pada penuturan kedua karakter. Film dokumenter ini memang tidak menggunakan narasi. Sehingga, kita akan mendapati suara asli para karakter dengan logat, ketidakteraturan berbahasa, keluguan, dan juga kejujuran. Orisinal, jadinya.

Bahkan, bisa dikatakan, suguhan gambar menjadi menu utama, untuk dicermati, dipahami, dan diresapi, jalinan cerita dan pesan-pesan yang dikandungnya. Dampaknya, bisa jadi, akan menghadirkan multi-tafsir. Tapi, itulah film dokumenter!


Melalui karakter Masnah, film ini memberikan gambaran tentang keberadaan komunitas Cina Benteng (komunitas cina keturunan yang bermukim di pinggiran kota Jakarta), produk kebudayaan yang dilahirkan dari sebuah proses pembauran – bernama kesenian gambang kromong dengan para cokeknya, dan perjuangan keras seorang perempuan dengan segala kemampuannya.

Bicara tentang Komunitas Cina Benteng, maka kita akan dihadapkan pada persoalan ras yang “tidak jelas” (Cina bukan dan pribumi pun bukan), masyarakat yang terpinggirkan, dan komunitas yang tetap saja sulit memperjuangkan masa depannya. Sedangkan cerita tentang kesenian gambang kromong adalah pembuktian tentang betapa kuatnya penetrasi budaya Cina tempo dulu terhadap budaya lokal. Sehingga, ia akan selalu menjadi ikon keberadaan ras Cina di negeri kita.

Seiring dengan terdengarnya reportoar klasik “Pobin Khong Ji Lok”, sebenarnya kita tengah dihidangkan makna simbolik tentang peran kesenian gambang kromong. Karena, kesenian itu merupakan tampilan “superior” kaum pendatang di masa silam terhadap warga pribumi melalui simbol cokek (penari gambang kromong). Di pekalangan (arena hajatan), sang tamu (warga Cina Benteng) bisa berbuat sekehendak hatinya terhadap cokeknya (yang biasanya warga pribumi), bila ia telah memiliki cukin (kain) sang cokek. Termasuk, pelecehan seksual.

Perjalanan waktu, akhirnya menghadirkan banyak perubahan dalam tampilan dan makna-maknanya. Bila tempo dulu, para cokek menjadi simbol “superioritas” warga Cina (di zaman pemerintahan Hindia Belanda tergolong warga kelas dua) atas warga pribumi, sedangkan sekarang menjadi hubungan dagang. Sang cokek membutuhkan uang, maka ia bersedia menemani tamunya menari dan diperlakukan apa saja. Bila dulu kesenian gambang kromong menghadirkan lagu-lagu klasik (yang memperlihatkan keunikan khas Cina), maka kini lebih banyak menghadirkan lagu-lagu sayur (popular). Tujuannya memang telah bergeser, sekedar memberikan hiburan.

Dalam posisi seperti itu, Masnah menjadi bagian yang cukup penting untuk memberikan gambaran keberadaan Komunitas Cina Benteng di masa sekarang, pergeseran fungsi kesenian gambang kromong dan para cokeknya, dan perjuangan warga kelas pinggiran untuk mempertahankan identitas dan kehidupannya. Masnah atau Pang Tjin Nio menjadi karakter, karena ia perempuan tangguh dan legenda yang terus memperjuangkan pembumian warga keturunan di negeri ini.


Sekitar 300 kilometer dari kediaman Masnah, kita juga bisa menjumpai maestro Tari Topeng Indramayu bernama Rasinah di Desa Pekandangan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Umurnya mendekati 80 tahun. Tapi, ia masih rajin membagikan ilmu menarinya kepada siapa pun. Bahkan, ia masih terus memenuhi panggilan menari di panggung-panggung hajatan. Kerap, ia turun panggung untuk meminta saweran (tips) kepada penonton.

Rasinah menjadi karakter pada bagian lain film dokumenter dua PEREMPUAN” ini, untuk memberikan gambaran perjuangan perempuan, nasib kelabu para seniman tradisional, dan perjalanan akhir sang maestro. Rasinah adalah perempuan tangguh yang sejak kanak-kanak mengalami tempaan hebat, untuk mencintai tari topeng. Kesungguhan itu diperlihatkan dengan syarat-syarat yang sebenarnya tidak masuk di akal. Misal, ia harus mutih (berpuasa dan tidak memakanan makanan memiliki rasa selama beberapa hari) atau nguler (berpuasa dan hanya memakan daun-daunan), dan sebagainya.

Pada saatnya, ia baru bisa “diamenkan” dari satu panggung ke panggung mengikuti jejak orangtuanya. Setelah menjadi penari, ia juga dhadapkan persoalan berat ketika orangtuanya meninggal. Sementara panggilan menari kian sepi. Akhirnya, ia pun jatuh dalam kemiskinan. Tapi, ia terus menari. Sampai keberuntungan pun berpihak dan membuatnya terkenal. Karena, ia kerap mendapat tugas sebagai duta seni, untuk menri di berbagai Negara.

Kisah Rasinah pada film dokumenter dua PEREMPUAN” memperlihatkan kedekatannya dengan Tari Topeng Indramayu, kesungguhannya untuk terus menari di panggung-panggung hajatan, keseriusannya untuk membagikan Tari Topenfg Indramayu kepada cucunya, dan penghormatannya pada para leluhur. Bukti kecintaan itu diperlihatkan Rasinah dengan kebiasaan berziarah di makam seniman di Desa Pekandangan, serta memperlihatkan aksi Tari Panji di tengah areal pemakaman.

Rasinah adalah contoh perempuan yang konsisten dengan jalan hidupnya, dan setia membangkitkan perjuangan untuk masa depan keluarganya. Sesungguhnya, ia tengah mengajarkan kita untuk mencintai apapun dengan ketulusan dan tanpa pernah berhenti.


Masnah dan Rasinah memiliki “kelas” di bidangnya masing-masing. Namun, keduanya memiliki kesamaan nasib di hari tuanya; papa, terpinggirkan, dan terus berjuang menikmati kehidupan itu sendiri.

Kabar terakhir, Rasinah kini tengah tergolek di tempat tidurnya akibat serangan stroke. Bahkan, ia harus me”lego” topeng-topeng yang pernah dipakainya (bisa jadi memiliki sejarah panjang) untuk menutupi biaya pengobatan. Dalam keadaan seperti itu, ia tetap berusaha mengajarkan tari topeng kepada murid-muridnya.

Luar biasa!

Pada dasarnya,dua PEREMPUAN” bukan hanya bertutur soal profil dua perempaun (maestro kesenian tradisional). Tapi, banyak pesan yang bisa digali dari kehidupan senja para lansia yang tetap produktif itu. Dan, kita bisa dengan leluasa memilah dan memilihnya. Entah sekedar ingin tahu atau mencoba dijadikan bekal untuk memotivasi diri.

Karena itu, gambar dengan keotentikan suasana dan elemen etnografinya dibiarkan mengalir. Film ini memang ingin memanjakan mata dan telinga kita dengan keaslian dan kejujuran suasana. Bila penafsiran yang muncul bertolak belakang dengan apa-apa yang dirancang oleh filmmakernya, tentu menjadi sangat lumrah. Karena, para pembuat filmnya sendiri justru membiarkan ruang-ruang penafsiran itu berkembang. Mereka berharap, dua PEREMPUAN” bukan sekadar kisah sedih di hari tua. Tapi, dapati mutiara-mutiara yang bisa digali di dalamnya.

Kalau saya mencatatnya sebagai “the spirit of women”. Entah dengan Anda.[]


A MAtaHAti production – A BAGOES ILALANG film -- MASNAH (maestro gambang kromong) & RASINAH (maestro tari topeng)– Produced & Directed by: BAGOES ILALANG – Director of Photography: MICHAEL TORRO – Edited by: ARIA HANS KERTAPATI – Production Designed by: TERRIZQO A. SUTANSYAH – Executive Produced by: RATNA S. HALIM – Researcher: SUPARYONO