Seperti sudah kelaziman di setiap stasiun-stasiun televisi, dominasi produser eksekutif dan produser sangat besar dalam menawarkan topik cerita. Merekalah yang berperan mencari, mempertimbangkan, dan menawarkannya pada sebuah rapat praproduksi. Kru lain pun sebenarnya memiliki kesempatan untuk menawarkan idenya. Namun, menyangkut pengambilan keputusan, tetap mutlak berada di tangan produser eksekutif.
Situasi ini, tentu saja, jauh berbeda dengan penggarapan film dokumenter independen – yang diproduseri dan disutradarai sendiri. Karena, biasanya sang filmmakerlah yang mencari, mempertimbangkan, dan memutuskan topik terbaik untuk filmnya. Kadang, sang filmmaker mendapat dukungan ide atau saran dari kru lainnya. Namun, kebebasan berkehendak tetaplah menjadi harta sang filmmaker.
Keuntungan yang didapat dari banyaknya kreator yang berkumpul di satu meja, tentu saja, semakin banyaknya ide dan sudut pandang. Ada banyak pilihan yang disedikaan. Seiring dengan itu, semakin berkumpul pulalah sejumlah keinginan. Seakan seluruh penyumbang ide berkeinginan memaksakan idenya(?) Rumit juga, kan?
Agar tidak terjebak dalam pertarungan tentang ide atau data, maka biasa saya langsung menutuskan, untuk mengolah kumpulan ide dan data itu menjadi film statement atau premis atau ide cerita. Kalangan pembuat film layar lebar atau sinentron menyebutnya premis atau ide cerita. Namun, kalangan pembuat film dokumenter menyebutnya film statement. Padahal, makna ketiganya sama saja, yakni sebuah rencana untuk mengatakan sesuatu melalui film. Atau, sebuah kehendak untuk menyampaikan pesan melalui bahasa audio-visual. Atau, ide dasar dari rangkaian cerita.
Inilah persoalan terpenting dalam setiap produksi. Ibaratnya, ia merupakan roh bagi jasmani. Atau, pondasi bagi sebuah bangunan. Ia akan menjadi dasar pijakan untuk pekerjaan berikutnya. Karena itu, ketika ide sudah didapat dan ada keinginan untuk membuat film dokumenter, para filmmaker akan berjuang mati-matian untuk merumuskan film statement atau premis filmnya.
Karena itu, penguraian masalah premis itu akan mendapat porsi yang besar pada setiap bab di buku ini. Tanpa menceritakan proses perumusan premis, maka sama artinya dengan tidak membahas film dokumenter atau program dokumeter televisi. Pengalaman membuktikan, pelajaran utama memproduksi film dokumenter, justru pada bagian itu.
Dan untuk mempermudah penentuan fokus cerita, agar lebih spesifik dan mengerucut ke suatu masalah, biasanya saya langsung memikirkan premis awal. Disebut premis awal, karena saya selalu merasa bakal ada perubahan dan menjadikannya sebagai premis akhir. Penyebabnya, lagi-lagi, menyangkut riset yang lemah dan ketidakmengertian akan situasi di lokasi. Anehnya, kedua problem selalu terjadi di setiap produksi.
Meskipun demikian, diskusi untuk merumuskan premis awal tetaplah menarik. Dan, sangat memungkinkan untuk menjadikannya fokus ke masalah yang ingin kita tuju. Karena, waktu tidak bisa kompromi dan senantiasa menuntut untuk segera menentukan; masalah apa yang harus disampaikan pada film dokumenter kita?
Jurus pertama yang biasa saya lakukan adalah benar-benar memusatkan perhatian pada pesan yang ingin disampaikan. Buka mata dan telinga, untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin. Sehingga, kita bisa membuat premis yang benar-benar baru, lebih spesifik, lebih fokus, serta sedapat mungkin, sangat menarik dan tengah menjadi perhatian orang banyak.
Misalnya, ketika saya mendapat permintaan menggarap masalah orangutan di Kalimantan. Maka, saya pun langsung mencari masalah yang paling menarik dari ide cerita itu. Bicara tentang orangutan, segera saja ingatan saya tertuju pada nasib orangutan yang sering diperjualbelikan secara illegal, diburu dan dibantai, dan ada juga direhabilitasi.
Maka, premis saya pun mengarah pada “penyelamatan orangutan”. Arah pesannya sudah sangat jelas, yakni tentang bagaimana upaya menyelamatkan orangutan lantaran banyak pihak yang membantai hewan liar itu. Namun, apakah premis itu sudah spesifik? Dikatakan “penyelamatan”, pertimbangkan lagi, diselamatkan dari apa? Diselamatkan dari kejahatan atau masalah apa?
Obyeknya memang sudah jelas, yakni orangutan. Tapi, rumusan itu terasa masih menggantung dan belum mengarah ke suatu fokus. Kita pun masih akan diputar-putar oleh premis kita sendiri. Karena itu, saya harus membuat premis itu, katakanlah premis awal, menjadi lebih spesifik. Sehingga, kita bisa mendapat gambaran tentang fokus cerita. Premis yang bisa menuntun ke arah fokus cerita. Sebut saja, premis akhir.
Saya mencoba membalikkan pikiran menuju premis awal “penyelamatan orangutan”. Dengan bekal premis itu, saya pun segera memikirkan data dan fakta lain, yang saat itu tengah berhubungan erat dengan masalah penyelamatan orangutan. Sehingga, saya bisa mempertimbangkan fakta itu dan menjadikannya sebagai premis akhir.
Informasi dari teman LSM di Kalimantan Tengah menyebutkan, adanya pembantaian orangutan oleh para pekerja kebun kelapa sawit. Hal itu merupakan dampak dari pembukaan hutan menjadi kebun kelapa sawit. Orangutan kehilangan habitat, lalu mencari makan ke dalam kawasan kebun kelapa sawit. Banyak kelapa sawit yang rusak. Sehingga, pemilik kebun harus menanggung kerugian. Maka, ia pun memerintahkan para pekerjanya untuk memburu orangutan. Tujuan utamanya adalah menyelamatkan kebun kelapa sawitnya.
Saya tidak perlu berpikir lama. Karena, data mutakhir yang saya dapat makin memfokus pada satu masalah; pemburuan orangutan oleh para pekerja kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah. Lokasi penggarapannya pun sudah jelas, yakni Kalimantan Tengah. Maka, akhirnya merumuskan premis akhir, “penyelamatan orangutan dari kekejaman para pekerja kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah”. Sebuah film statement atau premis yang lebih panjang dari premis asal, namun makin fokus ke suatu obyek.
Topik: Orangutan di Kalimantan Tujuan: Mengungkapkan berbagai permasalahn orangutan di Kalimantan Premis Awal: “Penyelamatan orangutan” Info aktual: Pembukaan kebun kelapa sawit di sejumlah tempat di Kalimantan Tengah diikuti hilangnya habitat orangutan. Orangutan kehilangan habitat dan tempat mencari makan. Orangutan masuk ke kebun kelapa sawit dan merusak kelapa sawit. Para pemilik kebun kelapa sawit marah dan meminta para pekerjanya memburu orangutan. Perburuan berakibat kematian dan korban kekerasan lain pada orangutan. Premis Akhir: “Upaya penyelamatkan orangutan dari kekejaman para pekerja kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah” |
Seperti tadi diungkapkan di atas, premis ibarat pondasi dari sebuah bangunan. Ia bisa berbentuk apa saja dan ia bakal menjadi cikal-bakal bentuk bangunan di atasnya. Karena itu, kokoh dan tidaknya bangunan, indah atau tidak indahnya bangunan, tentu saja sangat bergantung pada pondasi bangunan.
No comments:
Post a Comment