Hampir dua bulan ini aku menangani dua naskah yang mirip. Secara prinsip, terjemahan naskah itu sudah benar. Setidaknya itulah klaim penerbit. Penerjemah naskah itu orang terkemuka dan ahli di bidangnya. Jadi secara keilmuan dia bisa diandalkan dan wawasannya mumpuni. Untuk sementara, aku sulit membantah klaim itu dan percaya omongan penerbit.
Di ruang kerja sederhanaku, ketika siap-siap membedah naskah itu, barulah aku merasakan sulitnya menangani terjemahan itu. Memang tugas editor ialah meluweskan penuturan, memadukan inkoherensi paragraf, membuat keterbacaan naskah tinggi. Itu mirip tugas utama dokter ialah menyembuhkan pasien atau petugas kebersihan kota menyingkirkan sampah. Begitulah adanya. Tapi kalau kamu mendapati tugas kamu ternyata begitu bikin suntuk, terlalu sulit atau menggunung, wajar bila ia bikin stres atau frustrasi. Seorang striker bisa frustrasi dan kalap kalau terus-menerus gagal mencetak gol dan kesulitan mendobrak pertahanan lawan, atau kiper lawan terlalu tangguh. Kalau sifat ksatrianya cedera, dia bisa gelap mata dan akhirnya bertindak curang dengan melakukan diving. Tantangan setiap pekerjaan itu sama. Namun menyebalkan bila faktanya beban kamu terlalu berat. Ada yang salah, dan itu bukan salah kamu, melainkan proses sebelumnya atau kasusnya memang berat. Untuk itu
kamu hanya harus tabah dan bertahan. Lakukan inovasi dan istirahat secukupnya.
Begitu menghadapi baris kalimat sulit, aku yakin ada yang salah dari penanganannya. Aku kerap kesulitan menangkap maksud kalimat itu sebenarnya apa. Bahasanya ribet. Banyak banget kalimat panjang melelahkan, bahkan bisa terdiri dari satu paragraf! Yang terdiri dari tiga - empat baris juga banyak. Polanya pun masih dalam bahasa sumber, dan kerap berbentuk negatif. Dalam kalimat panjang itu selalu ada sisipan anak kalimat berisi tambahan informasi, termasuk hal-hal trivial yang bahkan sering berulang di bagian sebelumnya. Ini jelas gaya sang penulis, dan penerjemah membiarkannya. Bikin capek baca, dan energiku terkuras dengan cepat. Penerbit suka menggampangkan kondisi ini, bilang bahwa beban editor ringan. Padahal meluweskan bahasa, dengan penyampaian yang enak itu penting sekali dalam sebuah buku.
Kalimat pendeknya saja suka membingungkan. Contoh: "Pidatonya merupakan yang tidak lazim antara kepalsuan dan sifat agresif yang terang-terangan. " Maaf, ini apa maksudnya?
Kalimat panjangnya antara lain begini: "Al-Quran menjasadkan di depan mata kita suatu gambaran yang hidup, dan menggerakkannya pada lebih dari satu arah, untuk mengimbau orang-orang yang merasa tidak berdaya itu untuk membebaskan diri dari tekanan, sejak sekarang, agar kelak mereka tidak menghadapi konsekuensinya sesudah mereka mati, dengan sikap menyerah pada kelemahan diri, sebagai suatu unsur yang sangat diperingatkan untuk dijauhi."
"Kekuatan-kekuatan hegemonis itu, yang menganggap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa merdeka dan mandiri sebagai ancaman terhadap monopoli mereka dalam instrumen kekuasaan yang penting ini dan yang tidak ingin melihat keberhasilan yang sama di negara-negara lain, telah salah mengartikan teknologi nuklir Iran yang terjaga dan aman sebagai usaha untuk membuat senjata nuklir."
"Bagaimanapun, kalau ada kebebasan pribadi yang akan dipertahankan mati-matian oleh seseorang di dunia modern, itu adalah haknya yang tidak boleh diingkari untuk menyaksikan pertandingan sepakbola di televisi, dan kuatnya dorongan pandangan umum, bahkan di kalangan Islam fundamentalis dengan kepala yang penuh dengan dalih-dalih teologis untuk menentangnya, pemerintah terpaksa menayangkan pertandingan sepakbola di televisi."
Halo... rasanya aku menerima sandi dari alien.
Seberapa besar usaha seorang editor menyunting kalimat itu, berapa lama waktu yang dia butuhkan? Atau sebaliknya, seberapa toleran dia boleh bilang bahwa kalimat itu sudah jernih?
Kondisi itu membuat tugasku mengubah penyampaian agar luwes, lincah, mudah dicerna, dan lancar justru bakal paling besar menyita energi. Memoles dan melenturkan kalimat itu kerap butuh coba-coba dan mengutak-atik dulu sebelum akhirnya menemukan penyampaian yang paling pas. Butuh waktu dan energi besar. Bayangkanlah pekerja furnitur kayu jati yang mengamplas ukiran kasar menjadi halus. Dia melakukannya berhari-hari, terpaksa harus menghirup hamburan serbuknya, dengan tenaga yang hebat. Itulah kerja keras. Itulah yang juga harus dihadapi penyunting bila menemukan kalimat-kalimat kasar, penuh gerinjul, menyulitkan makna.
Saking sebal, aku berprasangka penerjemah ini mungkin awalnya berpikir bahwa pekerjaannya sudah keren, jadi dia serahkan ke penerbit. Coba kalimat-kalimat berlepotan dan penuh lumpur itu dibiarkan, lantas langsung dibungkus dan ditawarkan ke publik. Aku yakin seminggu kemudian pembacanya pada sakit kepala. Atau mereka langsung melemparkannya ke tong sampah. Aku jadi ingat pelajaran pertama seorang penyunting dari dosenku, ibu Sofia Mansoor, yang mengenalkan istilah "keterbacaan" ---yaitu tingkat suatu naskah mudah atau sulit dipahami.
Penulis, penerjemah, penyunting bahu-membahu untuk menghasilkan naskah dengan keterbacaan tinggi. Bila rendah, harus diubah, atau minimal membuatnya lebih mudah. Tapi itu pun bukan harga mati. Keterbacaan sebagian karya memang rendah. Misal Finnegan's Wake (James Joyce) atau puisi Afrizal Malna dan Nirwan Dewanto. Mau apa kita dengan naskah seperti itu? Mau berkompromi? Di ranah nonfiksi juga sama. Aku pernah berusaha baca The Uses of Literacy (Richard Hoggart) yang konon penting, tapi hanya sedikit sekali yang aku paham dari pemaparannya. Kemungkinannya ialah otakku terlalu tebal terhalang kabut. Susah memahami membuat orang jadi mudah frustrasi.
Seorang penyunting lain mendapat kasus serupa, mengeluhkan buruknya bahasa yang dia garap, sampai merasa bahwa tawaran honornya terlalu kecil untuk menangani naskah menyebalkan seperti itu. Aku setuju. Karena menyita energi, emosi, bikin frustrasi, kompensasi menggarapnya harus sepadan. Penerbit bagus biasanya bisa diajak bicara tentang seberapa jauh tingkat kesulitan editing yang dilakukan editornya, terutama editor outsource. Mereka biasanya minta bukti (sampel). Kalau sepakat bahwa naskah itu memang sulit, mereka setuju menaikkan honor---sesedikit apa pun itu.
Kalau setiap hari menemukan kalimat kacau, manusia akan jadi cepat lapuk. Ada yang salah bila kita gagal menangani kesulitan berbahasa, menangkap pesan dengan jernih, atau mengungkapkan dengan baik. Di dalam Writing Tools (2006), Roy Peter Clark mensinyalir malapetaka dari konsekuensi tulisan buruk, baik untuk bisnis, profesi, pendidik, konsumen, dan warga negara. Buruknya tulisan dalam laporan, memo, pengumunan, dan pesan menguras biaya dan waktu. Itu merupakan gumpalan darah di lembaga politik dan pemerintahan. Membuat arus informasi mampat. Masalah penting terus mengendap dan tertutup. Kesempatan untuk perbaikan dan efisiensi tetap terkubur (hal. 7-8).
Tulisan sulit membuat pembaca kepayahan. Padahal tujuan membaca dan menulis ialah kefasihan, mengungkapkan maksud secara jernih dan lancar. "Tulisan juga harus mengalir dengan lancar dari penulis. Idealnya memang seperti itu," tegas Clark.
Aku bukan hendak memuliakan editor atau memberat-beratkan tugasnya. Seperti aku bilang, profesi ini sama dengan profesi lain. Ia memiliki tantangan dan kesulitan sendiri. Jadi editor mungkin mustahil membuat kamu mati luka-luka seperti tentara tertembak di medan perang. Tapi kamu bisa gila kalau gagal menangani kalimat kacrut yang bikin akal dan logika jadi putus asa.[Anwar Holid]
No comments:
Post a Comment