September 11, 2009

ALBERT ARNOLD G0RE JR.

Malam itu, 4 November 2000. Al Gore mengangkat gagang telepon dan menghubungi George Walker Bush. Dia mengucapkan selamat atas kemenangan Gubernur Negara Bagian Texas itu dalam pemilihan presiden. Percakapan tersebut tak berlangsung lama, dan Gore yang ketika itu masih menjabat sebagai Wakil Presiden Amerika Serikat sekaligus calon presiden dari Partai Demokrat, menutup telepon.

Sebagaimana galibnya dalam budaya politik AS, Gore pun bersiap menyampaikan pidato kekalahan di depan pendukungnya. Namun, dalam rentang tak terlalu lama, dia dikejutkan oleh telepon dari Ron Klain, manajer kampanyenya. Kabar yang didengarnya bak petir di siang bolong. Klain mengatakan ada yang salah dengan hasil suara di Negara Bagian Florida. Dan, tipisnya selisih suara antara Gore dan Bush, membuat kesalahan itu cukup untuk mengantarkan Gore menjadi pemenang dalam Pilpres 2000. Intinya, siapa yang memenangkan Florida dipastikan bakal berkantor di Gedung Putih.

Seketika itu juga, konstelasi politik di AS berubah. Sebagian besar media elektronik mencabut running text tentang kemenangan Bush. Media cetak pun buru-buru membuat edisi ralat. Reporter yang berada di lapangan mengubah arah pemberitaan dengan mengatakan “belum ada Presiden AS terpilih”. Sejak malam itu, sebuah “drama” yang disebut-sebut sebagai the most controversial presidential election in US history tersebut dimulai.

Jujur saja, buat saya apa yang terjadi di AS dari 4 November hingga 13 Desember 2000 itu biasa saja. Namun, semuanya menjadi berbeda ketika saya menyaksikan sebuah film semidokumenter berjudul Recount yang dirilis 2008 silam. Film ini menceritakan kejadian hari demi hari pertarungan antara tim kampanye Gore dan Bush untuk memenangkan Florida. Dan film yang berangkat dari fakta sejarah ini saya rasakan semakin relevan karena Komisi Pemilihan Umum baru saja menetapkan hasil Pilpres 2009.

Tak pernah terbayangkan negara kampiun demokrasi seperti AS bisa terjerembab dalam sejarah memalukan ini. Jika biasanya presiden AS terpilih bisa ditentukan dalam waktu satu hari, kali ini berbeda. Penentuan Presiden ke-43 AS harus menempuh jalan berliku dan panjang. Warga AS pun menaruh perhatian pada Florida, dimana terbongkar banyak kasus pelanggaran pemilu, kesimpangsiuran kertas suara, gugatan pemilihan, dan tuntutan hukum.

Pihak Partai Demokrat mengklaim angka 19 ribu suara di Palm Beach County yang didiskualifikasi. Setelah suara di 21 county di Florida dihitung ulang, Gore mendapat tambahan 642 suara dan Bush memperoleh tambahan 144 suara. Jika ditotal, Bush meraup 2.909.404 suara, sedangkan Gore baru mendapat 2.908.126 suara. Ini berarti Bush unggul dengan selisih 1.278 suara. Angka yang tipis dan tentu saja tak sebanding dengan 19 ribu suara yang hilang itu.

Demokrat jelas tak asal teriak. Sebanyak 19 ribu suara yang dipermasalahkan itu dianggap tak sah karena dicoblos dua kali. Sebagian besar pemilih adalah dari kalangan minoritas Afrika-Amerika atau kulit hitam yang secara politik adalah massa tradisional Demokrat yang tentu saja condong memilih Gore. Apalagi, para pemilih ini mengaku mencoblos dua kali karena kertas suara yang membingungkan. Gore menjadi capres nomor urut dua, tapi di kertas suara posisi mencoblosnya ada di urutan ketiga.

Masalah kedua adalah soal DPT. Tak jauh beda dengan Pilpres 2009 di Indonesia, ada 1.800 nama fiktif dalam daftar pemilih tetap di Florida. Dengan kedua masalah itu, perang opini pun dimulai. Tim kampanye masing-masing capres sibuk melobi, tim hukum Gore dan Bush pun mengumpulkan semua bahan untuk beradu argumen. Selain penghitungan ulang, kemungkinan dilakukannya pemilihan ulang juga mulai membayang.

Florida sendiri memiliki atmosfer politik yang unik saat masalah ini mengemuka. Bush diuntungkan karena Gubernur Florida dijabat adik kandungnya Jeb Bush. Demikian juga sejumlah pejabat negara bagian yang tak lain adalah anggota Partai Republik dan menjadi bagian tim kampanye Bush. Sementara Gore yang diusung Partai Demokrat memiliki keuntungan karena pengadilan di Florida mayoritas hakimnya dipilih ketika Partai Demokrat menguasai negara bagian itu.

Tuntutan penghitungan suara ulang dipenuhi pengadilan Florida. Namun, sempat diperintahkan untuk dihentikan sebelum kemudian dilaksanakan kembali. Bahkan, waktu untuk penghitungan ulang juga diperpanjang sampai dua kali. Karena tetap tak tercapai titik temu, kasus ini sampai ke Mahkamah Agung. Meski tanpa suara bulat, pada 12 Desember 2000 Mahkamah Agung memutuskan Bush memenangkan pemilihan di Florida. Hebatnya, tim kampanye dan tim hukum Gore tak patah semangat. Ron Klain dan stafnya menyiapkan bukti baru untuk mematahkan putusan itu.

Pagi hari, 13 Desember 2000, atau 40 hari setelah pilpres berlangsung, telepon di ruang kerja Ron Klain berdering. Ketika diangkat, ternyata dari Gore. Dengan sikap formal, Ron Klain menyapa bosnya. Gore mengatakan tak bisa tidur karena memikirkan putusan MA tersebut. “Aku harus menghentikan perang ini ketika aku tahu aku tak bisa menang, Ron,” ujar Gore. Ron Klain –yang diperankan dengan baik oleh Kevin Spacey– terdiam dan matanya memerah.

Malam harinya, Gore tampil di televisi nasional dan menyampaikan selamat kepada Bush. “Aku tahu banyak pendukung yang kecewa, termasuk aku. Namun, kekecewaan itu akan berlalu karena kecintaan terhadap negeri ini,” ujar Gore yang terus menebar senyum. Konflik yang melelahkan itu pun berakhir. Bukan oleh putusan hukum atau tekanan politik, tapi lebih karena jiwa besar yang ditunjukkan seorang Gore.

Di Jakarta, 25 Juli 2009, pasangan calon presiden dan wakil presiden Megawati Sukarnoputri dan Prabowo Subianto menolak hadir di Kantor Komisi Pemilihan Umum. Keduanya menolak mengakui hasil pilpres dan menolak pula mengakui kemenangan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono. Saya bisa memaklumi jika pasangan ini mempermasalahkan berbagai pelanggaran yang ada. Tapi, menyoal pelanggaran pemilu dan menolak mengakui presiden yang dipilih mayoritas rakyat dalam konteks Pilpres 2009 adalah sesuatu yang berbeda.

Bahwa pelanggaran, kecurangan, atau kesalahan dalam pemilu harus diusut, saya sangat setuju. Ini penting agar di masa datang KPU sebagai penyelenggara pemilu bisa lebih awas dan suara setiap pemilih bisa dihargai. Namun, dalam kasus ini, harus pula dilihat apakah pelanggaran atau kecurangan itu signifikan untuk mengubah hasil penghitungan. Dengan selisih suara antara SBY-Boediono dan Megawati-Prabowo yang mencapai 40 juta lebih, sulit rasanya pemenang pilpres bisa berubah.

Karena itu, sejak awal saya berharap Megawati dan Prabowo mengucapkan selamat kepada SBY dan Boediono. Pada saat bersamaan keduanya juga harus membawa pelanggaran dan kecurangan yang ada ke Mahkamah Konstitusi. Langkah ini menyiratkan dua hal. Pertama, bahwa pasangan capres-cawapres menghargai pilihan rakyat dan berbesar hati ketika dirinya menjadi pihak yang kalah. Kedua, pelanggaran atau kecurangan dalam pemilu sama dengan menciderai suara rakyat, dan itu harus diselesaikan melalui mekanisme hukum.

Ketika gagasan pemilihan presiden langsung mengemuka pascaturunnya Presiden Soeharto, banyak kalangan yang menilai masyarakat kita belum siap. Ada ketakutan bakal muncul konflik, anarki, serta perpecahan. Kini, dua kali sudah negara ini menyelenggarakan pemilihan umum langsung dan ketakutan itu tak terbukti. Rakyat ternyata bisa berdemokrasi dan menerima pemimpin yang telah dipilih secara langsung. Tak ada unjuk rasa atau anarki menyikapi hasil pilpres.

Sebaliknya, calon pemimpin kita masih hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Sulit menerima kekalahan dan sibuk mencari kesalahan-kesalahan orang lain. Itulah dilema pemimpin di negara kita yang jumlahnya sudah berlebih namun sangat sedikit yang bisa disebut negarawan itu. Pemimpin bisa jadi masih punya nafsu berkuasa, menganggap diri paling hebat, dan menganggap rakyatnya pion belaka. Sementara seorang negarawan selalu bertindak dan bersikap semata-mata untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu negara dan bangsa.

Kini, saya hanya bisa berandai-andai. Andai saja Megawati yang dalam setiap pidatonya begitu suka menyebut kata “bangsa” dan “negara” itu tak melulu hanya berbicara kepada massa PDI Perjuangan, tapi kepada seluruh rakyat Indonesia. Andai saja Prabowo mengucapkan selamat kepada SBY-Boediono usai hasil hitung cepat diumumkan. Dan andai saja keduanya hadir di KPU pada Sabtu silam sebagai penghargaan kepada 32 juta lebih suara yang memilihnya, saya yakin pasangan ini sudah menanam benih psikologis yang positif untuk maju pada Pilpres 2014. Sayang, tak banyak pemimpin kita yang punya kerendahan hati dan kebesaran jiwa layaknya Albert Arnold Gore Jr. [Rinanldo, blog.liputan6.com]

No comments: