September 11, 2009

RINDU AL GORE

Film dokumenter “An Inconvenient Truth” dengan karakter mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Albert Arnold "Al" Gore, Jr., sungguh terlalu perkasa buat saya. Hingga, saya tidak akan pernah tega untuk membandingkan tampilan Al Gore dengan Horrison Ford atau bintang-bintang kelas dunia lain.

Sebagai bintang film dokumenter, Al Gore tampil sempurna. Good looking, memiliki kualitas vokal yang di atas rata-rata, dan selalu tampil prima dalam mempresentasikan materi kampanye. Tiga elemen itu sudah merupakan modal yang sangat besar bagi sutradara untuk “memainkan” sang karakter dalam setiap scene. Bahkan, sutradara tidak perlu mengarahkan blocking atau aturan pengambilan gambar baku pada pemainnya. Karena, justru filmmakerlah yang dituntut melayani dan menafsirkan semua pergerakan dan pesan yang disampaikannya.

Memang sangat tidak mengejutkan bila dalam film itu Al Gore begitu terampil mengampanyekan isu global warming dan pencitraan diri. Catatan profil yang mantan wartawan, pengusaha, aktivis, dan politisi, merupakan petunjuk bahwa ia bukan orang sembarangan yang tiba-tiba saja bernafsu menjadi presiden. Ia bukan hanya memiliki ambisi dan strategi politik. Tapi, ia juga memiliki materi presentasi yang lebih dari memadai, untuk ditawarkan kepada publik sebagai proposal capres. Dan ketika gong kampanye dimulai, ia tidak serta merta “sadar kamera”. Tapi, ia memang telah menyiapkan diri sedemikian rupa, untuk tampil meyakinkan di depan kamera dan masyarakat luas.

Lepas dari itu semua, kunci kekaguman saya terhadap film itu, karena saya memfokuskan diri pada film statement dan pencitraan yang dibangun oleh Al Gore sebagai capres negara adidaya saat bertarung dengan capres Partai Republik George W. Bush pada 2000. Sejak opening scene digulirkan, sutradara Davis Guggenheim tanpa ampun menghujamkan fakta ancaman terhadap bumi akibat pemanasan global. Setelah itu, kamera obyektif terus menguntit kampanye capres Partai Demokrat itu di berbagai tempat. Dengan topik yang fokus pada masalah lingkungan, tentu saja.

Di luar materi global warming, pastinya Al Gore juga melontarkan isu-isu lain seputar kondisi negaranya dan juga perspektifnya terhadap dunia. Tapi harus diakui sejujur-jujurnya, keberanian Al Gore memperbesar porsi masalah lingkungan dibandingkan isu lain – terlebih lagi aib pesaingnya – jelas sangat luar biasa. Bahkan, saat seorang capres memilih isu lingkungan sebagai materi kampanye saja sudah perlu mendapat pujian. Karena, jujur saja, memang banyak kalangan mengasumsuikan masalah itu sangat tidak seksi, kan?

Tidak percaya? Mari kita cermati satu demi satu materi kampanye pasangan capres dan cawapres yang tengah memperebutkan kursi R-1 dan R-2 pada pilpres kali ini. Adakah masalah pembantaian orangutan di Kaliman Tengah disinggung oleh para kandidat? Adakah masalah kerusakan terumbu karang menjadi perhatian para peserta pilpres? Adakah masalah pembalakan liar dan bahaya kerusakan “paru-paru” khatulistiwa menjadi menu kampanye mereka?

Faktanya, isu neoliberalisme versus ekonomi kerakyatan, penegakan hukum dan keadilan, plus konsep-konsep abstrak yang sulit dipahami orang awam, masih bertebaran. Ada kesan keseragaman proposal. Namun, semuanya belum menghadirkan dimensi lain yang lebih membumi. Apalagi, memiliki kepercayaan diri untuk menggulirkan keprihatinan masalah lingkungan. Apa mungkin masalah tersebut masih dianggap “baik-baik saja” di mata para capres dan cawapres?

Kita juga mungkin jadi sangat tidak bijaksana bila, para capres dan cawapres pada pilpres kali ini diharapkan memiliki kualitas presentasi seperti Al Gore. Kualitas pencitraan diri yang luar biasa, menurut saya. Karena, biar bagaimanapun masing-masing kandidat memiliki latar belakang dan jam terbang, yang sudah pasti, tertinggal jauh dibandingkan Al Gore.

Tapi – kalau boleh berharap – mereka merupakan calon pemimpin bangsa yang sudah seharusnya memiliki keterampilan seperti itu, bukan? Lima tahun di depan, nasib bangsa dan negara ini ada di genggamannya. Dan sudah sangat pasti, mereka akan berbicara, berdiskusi, bernegoisasi, dan menunjukkan proposal perbaikan negara ini kepada pemimpin-pemimpin negara lain atau forum dunia. Sehingga sangat wajar sekali, kita menuntut para capres dan cawapres memiliki kemampuan pencitraan diri yang luar biasa.

Seperti sama-sama kita tahu, pada akhirnya Al Gore – dengan kemampuan presentasi dan pemilihan materi kampanyenya nan menakjubkan – tidak berhasil menduduki kursi presiden. Ia kalah atas Bush. Ia sempat memiliki peluang dengan kekisruhan penghitungan di Florida. Tapi, jiwa kenegarawanannya membimbingnya untuk mengalah. Demi persatuan dan kejayaan negara adidaya, ia memilih membiarkan Bush tampil sebagai Presiden Amerika Serikat. Pelajaran demokrasi yang luar biasa.

Berkat pelajaran pencitraan diri dan kepedulian terhadap nasib bumi, serta ekstra kurikuler tentang “tawakal” ala politisi dunia, saya tetap mengagumi semua apa-apa yang telah diperbuatnya. Ia memang pantas untuk senantiasa dirindu. Terlebih, bagi bangsa yang berharap memiliki pemimpin berkualitas.

Khusus untuk film “An Inconvenient Truth” yang dibintangi oleh Al Gore, menurut saya, memang sangat beralasan dan pantas meraih dua piala Oscar pada 2007 dan sejumlah penghargaan dari festival lain. “An Inconvenient Truth” merupakan contoh ideal film dokumenter yang menawarkan inspirasi dan perubahan bagi penontonnya. [NPCI.org - Foto: thebreakthrough.org]

Tangerang, 17 Juni 2009

No comments: