December 20, 2009

Sinisme Infotainment VS Luna Maya

Isu Manohara Odelia Pinot mengalahkan "pamor" berita politik? Bahkan, yang tergolong agenda politik nasional? Nyatanya, iya. Dan tanpa dianalisis dengan pisau analisa yang tajam pun, jawabannya akan selalu iya. Hukum pasar yang merupakan cerminan selera masyarakat memang selalu berpihak kepada bidang hiburan dibandingkan bidang lain. Terlebih lagi layar kaca? Bukankah berbagai riset memperlihatkan jumlah penonton tertinggi adalah kaum hawa. Dan mohon maaf - ini tidak ada kaitannya dengan sinisme gender - bukankah kaum perempuan lebih berselera terhadap sajian-sajian yang ringan dan menghibur? Jadi kenapa juga harus heran? Dan, bagaimana dampaknya jika durasi program infotainment mulai mendekati kapasitasnya yang diberikan program berita?

Tanpa disurvei dan dihitung secara quick count, saya akan memastikan program infotainment akan makin bersinar. "Makin berbeling-beling," kata presenter program infotainment Insert di TransTV, Cut Tari. Ibarat sebuah pasar swalayan, kabar seputar selebriti ditempatkan di rak mana pun akan selalu dicari orang. Terlebih lagi bila "produk" itu disediakan rak yang lebih strategis. Maka, hiburan akan semakin berkibar dan memukul bidang-bidang masalah lain. Apalagi politik yang bikin kepala pusing dan rambut rontok. Pilpres? Hare gene ngomongin pilpres?!

Maka sangat wajar bila demam Manohara mampu mengungguli popularitas SBY atau capres-capres lain. Jangan heran bila drama Manohara bisa mengalahkan kesakralan pilpres. Selain diunggulkan secara bidang masalah, hal itu ditunjang jatah durasi yang makin membengkak. Setiap stasiun televisi paling tidak menyediakan slot selama 1,5 jam per hari untuk program infotainment. Sedangkan program berita memiliki durasi rata-rata 2,5 jam per hari. Bisa dibayangkan bila kasus Manohara menguasai durasi di setiap program infotainment di setiap stasiun televisi? Betapa ia mendapat jatah durasi teramat besar, plus cuma-cuma alias gratis. Sedangkan para peserta pilpres tampil hanya beberapa menit saja di setiap program berita.

Ketika tengah "berjuang" untuk memakmurkan keluarga pada 1996-an, saya juga sempat menjadi penulis lepas di sebuah rumah produksi yang membuat sebuah program infotainment. Saat itu, program gosip seputar selebriti masih dua dan hanya ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi. Jadi masih belum seramai sekarang dan saat itu, sang "saudara tiri" memang masih bayi.

Saya tidak akan bercerita soal liku-liku keterlibatan dalam rumah produksi itu. Namun, saya hanya bertutur soal pelajaran berharga saat diminta mengemas setiap item dalam program itu. "Berita infotainment itu isinya gambar-gambar sampah. Jadi, kita bermain dengan narasi. Usahakan setiap sampah ini jadi berita," kata Redaktur Pelaksana di rumah produksi itu.

Maksudnya gambar-gambar sampah adalah gambar-gambar yang tidak terlalu penting, tidak mengikuti kaidah grammar of the shots, dan "astrada" alias asal terang gambar ada. Artinya, peristiwa dalam gambar itu pun bukanlah peristiwa hebat dan memenuhi syarat-syarat nilai berita. Dan agar sampah itu menjadi berita, maka gambar-gambar sampah itu harus ditempeli data terbaru dari orang yang terlihat di gambar. Prinsif kesesuaian antara narasi dan gambar memang tidak berlaku. Yang penting, penulis memiliki data untuk diceritakan. Entah data pribadi, cerita katanya-katanya, dugaan-dugaan, dan berbagai macam jurus "pelintiran". Pokoknya, cerita nomor satu dan gambar jadi pelengkap syarat sebagai produk televisi. Sorry, saya tidak menyebut kumpulan data itu sebagai fakta. Karena, fakta tidak pernah berurusan dengan isu, rumor, gosip, dugaan, dan segala pelintiran.

Untuk menutupi kelemahan kontinuitas atau kesinambungan sequence, maka video editor memaksimal segala macam efek pada alat penyuntingan gambar. Selain itu, cara membacakan narasi atau voice over yang "khas" - bermain-main dengan intonasi dan aksen pada kata-kata tertentu - dan ilustrasi musik juga menjadi jurus andalan. Ingat Fenny Rose saat mempresentasikan dan membacakan narasi program infotainment Silet. Belakangan, gaya centil dan sedikit nyinyir juga diperlihatkan para presenter program para selebriti itu.

So, sejak masa perkenalan saya dengan jagat infotainment pada 1996 hingga sekarang, ternyata sang "saudara tiri" telah berkembang dengan pesatnya. Program infotainment dan rumah produksinya bukan lagi dua. Tapi, sudah menjadi belasan. Bahkan, sejumlah stasiun televisi memiliki pasukan khusus untuk memproduksi program tersebut secara in-house. Atau, sedikitnya menjalin kerjasama dengan rumah produksi. Sehingga, posisinya sudah merupakan saudara tiri yang sangat disayang oleh sang "raksasa".

Meskipun demikian, secara content, mohon maaf tidak berubah. Dari segi getting gambar memang makin luar biasa. Para reporter dan kamerawan semakin ulet, nekat, dan nyaris seperti Rajawali. Tapi dari segi pengemasan data dengan narasi sebagai menu utama, sekadar menjejalkan data dan kecurigaan-kecurigaan yang cenderung fitnah ke atas gambar. Sehingga tidak jelas lagi, mana data dan mana prasangka? Maaf, ya... (syaiful HALIM, GADO-GADO Sang Jurnalis: Rundown WARTAWAn ECEK-ECEK, Gramata Publishing, 2009, slug 20)

No comments: