Lembaga Sensor Film Indonesia akhirnya benar-benar "menggunting" Balibo Five. Selasa lalu, film yang digagas Foreign Correspondents Club itu dinyatakan tidak bisa diputar di Blitz Megaplex beberapa jam sebelum jam tayang. Tak ada kejelasan alasan dari LSF perihal pelarangan film itu. Dukungan dari Departemen Luar Negeri, Mabes TNI, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan orang-orang di Senayan terhadap keputusan LSF tadi akan tetapi menunjukkan memang ada kekhawatiran yang luar biasa terhadap pemutaran Balibo Five meski tidak jelas, kenapa mereka harus khawatir.
Kemarin, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) karena itu memprotes keputusan LSF. AJI menganggap pelarangan itu bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi dan tidak menghormati hak masyarakat untuk tahu. Alasan bahwa Balibo Five akan menciderai hubungan Australia dan Indonesia seperti yang diungkapkan oleh Pak Menteri Pariwisata, Jero Wacik, oleh AJI dianggap berlebihan. AJI sebaliknya menduga, pelarangan Balibo Five bermuatan politis karena film itu mengungkap pembantaian lima jurnalis asing di Balibo, Timor Leste, 34 tahun silam.
Apa yang dimaksud sebagai peristiwa Balibo adalah tragedi yang terjadi pada 16 Oktober 1975 ketika situasi Timor Portugal (nama saat itu) berada dalam kondisi perang saudara. Balibo adalah nama kecamatan di Kabupaten Bobonaro.
Hari itu, dua faksi bersenjata Timor Portugal diberitakan terlibat dalam kontak senjata: UDT dan Apodeti melakukan serangan mortir besar-besaran untuk merebut kota kecamatan itu dari Fretilin. Diketahui di kemudian hati, lima wartawan asing yang meliput kejadian di Balibo itu ikut tewas. Mereka adalah Brian Peters dan Briton Malcolm Rennie yang bekerja untuk Channel Nine Australia; Greg Shackleton, Tony Stewart (Inggris), dan Gary Cunningham, juru kamera yang bekerja untuk Channel Seven. Mereka tewas dalam kondisi hangus terbakar di sebuah toko kelontong milik saudagar Cina.
Pemerintah Australia di bawah Perdana Menteri Gogh Whitlam waktu itu mengetahui, pasukan Indonesia memang tengah menyusup ke Timor Portugal. Mereka juga tahu dua wartawan Australia berada di Balibo tapi Canberra belum membuka cerita secara lengkap. Salah satu teka-teki dari cerita yang belum dibuka secara lengkap itu misalnya, kehadiran dua wartawan Australia bersama tiga rekannya di Balibo justru bertepatan dengan sikap Washington dan Canberra yang memberi lampu hijau kepada Jakarta untuk menginvasi Timor Portugal.
Terbunuhnya lima wartawan itulah yang belakangan membuat hubungan Indonesia-Australia panas-dingin. Pengadilan tinggi (koroner) negara bagian New South Wales dua tahun lalu misalnya, pernah menyimpulkan, dua wartawan Australia, dua wartawan Inggris dan satu juru kamera dari Selandia Baru itu telah dibunuh oleh pasukan Indonesia. Dikutip Sydney Morning Herald edisi 16 November 2007, Dorelle Pinch, deputi koroner pengadilan, menyebutkan, pembunuhan dilakukan agar rencana Jakarta menerjunkan pasukan di Timor Timur tidak diberitakan oleh kelima wartawan.
Jakarta menolak keras kesimpulan Pinch, tentu saja. Departemen Luar Negeri mengatakan kesimpulan tersebut sama sekali tidak mengubah sikap pemerintah Indonesia. Dikutip oleh BBC Kristiarto Legowo, Jubir Deplu mengatakan saat itu, pengadilan koroner negara bagian New South Wales mempunyai yurisdiksi yang sangat terbatas. Penolakan yang kurang lebih serupa, juga disampaikan oleh Menteri Pertahanan dan Panglima TNI.
Sejumlah Laporan
Hingga 1990-an banyak laporan jurnalistik yang mencoba melakukan investigasi atas kematian lima rekan mereka. Salah satunya ditulis oleh Jill Jolliffe dalam buku Cover Up, The Inside Story of the Balibo Five (2000). Buku itu antara lain mengungkapkan pelaku penembakan terhadap kelima wartawan adalah pasukan Kopassus (Kopasandha). Yunus Yosfiah yang disebut-sebut oleh buku itu, pernah mengaku memang bertugas di Balibo ketika lima wartawan itu sekarat tapi dia membantah telah membunuh mereka. Beberapa kesaksian menyebutkan kelima wartawan ditembak dengan telak dari jarak 10 meter.
Lalu ketika Timor Timur lepas dari Indonesia pada 1999, para saksi mata mulai banyak yang berbicara soal insiden Balibo. Mereka antara lain adalah Guilherme Gonzalves, Raja dari Apodeti, dan anaknya, Thomas; juga Paulino Gama. Mereka menceritakan keterlibatan pasukan Indonesia dalam peristiwa itu kepada Radio Nederland.
Dalam penyelidikan dan persidangan Glebe Coroner Court di Sydney 6 Februari 1997, seorang saksi kunci yang adalah orang Timor Timur menyatakan pasukan Indonesia telah menembak kelima wartawan tersebut. Dia juga mengaku melihat para pasukan lainnya menembaki rumah yang dihuni para wartawan selama dua hingga tiga menit. Saksi yang diberi kode “Glebe 1” itu mengaku melihat dua warga kulit putih dengan tangan mereka di atas kepala tapi tembakan terus dilakukan. Setelah dibunuh mayat kelima wartawan lalu dibakar di dalam rumah selama dua hari.
Setahun sebelumnya, sebuah penyelidikan yang dilakukan oleh PBB menyimpulkan bahwa para wartawan tersebut secara sengaja dibunuh oleh pasukan Indonesia. Penyelidikan PBB atas sejumlah saksi itu dibuat dalam laporan setebal 2.500 halaman. PBB antara lain merekomendasikan agar "perlu diadakan penyelidikan lanjut atas fakta (kebenaran) yang sulit dari peristiwa tersebut". Namun hingga lebih 10 tahun, penyelidikan PBB dan persidangan di pengadilan Australia tak menghasilkan keputusan apa pun karena beberapa orang Indonesia yang disebut-sebut terlibat dalam kasus itu tak pernah bisa dihadirkan dalam persidangan.
Sebelum pasukan Indonesia menyerbu Timor Timur 15 Desember 1975 dengan sandi Operasi Seroja, Jakarta memang menggelar operasi khusus. Operasi pertama dengan sandi Operasi Komodo digelar sejak awal Januari 1975 dengan melibatkan satuan tugas dari unsur tentara di bawah komando Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Operasi itu lalu dilanjutkan dengan Operasi Flamboyan hingga masuknya pasukan Indonesia ke Timor Timur. Selain untuk memantau perkembangan yang terjadi, target dari operasi penyusupan adalah menjalin kontak dengan para warga Timor Portugal yang bermaksud berintegrasi dengan Indonesia.
Karena bersifat tertutup, dalam penugasan itu seluruh pasukan tidak mengenakan seragam tentara resmi. Sebagai gantinya mereka mengenakan pakaian sipil agar tidak menarik perhatian: celana jins, kaus oblong dan sebagainya. Beberapa komandan lapangan ditugaskan untuk menyamar sebagai mahasiswa yang sedang kuliah kerja nyata. Senjata dan amunisi dimasukkan ke dalam karung yang dibubuhi dengan tulisan alat pertanian.
Tugas awal mereka adalah melatih para simpatisan pemuda Timor Portugal yang menghendaki wilayahnya menjadi bagian dari Indonesia. Saat satu regu unit operasi dari pasukan Indonesia berada di Balibo, lima wartawan itu juga berada di kota kecamatan itu.
Itu mirip dengan operasi yang sama yang dilakukan oleh pasukan Green Baret Amerika, sebelum tentara Amerika terlibat dalam perang Korea, menyerbu Vietnam, dan belakangan menginvasi Irak dan Afghanistan. Pasukan khusus itu datang terlebih dulu, menyusup sebagai penduduk sipil, melatih penduduk setempat dan mengondisikan sasaran untuk kedatangan tentara yang lebih masif.
Lalu sebelum Pinch menyampaikan kesimpulan di pengadilan tinggi New South Wales, pemerintah Australia dan Indonesia sebetulnya telah sepakat menyebutkan kelima wartawan tewas secara tak sengaja dan menyatakan kasus itu telah selesai. Namun Pinch mengaku menemukan fakta yang bertentangan soal kasus tersebut. Menurut Pinch, ada bukti-bukti bahwa Yunus Yosfiah, Christoforus da Silva, L.B. Moerdani dan Dading Kalbuadi terlibat dalam kematian lima wartawan tersebut.
Perintah pembunuhan diberikan oleh Moerdani selaku komandan intelijen kepada Dading Kalbuadi atasan Yunus dan Christoforus. Setelah Timor Timur masuk menjadi wilayah Indonesia, Moerdani dan Dading mendirikan PT Denok Hernandes Indonesia yang memonopoli pembelian dan ekspor kopi dari Timor Timur. Mereka dibantu oleh dua bersaudara, Robby dan Hendro Sumampouw yang ikut membiayai operasi militer pasukan Indonesia ke Timor Timur saat itu.
Lalu siapa pembunuh kelima wartawan itu? Film Balibo Five yang akan diputar Kamis malam ini di Teater Utan Kayu, Jakarta mencoba mencari jawaban atas teka-teki yang tertutup selama 34 tahun meski mungkin tidak akan memuaskan semua pihak. Satu hal yang pasti, Jakarta dan Canberra, mestinya bisa belajar untuk lebih serius dan jujur mengungkap apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Itu termasuk tentang kesepakatan yang terjadi antara kedua negara sehingga tentara Indonesia bisa diterjunkan ke Timor Timur sejak Desember 1975, dua bulan sebelum kelima wartawan nahas itu dibunuh.[Rusdi Mathari]
No comments:
Post a Comment