December 9, 2009

"Balibo" , Tragedi Jurnalis

"BALIBO" , TRAGEDI JURNALIS

Tigapuluhsatu tahun setelah pembantaian lima wartawan asing di Balibo, Timor Leste, puluhan laporan investigatif, buku dan laporan polisi PBB dan komisi parlemen Australia telah menghimpun bahan untuk membongkar kasus tsb. Kini, giliran keluarga korban memburu para pelaku 'Balibo' melalui peradilan. Pekan silam, menyusul tuntutan kerabat salah satu wartawan yang tewas, Brian Peters, pengadilan di Sidney, Australia, mendengar keterangan saksi-saksi baru. Lagi-lagi muncul nama beken seperti "Mayor Andreas", yang tidak lain adalah mantan Menteri Penerangan Letjen pur. Yunus Yosfiah.

Suatu hari, pertengahan Oktober 1975, sebuah satuan RPKAD memasuki Balibo, di ujung barat Timor Leste, waktu itu Timor-Portugis. Portugal baru setahun menyiapkan dekolonisasi jajahan-jajahannya. Di Jakarta, Timor-Portugis menjadi "ancaman komunis di pekarangan Indonesia" yang harus "dipasifikasi" ke dalam negara kesatuan. Menlu Adam Malik bersedia mengakui hak kemerdekaan Timor-Portugis, tapi kalangan militer memilih operasi klandestin. Di Canberra, PM Gough Whitlam gagal melobi Lisbon agar Timor tetap di bawah Portugal dengan harapan meraih minyak bumi di Celah Timor, lantas berharap Jakarta dapat menyelesaikan gejolak Timor. Para jenderal di Jakarta menafsirkannya sebagai "lampu hijau" Australia meski dubesnya di Jakarta, Richard Woolcott, tahu benar apa yang sebenarnya terjadi
berkat hubungan baiknya dengan Mayjen. Benny Moerdani.

Di tengah konspirasi dan ketidakpastian itu, para arsitek "TimTim" - Ali Moertopo, Yoga Sugama dan Benny Moerdani - cuek saja. Dan Canberra mengutamakan hubungan baik dengan Soeharto. Akibatnya, tidak hanya rakyat Timor terjepit, tapi pers bebas juga.

Ketiga arsitek BAKIN dan Opsus itu melanjutkan Operasi Flamboyan dari Atambua, Timor Barat (NTT), untuk menyulut perang saudara di Timor-Portugis. Komandannya, Kol. RPKAD Dading Kalbuadi, mengaku bermimpi dapat menguasai Timor Portugis dengan metode bujuk dan gertak semacam ulah Inggris menguasai Transjordania. "Seperti (cara) Lawrence of Arabia itu, lho, mas," tutur Dading (Radio Nederland 1995) yang membawahi tiga satuan RPKAD, Tim Umi, Tim Tuti dan Tim Susi. "Mereka masuk Timor (Timur), menyamar sebagai turis, dengan nama-nama berbau Portugis dan membawa kamera dan peta," ungkap Jose Martins (1992), mantan pembantu Ali Moertopo.

Mendengar kehadiran lima wartawan televisi asing, Komandan Tim Susi, Mayor Andreas, bertopi turis, berrambut gondrong dan dibantu kelompok Apodeti yang pro-Jakarta, menuju Balibo. Beberapa jam sebelumnya, menurut sadapan intelejens Australia, Benny Moerdani berpesan kepada Dading Kalbuadi "We can't have any witness". Dading menjawab "Don't worry!" (Jill Jollife, Cover Up, The Inside Story of the Balibo Five, 2001, h. 312)

Apa yang terjadi kemudian, kita tahu. Pada 16 Oktober 1975 kelima wartawan asing itu - Gary Cunningham, Gregory Shackleton, Tony Stewart, Brian Peters and Malcolm Renie - mati konyol. Mereka bukan korban "di tengah baku tembak" (cross fire) antara tentara Indonesia dan gerilya Fretilin seperti diklaim Jakarta. Jakarta menyiarkan gambar-gambar mereka setelah jasad mereka diberi baju seragam Fretilin (untuk memberi pembenaran pada pembunuhan kepada wartawan tak bersenjata), kemudian dibakar di sebuah toko Cina.

Banyak laporan jurnalistik investigatif telah menunjukkan bahwa mereka ditembak dengan telak (cold blood). Empat mati ditembak, satu ditusuk. Mantan Konsul Australia James Dunn, mantan Presiden Fretilin Xavier do Amaral, pemimpin Apodeti Raja Guilherme Gonzalves, anaknya, Thomas, dan mantan Komandan Fretilin Paulino "Mouk Mouruk" Gama menceritakannya (Radio Nederland, media Australia, 1990-1995).

Tapi baru sejak Timor Leste merdeka, saksi mata mulai bicara. Jill Jollife dalam bukunya Cover Up tsb mengungkap secara rinci latar seputar peristiwa keji itu. Menurut J. Martins, di antara satuan RPKAD, ada "beberapa yang kejam, termasuk Mayor Andreas dan Sinaga". Jill Jolliffe memastikan, "Mayor Andreas" adalah Kapten RPKAD Yunus Yosfiah dan sumber lain menyebut satuan Susi menembak dari jarak 10 meter. Tahun 1999 Yunus membantah, dia mengaku tak pernah bertemu wartawan, tapi membenarkan, satuannya pada Oktober 1975 berada di Balibo selama 10 hari. Di kota sekecil Cimahi selama itu tidak mendengar insiden lima warga asing yang menyandang kamera?

Pekan silam, Pengadilan Glebe Coroner di Sidney tidak menambahkan detil baru yang penting. Sejumlah saksi anonim, Glebe Two, Glebe Four dan Glebe Five kembali menegaskan bahwa Yosfiah sendiri tidak pernah melepas tembakan. Sebagai komandan dia memberi perintah "Tembak saja, Tembak saja!" "Bohong, bohong!" bantah Yosfiah dari Jakarta pekan lalu. Seorang saksi mata baru mengatakan, tentara Indonesia mengejar kelima wartawan tsb. Rakyat memperingatkan mereka agar lari, tapi mereka menolak karena yakin wartawan tak akan dilukai. Mereka hanya berseru "Australia, Australia!". Seorang saksi memperingatkan anggota Tim Susi, wartawan tak boleh ditembak.

Kelima wartawan na'as itu "berdosa" karena ingin meliput operasi militer, sebuah hot item, agresi yang melanggar Piagam PBB - juga melanggar mukadimah konstitusi Indonesia sendiri. Mereka menjadi korban dari sebuah halaman pengantar (prelude) menuju perang besar nan kotor.

Kurang dari dua bulan kemudian, lengkaplah agresi tsb dengan lampu hijau Presiden AS Gerard Ford dan invasi besar 7 Des. 1975. Selebihnya kita tahu: TimTim jadi jajahan, ditelan tragedi kemanusiaan, kita menjadi penjajah, asas politik luar negeri Non Blok menjadi hipokrisi, dan solidaritas Asia-Afrika (Bandung 1955) pudar.

Pemerintahan PM Gough Whitlam pada Oktober 1975 tahu benar bahwa tentara Indonesia tengah menyusup. Mereka tahu ada operasi Flamboyan dan kelima wartawannya ada di Balibo, tapi Canberra hingga kini berkelit. Komisi Parlemen Sherman (1996) hanya meragukan klaim Jakarta tentang "baku tembak". Akhirnya, tim polisi PBB Civpol yang mengusut kasus Balibo kandas karena Jakarta menolak mengirim para saksi dan tersangkanya ke Dili.

Sisi Indonesia dari Operasi Flamboyan tetap gelap. Banyak nama beken selain Yunus Yosfiah, terlibat operasi, seperti Krisbiantoro, Bibit Waluyo (Cagub DKI) dan Soetiyoso (Gub. DKI). Pers Indonesia diam, ada yang menjadi bagian propaganda militer (worse than embedded) dan sebagian besar dipasung Orde Baru. Belakangan, ketika wartawan film media Jepang, Agus Muliawan, dan sejumlah wartawan lokal dan asing tewas di masa bumi hangus Tim-Tim Sept. 1999, pers Jakarta juga tak banyak bersuara. Di Indonesia, kebanyakan wartawan jadi korban di
masa damai. Baru ketika wartawan RCTI Ersa Siregar tewas semasa tugas di Aceh, Des. 2003, pers ramai, tapi hasil penyelidikan TNI yang dijanjikan Jen. Ryamirzard Ryacudu tak pernah terdengar.

Kasus Balibo 1975 adalah tragedi wartawan perang di tengah Perang Dingin. Yunus Yosfiah pernah mengaku "ABRI mungkin menakutkan, tapi saya seorang demokrat." (Kompas 27 Juni 1999). Tapi 'Balibo' juga kasus pembunuhan wartawan terbesar sejauh ini.

Bagi pers Indonesia pasca-SIUPP, apalagi di Hari Pers 9 Februari ini, 'Balibo' mustinya pedih, sebuah ironi, karena melibatkan seorang mantan Menpen di bawah Presiden Gus Dur yang pernah berjasa mencabut SIUPP. "Balibo" pantas menjadi simbol masa kelam pers dunia dan dunia pers di masa Orde Baru.

Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi Timor Leste CAVR (2006) dalam laporannya kepada PBB menyarankan agar menyelidiki kembali sejumlah kejahatan HAM, di Timor Leste, termasuk "Balibo". Menarik pula, Komisi-bersama Indonesia dan Timor Leste untuk Kebenaran dan Persahabatan CTF hanya mencakup seputar bumi hangus 1999. CTF melanggengkan impunitas dengan menjanjikan amnesti bagi mereka yang mengaku terlibat pelanggaran HAM, tapi mengabaikan kasus kasus historis sebelumnya. Jadi, kedua negara masih harus menghadapi kasus Balibo - idem dito kasus pembantaian Kraras 1983 (Letnan Kopasandha Prabowo) dan yang lain.

Walhasil, bagi banyak pihak, kisah Timor masih panjang. Hantu Balibo dan sejenisnya masih akan terus membayang-bayangi mereka yang bertanggungjawab.[Aboeprijadi S]

No comments: