Selama tiga bulan terakhir ini saya menjadi guru workshop penulisan di sebuah yayasan di Bandung. Workshop tersebut berlangsung tiap Sabtu, akan berakhir pada Sabtu, 20 November 2009 nanti, ditandai dengan acara nonton bareng film tentang penulis---kami masih menimbang apa akan nonton tentang Beatrix Potter atau Harvey Pekar. Sekitar dua bulan sebelumnya saya juga menjadi instruktur kelas serupa di visikata.com. Namun karena gagal berkomitmen, saya mengundurkan diri dua minggu sebelum program tersebut akan selesai.
Sebenarnya saya enggan menjadi guru, sebab kemampuan pedagogi saya boleh dibilang nol. Yang lebih membuat saya suka ialah pengalaman berbagi dengan para peserta. Momen itu sangat berharga, dari sanalah saya bisa menyerap ilmu dan pengetahuan milik orang lain. Lepas dari kekurangan sebagai instruktur menulis, entah kenapa saya bersemangat sekali ingin merenung setelah workshop itu selesai. Ada apa dengan kemampuan menulis? Ini bisa jadi sangat terkait dengan kebiasaan baca juga.
Agak mengherankan ada peserta yang ikut pada pertemuan pertama, tapi setelah itu tak pernah muncul kembali. Atau sebaliknya, awalnya tampak bersemangat, menunggu-nunggu, bahkan janji akan terus hadir selama masa workshop, tapi begitu dimulai tak sekali pun batang hidupnya tampak. Ada juga yang persis tahu workshop sedang berlangsung, tapi ternyata dia memilih aktivitas lain. Kejadian ini membuktikan ternyata tak semua niat kuat itu akhirnya terlaksana. Ini mirip dengan sesal sebagian orang yang gagal membaca tumpukan buku, meskipun dia semangat berniat menghabisinya, tapi waktunya ternyata habis buat kerja dan merokok, sementara sampul bukunya terus tertutup rapat. Bisa jadi kemampuan retorika saya buruk dan ilmu saya cetek, jadi gagal menjadi guru menulis dengan pesona seperti magnet dan mampu memikat banyak peserta. Tapi bagaimana lagi, justru dengan berbagi ilmu itulah saya pun mendapat pengetahuan baru.
Kejutan lain ialah ternyata ada peserta yang benar-benar mengaku tidak bisa menulis apa-apa (blank), bingung cara memulainya, meskipun dia merasa ada sesuatu di dalam kepalanya yang ingin ia tumpahkan. Seseorang mengaku baru bisa menulis bila ada pendapat yang merangsang pengetahuannya, jadi tulisannya merupakan respons dan sumber polemik. Ada lagi peserta lain yang tampak mampu menulis, punya banyak pemikiran dan pendapat, berpengalaman membaca banyak literatur, namun merasa tidak punya waktu untuk menulis, dan Tuhan tampak belum menakdirkannya untuk menulis. Dia percaya sebagian penulis memang sengaja diberi waktu khusus untuk menulis, seperti Buya Hamka yang baru bisa menulis tafsir Al Quran ketika di penjara. Teman saya ini mengaku kehabisan waktu menulis karena kegiatannya tersita untuk mengurus warung. Dia agak yakin bahwa sebagian karya tulis itu seolah-olah lahir dari keadaan "terpaksa" kalau bukan memang sudah dirancang seperti itu. Dugaan ini benar. Sejumlah buku atau karya tulis tampaknya tidak lahir dari tangan, tetapi dari mulut pengarangnya. Contoh terkemuka dari "menulis" model ini ialah ribuan puisi Jalaluddin Rumi, yang konon lahir begitu saja dari ucapan beliau ketika dalam keadaan ekstase spiritual. Para muridnya yang mendengar itu langsung "mengikat puisi itu" dengan mencatatnya. Di Bandung, keprolifikan Jalaluddin Rakhmat salah satunya berkat rutinitas ceramah mingguan di masjid samping rumahnya. Koleganya---kalau bukan putranya sendiri---lantas mentranskripsi sekaligus mengedit hasil ceramah dan tanya jawab itu menjadi sejumlah buku dengan tema tertentu. The Autobiography of Malcolm X awalnya merupakan penuturan Malcolm X kepada penulis Alex Haley, dan akhirnya menjadi buku monumental. Jelaslah bahwa buku tidak mesti lahir dari tulisan atau ketikan, ia juga bisa lahir dari rekaman dan ucapan.
Belajar dari pengalaman, saya cukup percaya bahwa menulis berawal dari kebiasaan yang diteguhkan lewat disiplin. Kebiasaan bisa jadi bermula dari keberanian. Saya juga yakin bahwa menulis merupakan keahlian (kemampuan) yang bisa dipelajari. "Kamu hanya butuh alat, bukan aturan," demikian tegas Roy Peter Clark dalam bukunya Writing Tools. Alat menulis ialah bahasa dan seluruh unsurnya, alat untuk menyampaikan pesan dan luapan pesan sepenuh perasaan dan tepat seperti keinginan kita. Saya berpegang bahwa awal menulis bisa dipicu dengan adagium KEEP YOUR HAND MOVING dari Natalie Goldberg. Meski Alfathri Adlin, seorang teman saya, bilang yang lebih mendasar ialah KEEP YOUR MIND THINKING. Itu benar. Menulis maupun membaca merupakan keterampilan yang harus dipelajari manusia. Ia bukan bawaan orok. Dulu kita semua buta huruf dan buta menulis. Baru setelah belajar a-b-c, kita jadi bisa menyampaikan pesan lewat pernyataan.
Jadi lebih dari sekadar bisa menulis dengan baik, orang ingin mewujudkan isi kepala jadi tulisan persis sesuai keinginannya. Mungkin itu sebabnya sebagian mahasiswa heran kenapa dia pernah bisa menulis paper atau skripsi, tapi bingung dengan isinya, atau tulisan itu betul-betul buruk sampai malu bila harus dibaca kembali. Ini persis kata Joe Elliot, vokalis Def Leppard, yang pernah berseloroh begini: "Saya harus mabuk dulu kalau mau mendengarkan album pertama kami." Orang bisa geleng-geleng kenapa dahulu dia bisa menulis secara ajaib---baik bagus ataupun buruk. Penulis hanya perlu mengakui bahwa itu memang karyanya. Setelah itu lupakan atau lanjutkan. Kehidupan jalan terus, pikiran lain mendesak, emosi perlu diluapkan.
Selama workshop, saya menyadari bahwa mayoritas peserta sebenarnya sudah punya kebiasaan dan kemampuan menulis yang bagus, berani berekspresi dan bereksperimen, punya kebiasaan menulis yang hebat, bahkan sebagian dari mereka sudah berprestasi, misalnya memenangi sayembara penulisan. Sebagian orang punya blog yang rutin dia isi dan ternyata jadi favorit banyak orang. Bila dia menulis, tanggapan orang bersahut-sahutan. Peserta lain jadi redaktur buletin internal yayasan. Saya pikir itu tanda bahwa mereka telah jadi penulis. Di sisi lain ada juga teman yang masih ragu untuk berani mengirimkan tulisan ke media massa semata-mata dia merasa pemikirannya bertentangan dengan arus utama saat itu, meskipun argumennya kuat dan jelas. Fenomena ini muncul berbagai kesempatan workshop penulisan yang pernah saya hadiri. Jadi apa kekurangan mereka? Yang paling utama ialah mereka buta akan aturan umum (standar) menulis yang berlaku di media massa atau digunakan oleh penerbit yang bagus. Ini lebih dari sekadar menguasai EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dengan baik, melainkan menulis secara efektif, hemat, fokus, tegas, langsung pada sasaran. Menguasai EYD tentu bisa membuat tulisan kita rapi, tapi belum menjamin tulisan kita "bernyawa" dan punya "suara" sendiri, yang kuat, mampu mempesona pembaca dari awal sampai akhir.
Ini persis kriteria Hetih Rusli terhadap tokoh cerita yang kuat. "Yang terpenting ialah meniupkan nyawa ke dalam diri si tokoh. Tokoh tersebut harus hidup, bergerak, dan bernapas pada saat kita membacanya. Si tokoh harus hidup dalam bentuk tiga dimensi di benak pembaca, bukan cuma tertulis di atas kertas." Hal serupa berlaku pada tulisan nonfiksi. Feature profil orang dan biografi hebat pasti punya tokoh yang mengesankan.
Wajar kalau begitu banyak orang mampu menulis namun dia heran sendiri kenapa tulisannya diabaikan orang lain atau ditolak media massa. Perhatikan blog, zine, atau media tertentu lain. Mereka suka menulis suka-suka, sehendak hati, tak peduli apa orang lain kesulitan dengan cara berbahasanya. Ini membuktikan sebenarnya menulis sangat personal, khas, sesuai maksud masing-masing---sementara industri, akal sehat, kesepakatan umum, dan keinginan menyetarakan cara berpikir memunculkan standardisasi. Sejumlah orang mampu menulis di luar standar dan ternyata baik-baik saja. Saya pernah bertemu mahasiswa yang menerbitkan zine tapi buta EYD. Bagi dia yang penting ekspresinya terlampiaskan dan pikirannya tersampaikan.
Itu sebabnya saya berpendapat bahwa persoalan terbesar menulis ada pada proses editing (penyuntingan). Saat itu penulis harus berjarak dari karyanya dan tulisan mulai hendak menyapa pembaca luas. Jernihkah maksudnya? Mau apa dia dengan tulisannya? Bisakah tulisan itu dibaca? Bagaimana bahasanya? Kepaduan paragrafnya? Apa persis sesuai keinginan penulis? Adakah emosi mengalir di sana? Ketika diedit, tulisan dinegosiasikan. Saya pernah menghabiskan empat kali pertemuan hanya untuk membahas editing satu karya sebelum penulisnya benar-benar siap mengirimnya ke media massa. Apalagi saya ternyata bukan tipe editor killer yang tega main babat kalimat kabur tanpa diskusi lebih dulu. Di fase inilah berkah lain muncul, yaitu saya jadi membuka-buka rujukan baru. Mizan mengirimi Quantum Writer (Bobbi DePorter), dari Herry Mardian saya memfoto kopi Writing Tools (Roy Peter Clark) dan On Writing Well (William Zinsser), Ignatius Haryanto mengirimi The Quotable Book Lover (Ben Jacobs & Helena Hjalmarsson, eds.) dan Menuju Jurnalisme Berkualitas. Semua merupakan pustaka berharga.
Persoalan editing juga yang saya kemukakan kepada bang Mula Harahap waktu dia menelepon saya membicarakan sekolah tulis-menulis yang sedang dia rancang di kepalanya. "Iseng-iseng aku search tentang sekolah menulis, ternyata muncul nama kau," katanya. Wah, senangnya ditelepon senior ramah seperti dia. Sudah lama kami tak kontak.
Setelah workshop penulisan selesai, saya harus segera meneruskan order yang terbengkalai karena berhari-hari berkutat menyiapkan materi. Rekan kerja saya sampai penasaran karena saya membiarkan respons editannya. "Apa pembicaraan kita mengenai teks itu sudah berhenti? Saya harap tak ada salah paham di antara kita." Ah, tidak, jawab saya. Saya hanya sebentar teralihkan ke subjek yang juga penting untuk dikaji dengan sungguh-sungguh.
Entah kapan dan di mana lagi saya punya kesempatan berbagi ilmu penulisan.[Anwar Holid]
Jadi lebih dari sekadar bisa menulis dengan baik, orang ingin mewujudkan isi kepala jadi tulisan persis sesuai keinginannya. Mungkin itu sebabnya sebagian mahasiswa heran kenapa dia pernah bisa menulis paper atau skripsi, tapi bingung dengan isinya, atau tulisan itu betul-betul buruk sampai malu bila harus dibaca kembali. Ini persis kata Joe Elliot, vokalis Def Leppard, yang pernah berseloroh begini: "Saya harus mabuk dulu kalau mau mendengarkan album pertama kami." Orang bisa geleng-geleng kenapa dahulu dia bisa menulis secara ajaib---baik bagus ataupun buruk. Penulis hanya perlu mengakui bahwa itu memang karyanya. Setelah itu lupakan atau lanjutkan. Kehidupan jalan terus, pikiran lain mendesak, emosi perlu diluapkan.
Selama workshop, saya menyadari bahwa mayoritas peserta sebenarnya sudah punya kebiasaan dan kemampuan menulis yang bagus, berani berekspresi dan bereksperimen, punya kebiasaan menulis yang hebat, bahkan sebagian dari mereka sudah berprestasi, misalnya memenangi sayembara penulisan. Sebagian orang punya blog yang rutin dia isi dan ternyata jadi favorit banyak orang. Bila dia menulis, tanggapan orang bersahut-sahutan. Peserta lain jadi redaktur buletin internal yayasan. Saya pikir itu tanda bahwa mereka telah jadi penulis. Di sisi lain ada juga teman yang masih ragu untuk berani mengirimkan tulisan ke media massa semata-mata dia merasa pemikirannya bertentangan dengan arus utama saat itu, meskipun argumennya kuat dan jelas. Fenomena ini muncul berbagai kesempatan workshop penulisan yang pernah saya hadiri. Jadi apa kekurangan mereka? Yang paling utama ialah mereka buta akan aturan umum (standar) menulis yang berlaku di media massa atau digunakan oleh penerbit yang bagus. Ini lebih dari sekadar menguasai EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dengan baik, melainkan menulis secara efektif, hemat, fokus, tegas, langsung pada sasaran. Menguasai EYD tentu bisa membuat tulisan kita rapi, tapi belum menjamin tulisan kita "bernyawa" dan punya "suara" sendiri, yang kuat, mampu mempesona pembaca dari awal sampai akhir.
Ini persis kriteria Hetih Rusli terhadap tokoh cerita yang kuat. "Yang terpenting ialah meniupkan nyawa ke dalam diri si tokoh. Tokoh tersebut harus hidup, bergerak, dan bernapas pada saat kita membacanya. Si tokoh harus hidup dalam bentuk tiga dimensi di benak pembaca, bukan cuma tertulis di atas kertas." Hal serupa berlaku pada tulisan nonfiksi. Feature profil orang dan biografi hebat pasti punya tokoh yang mengesankan.
Wajar kalau begitu banyak orang mampu menulis namun dia heran sendiri kenapa tulisannya diabaikan orang lain atau ditolak media massa. Perhatikan blog, zine, atau media tertentu lain. Mereka suka menulis suka-suka, sehendak hati, tak peduli apa orang lain kesulitan dengan cara berbahasanya. Ini membuktikan sebenarnya menulis sangat personal, khas, sesuai maksud masing-masing---sementara industri, akal sehat, kesepakatan umum, dan keinginan menyetarakan cara berpikir memunculkan standardisasi. Sejumlah orang mampu menulis di luar standar dan ternyata baik-baik saja. Saya pernah bertemu mahasiswa yang menerbitkan zine tapi buta EYD. Bagi dia yang penting ekspresinya terlampiaskan dan pikirannya tersampaikan.
Itu sebabnya saya berpendapat bahwa persoalan terbesar menulis ada pada proses editing (penyuntingan). Saat itu penulis harus berjarak dari karyanya dan tulisan mulai hendak menyapa pembaca luas. Jernihkah maksudnya? Mau apa dia dengan tulisannya? Bisakah tulisan itu dibaca? Bagaimana bahasanya? Kepaduan paragrafnya? Apa persis sesuai keinginan penulis? Adakah emosi mengalir di sana? Ketika diedit, tulisan dinegosiasikan. Saya pernah menghabiskan empat kali pertemuan hanya untuk membahas editing satu karya sebelum penulisnya benar-benar siap mengirimnya ke media massa. Apalagi saya ternyata bukan tipe editor killer yang tega main babat kalimat kabur tanpa diskusi lebih dulu. Di fase inilah berkah lain muncul, yaitu saya jadi membuka-buka rujukan baru. Mizan mengirimi Quantum Writer (Bobbi DePorter), dari Herry Mardian saya memfoto kopi Writing Tools (Roy Peter Clark) dan On Writing Well (William Zinsser), Ignatius Haryanto mengirimi The Quotable Book Lover (Ben Jacobs & Helena Hjalmarsson, eds.) dan Menuju Jurnalisme Berkualitas. Semua merupakan pustaka berharga.
Persoalan editing juga yang saya kemukakan kepada bang Mula Harahap waktu dia menelepon saya membicarakan sekolah tulis-menulis yang sedang dia rancang di kepalanya. "Iseng-iseng aku search tentang sekolah menulis, ternyata muncul nama kau," katanya. Wah, senangnya ditelepon senior ramah seperti dia. Sudah lama kami tak kontak.
Setelah workshop penulisan selesai, saya harus segera meneruskan order yang terbengkalai karena berhari-hari berkutat menyiapkan materi. Rekan kerja saya sampai penasaran karena saya membiarkan respons editannya. "Apa pembicaraan kita mengenai teks itu sudah berhenti? Saya harap tak ada salah paham di antara kita." Ah, tidak, jawab saya. Saya hanya sebentar teralihkan ke subjek yang juga penting untuk dikaji dengan sungguh-sungguh.
Entah kapan dan di mana lagi saya punya kesempatan berbagi ilmu penulisan.[Anwar Holid]
No comments:
Post a Comment