Sunday, September 19, 2004
Waduh! Kata Pak Quraish Shihab sebagai seorang muslim yang baik seharusnya tidak golput euy, karena di antara dua pilihan--walopun sama-sama jelek--pasti ada yang lebih sedikit jeleknya. Sayah jadi sedikit bimbang, padahal tadinya udah niat mo golput.
Gue? Iya, gue yang menghabiskan bermenit-menit (berjam-jam?) argumen dengan sali dan Wildan menjelaskan kenapa menurut gue kita harus milih, gue yang bikin iklan dan film tentang Pemilu, gue yang menganggap ide Pemilu masih lebih baik dari--let say--revolusi, mau golput?
Masalahnya gini. Gue menganggap Mega dan SBY tidak layak untuk jadi Presiden. Seperti gue bilang ke Hamdan, dua-duanya sama-sama jelek, cuma jeleknya beda. Ah ya, itu nurut gue aja sih. But the point is, tidak memilih adalah statemen gue bahwa dua-duanya gak layak pilih. Walopun statemen yang gak diwaro, mungkin :(
Tapi saya nonton ScreenDocs kemaren, yang muter film-film dokumenter tentang Pemilu. Ada 4 film, sebenarnya semua pernah diputer di MetroTV tapi saya gak nonton empat-empatnya dan baru nonton kemarin.
Saat Menebar Mimpi. Tentang perjalanan kampanye kandidat DPD Jakarta Bambang Warih Kusuma. Yang bikin reporter/produser(?) Buser. Kalo ngikutin perjalanannya Pak Bambang ini, menarik sekaligus miris ngeliat dia keluar-masuk pemukiman kumuh mencoba meraih orang-orang yang gak tau apa itu DPD, mencoba sok akrab tapi walau gimanapun tetap berjarak.
Politik Teungku. Tentang Pemilu di Nangroe Aceh Darussalam di mana orang-orang takut mencalonkan diri karena--simply--takut jadi sasaran GAM yang katanya pingin mengacaukan Pemilu. Ulama Dayah/Teungku (pemuka agama) apalagi, karena masih ada anggapan bahwa politik itu "kotor". Padahal menurut Teungku Boy (panggilan filmmaker-nya untuk Teungku Baihaqi, tokoh utama film ini), kan harus ada orang yang "bener" yang nyalonin diri.
Acang, Obeth dan Pemilu. Tentang Pemilu di Ambon related dengan konflik separatis di sana. Jujur nih, gue terkantuk-kantuk berat nonton film ini sehingga cuma ngeh awal sama akhirnya doang (Bukan masalah filmnya sih, guenya aja cape kurang tidur, gak ada temen lagi. Hamdan baru dateng pas film terakhir.).
Sing Penting Nyoblos. Wah, ni film lucu banget. Tentang tiga orang ibu-ibu buruh Pasar Bringharjo Jogja dan pandangan mereka terhadap Pemilu. Dari awal emang pingin banget nonton film ini. Pingin liat sisi lain, target audiens film gue.
Gue baca di koran minggu-minggu ini statemennya Irma Hutabarat, "perempuan pilih perempuan" (ok, mungkin gak sesederhana itu atau wartawannya salah ngutip atau gimana, but that's the point). Sialan! Itu kan judul skrip gue! Walopun akhirnya judulnya diganti sama Pattiro (the NGO we made the movie for).
Eh, gue loncat ya. Jadi ceritanya bulan Januari kemaren gue sama anak-anak GTV bikin film pendidikan untuk pemilih perempuan. Sebenarnya dari beberapa nara sumber kita waktu itu, mereka malah gak setuju sama "perempuan milih perempuan" itu. Pilih yang berkualitas, bukan perempuan atau laki-lakinya. Tapi dasar pemikiran gue waktu itu adalah keterwakilan perempuan sangat rendah. Jadi milih calon berkualitas adalah satu kebaikan, milih calon perempuan adalah satu kebaikan yang lain. Dan 5 April kemarin gue pilih empat-empatnya perempuan kok, walopun gak ngaruh ternyata karena katanya sih calon terpilih yang menuhin BPP (artinya calon yang beneran kepilih langsung, bukan karena urutan partai) cuma Hidayat Nur Wahid.
Kalo liat Sing Penting Nyoblos itu sih mudah-mudahan film gue lumayan kena. Ada poin gak usah milih sama dengan suami, misalnya. Gue sih (with the script) gak emphasize untuk memilih, tapi nara sumbernya yang mengajak begitu--soalnya mereka caleg sih ;P
Dari empat film itu sebenarnya gue dapet benang merah bahwa Pemilu tuh gak gitu-gitu amat. Tadinya gue mo nanya ke filmmaker-nya, "Apakah kalian emang mulai dengan prejudice itu?". Tapi ada orang lain yang nanya lebih saklek dari gue. Dari empat orang itu, yang pertama bilang Pemilu itu bullshit. Yang kedua bilang rada skeptis sama Pemilu tapi karena tiga bulan ngikutin Pak Bambang Warih jadi ikutan nyoblos. Yang bikin Acang... dan Sing Penting... bilang Pemilu ok-ok aja.
Jadi inget tulisannya Ekky Syachrudin yang ngebandingin Pemilu di Indonesia sama di Kanada. Nurut dia Pemilu di Kanada lebih substansial karena orang liat program, bukan rame-ramenya kayak di sini. Kayanya sih bener, tapi gue ngeliatnya Pemilu di Indonesia tuh bener-bener pesta rakyat. Entah karena doktrin 32 taun Orde Baru atau gimana, default-nya rakyat Indonesia tuh gak disuruh pun pasti nyoblos (bahkan kalo denger cerita tentang Pemilu '55 pun kayak gitu). Liat aja Pemilu 5 April kemaren ramenya kayak gimana.
Balik lagi ke "perempuan milih perempuan" itu, huh! Nyebelin banget! Beda konteks gitu antara Pemilu Legislatif sama Pemilu Presiden. Kalo legislatif kan kita milih banyak dari banyak. Masalah pewacanaan aja. Kalo presiden kan we suppose to choose the best (or in this case, the least worst). Hehe, kenapa gue merasa harus membela diri gini ya? Gak penting sebenarnya.
Jadi nyoblos gak ya besok?
Gue? Iya, gue yang menghabiskan bermenit-menit (berjam-jam?) argumen dengan sali dan Wildan menjelaskan kenapa menurut gue kita harus milih, gue yang bikin iklan dan film tentang Pemilu, gue yang menganggap ide Pemilu masih lebih baik dari--let say--revolusi, mau golput?
Masalahnya gini. Gue menganggap Mega dan SBY tidak layak untuk jadi Presiden. Seperti gue bilang ke Hamdan, dua-duanya sama-sama jelek, cuma jeleknya beda. Ah ya, itu nurut gue aja sih. But the point is, tidak memilih adalah statemen gue bahwa dua-duanya gak layak pilih. Walopun statemen yang gak diwaro, mungkin :(
Tapi saya nonton ScreenDocs kemaren, yang muter film-film dokumenter tentang Pemilu. Ada 4 film, sebenarnya semua pernah diputer di MetroTV tapi saya gak nonton empat-empatnya dan baru nonton kemarin.
Saat Menebar Mimpi. Tentang perjalanan kampanye kandidat DPD Jakarta Bambang Warih Kusuma. Yang bikin reporter/produser(?) Buser. Kalo ngikutin perjalanannya Pak Bambang ini, menarik sekaligus miris ngeliat dia keluar-masuk pemukiman kumuh mencoba meraih orang-orang yang gak tau apa itu DPD, mencoba sok akrab tapi walau gimanapun tetap berjarak.
Politik Teungku. Tentang Pemilu di Nangroe Aceh Darussalam di mana orang-orang takut mencalonkan diri karena--simply--takut jadi sasaran GAM yang katanya pingin mengacaukan Pemilu. Ulama Dayah/Teungku (pemuka agama) apalagi, karena masih ada anggapan bahwa politik itu "kotor". Padahal menurut Teungku Boy (panggilan filmmaker-nya untuk Teungku Baihaqi, tokoh utama film ini), kan harus ada orang yang "bener" yang nyalonin diri.
Acang, Obeth dan Pemilu. Tentang Pemilu di Ambon related dengan konflik separatis di sana. Jujur nih, gue terkantuk-kantuk berat nonton film ini sehingga cuma ngeh awal sama akhirnya doang (Bukan masalah filmnya sih, guenya aja cape kurang tidur, gak ada temen lagi. Hamdan baru dateng pas film terakhir.).
Sing Penting Nyoblos. Wah, ni film lucu banget. Tentang tiga orang ibu-ibu buruh Pasar Bringharjo Jogja dan pandangan mereka terhadap Pemilu. Dari awal emang pingin banget nonton film ini. Pingin liat sisi lain, target audiens film gue.
Gue baca di koran minggu-minggu ini statemennya Irma Hutabarat, "perempuan pilih perempuan" (ok, mungkin gak sesederhana itu atau wartawannya salah ngutip atau gimana, but that's the point). Sialan! Itu kan judul skrip gue! Walopun akhirnya judulnya diganti sama Pattiro (the NGO we made the movie for).
Eh, gue loncat ya. Jadi ceritanya bulan Januari kemaren gue sama anak-anak GTV bikin film pendidikan untuk pemilih perempuan. Sebenarnya dari beberapa nara sumber kita waktu itu, mereka malah gak setuju sama "perempuan milih perempuan" itu. Pilih yang berkualitas, bukan perempuan atau laki-lakinya. Tapi dasar pemikiran gue waktu itu adalah keterwakilan perempuan sangat rendah. Jadi milih calon berkualitas adalah satu kebaikan, milih calon perempuan adalah satu kebaikan yang lain. Dan 5 April kemarin gue pilih empat-empatnya perempuan kok, walopun gak ngaruh ternyata karena katanya sih calon terpilih yang menuhin BPP (artinya calon yang beneran kepilih langsung, bukan karena urutan partai) cuma Hidayat Nur Wahid.
Kalo liat Sing Penting Nyoblos itu sih mudah-mudahan film gue lumayan kena. Ada poin gak usah milih sama dengan suami, misalnya. Gue sih (with the script) gak emphasize untuk memilih, tapi nara sumbernya yang mengajak begitu--soalnya mereka caleg sih ;P
Dari empat film itu sebenarnya gue dapet benang merah bahwa Pemilu tuh gak gitu-gitu amat. Tadinya gue mo nanya ke filmmaker-nya, "Apakah kalian emang mulai dengan prejudice itu?". Tapi ada orang lain yang nanya lebih saklek dari gue. Dari empat orang itu, yang pertama bilang Pemilu itu bullshit. Yang kedua bilang rada skeptis sama Pemilu tapi karena tiga bulan ngikutin Pak Bambang Warih jadi ikutan nyoblos. Yang bikin Acang... dan Sing Penting... bilang Pemilu ok-ok aja.
Jadi inget tulisannya Ekky Syachrudin yang ngebandingin Pemilu di Indonesia sama di Kanada. Nurut dia Pemilu di Kanada lebih substansial karena orang liat program, bukan rame-ramenya kayak di sini. Kayanya sih bener, tapi gue ngeliatnya Pemilu di Indonesia tuh bener-bener pesta rakyat. Entah karena doktrin 32 taun Orde Baru atau gimana, default-nya rakyat Indonesia tuh gak disuruh pun pasti nyoblos (bahkan kalo denger cerita tentang Pemilu '55 pun kayak gitu). Liat aja Pemilu 5 April kemaren ramenya kayak gimana.
Balik lagi ke "perempuan milih perempuan" itu, huh! Nyebelin banget! Beda konteks gitu antara Pemilu Legislatif sama Pemilu Presiden. Kalo legislatif kan kita milih banyak dari banyak. Masalah pewacanaan aja. Kalo presiden kan we suppose to choose the best (or in this case, the least worst). Hehe, kenapa gue merasa harus membela diri gini ya? Gak penting sebenarnya.
Jadi nyoblos gak ya besok?
No comments:
Post a Comment