In-Docs I (Aceh) 1.Sejarah Negeri Yang Karam Ronny Chandra, Agus Salim- Indonesia- 2005- 18 min. 2. Ubat Ate Allah Allah Alex Sihar- Indonesia- 2005- 15 min. 3. Atjeh Lon Sayang Syaiful Halim- Indonesia- 2005- 25 min. Total Duration : 58minutes
ooOoo
JIFFEST Travelling at Bandung
Selasa, 9 Mei 2006 ITB Campus Center, Galeri Ipteks Jl. Ganesa 10 Bandung 13:00- 15:00 Le Grand Voyage/The Grand Journey (Ismael Ferroukhi- France/Maroko 2004/Drama) 15:00 -16:00 DISKUSI Pengenalan Script Writing pembicara Orlow Seunke 16:00 - 17:00 In-Docs I (Aceh) Sejarah Negeri yang Karam (Ronny Chandra, Agus Salim/Indonesia/2005/ 18 menit); Ubat Ate Ubat Sosah (Alex Sihar/Indonesia/2005/15 menit); Atjeh Lon Sayang (Syaiful Halim/Indonesia/ 2005/25 menit)
Rabu, 10 Mei 2006 Unpad Jatinangor, Aula PSBJ Jl. Raya Bandung Sumedang KM 21 Jatinangor 10:00 - 12:00 The Return/Vozvrashcheniye (Andrei Zvyagintsev - Russia/2004/Drama) 12:00 -12:30 ISTIRAHAT 12:30 - 13:30 In-Docs I (Aceh) Sejarah Negeri yang Karam (Ronny Chandra, Agus Salim/Indonesia/2005/ 18 menit); Ubat Ate Ubat Sosah (Alex Sihar/Indonesia/2005/15 menit); Atjeh Lon Sayang (Syaiful Halim/Indonesia/2005/25 menit)
The Indonesian Canadian Congress (ICC) is screening two films as part of the festivities of Asian Heritage Month. The films will be screened in co-operation with the Indonesian Embassy and the Ottawa Public Library.
The films are: Atjeh Lon Sayang (My Beloved Atjeh) A documentary
Biola Tak Berdawai (Stringless Violin) A feature film
There will be short question and answer periods following each film.
Indonesian refreshments will also be provided
Wednesday, May 24, 6:00 pm Auditorium, Ottawa Public Library, Main Branch 120 Metcalfe, Ottawa, ON Admission: FREE
Parking is free around the Library after 5:30 PM
The Synopsis of Films
Atjeh Lon Sayang (My Beloved Atjeh) The tsunami of late 2004 killed roughly 170.000 residents in Aceh only, and turned thousands of children into orphans. This film tells a few stories from the disaster; about the life of a victim, about activities in Islamic traditional education center, and about a few local artists offering “ubat-ate” (comforting songs and prayers) to the children. In this touching documentary, an Acehnese child shares his vision of his homeland. “When the first day I shot at Ule Lheu coast which years ago it was my playground, I was so devastated, angry, couldn’t believe and my tears were falling down when I held my camera. At the moment, I didn’t have the strength to take pictures.”
Biola Tak Berdaway ( The Stringless Violin) Renjani, a thirty-year-old woman, moves to the city of Jogyakarta to start a new life. She turns her inherited house to an orphanage exclusively for the care of multiple-handicapped babies who have been abandoned by their parents. Mbak Wid, an eccentric and psychic pediatrician helps her to run the orphanage. A common traumatic past binds the two women together. Renjani develops an attachment to eight-year old dewa, a mute boy borne with brain defects and autistic tendencies. She believes that Dewa feels the love that she has for him. She continuous to treat Dewa as a normal child, and is obsessed to find the correct therapy to cure him. The arrival of a twenty two-year old violinist named Bhisma changed the course of their lives. Bhisma’s music seems to hold the answer to Dewa’s future. However, situations became complicated when he finds himself to be in love with Renjani. She turns away from his love as her traumatic past continues to haunt her.
Bhisma writes a song entitled “The Stringlesss Violin” and dedicates it to Renjani and Dewa. His persistence finaly gave Renjani the courage to free herself from her past. But destiny dictates otherwise. Renjani’s past reaches full-circle and threatens to bring disaster.
You can view this news item at: http://www.indonesiacanada.org/news.php?i=19
Three Indonesian Documentaries Auditorium, Ottawa Public Library, 120 Metcalfe St. (www.asianheritagemonth.net) 6p.m. Free. Part of Asian Heritage Month in Ottawa. Three short documentaries from Indonesia will be screened this evening, starting with Ubat Até Allah Allah, Ubat Sösah Pëyasan Beuna about the power of traditional music as a form of spiritual therapy for traumatized children in Aceh, Indonesia (Dir. Alex Sihar. 2005. Acehnese with English subtitles). Next is Atjeh Lon Sayang (My Beloved Atjeh) featuring a few stories from some victims of the 2004 tsunami (Dir. Syaiful Halim. Acehnese with English subtitles). Last is Kara Anak Sebatang Pohon (Kara the Daughter of a Tree) set in the mountain slopes of East Java, musing on the media and anti-capitalism (Dir. Edwin).
Film Screening: 3 Indonesian documentaries Place: Auditorium, Ottawa Public Library, Main Branch, 120 Metcalfe Street Admission: Free Presented by: the Indonesian Canadian Congress
“Ubat Até Allah Allah, Ubat Sösah Pëyasan Beuna (Prayers For Allah Are The Medicine For The Troubled Heart, Comforting Songs Are The Medicine For Grieving Souls)”. This 15 minute 2005 film by Alex Sihar, in Bahasa Indonesia/Acehnese with English subtitles, documents the power of traditional music as a form of spiritual therapy for traumatized children in Aceh. It focuses on the journey of a wildly popular Acehnese musician, Rafly, and his group KanDe. The musicians visit every camp for Internally Displaced Persons along Aceh’s tsunami-stricken coast, and attempt to lift the spirits of Acehnese children. As Rafly sings, he raises the children’s hope for a better future. “Atjeh Lon Sayang (My Beloved Atjeh)”. This 25 minute 2005 film by Syaiful Halim, in Bahasa Indonesia/Acehnese with English subtitles, is about the tsunami of late 2004, which killed roughly 170,000 residents in Aceh, and turned thousands of children into orphans. This film tells a few stories from the disaster; about the life of a victim, about activities in Islamic traditional education center, and about a few local artists offering “ubat-ate” (comforting songs and prayers) to the children. In this touching documentary, an Acehnese child shares his vision of his homeland. “Kara Anak Sebatang Pohon (Kara The Daughter Of A Tree)”. This seven minute 2005 film by Edwin, the most prolific short filmmaker in Indonesia. Kara is Edwin's eighth film, set on the slopes of the mystical Mount Semeru of East Java, is about the struggle against capitalism and criticizes the growth of the media. “I saw an exploitation phenomenon in my country, especially from the media when the tsunami struck Indonesia. This film was selected for Cannes’ Directors’ Fortnight in 2005.
Tertawa Bersama Film Dokumenter (EDNA C PATTISINA)
Berkali-kali pemuda berkulit hitam dan berambut keriting itu mengubah posisi duduknya. Matanya berpindah-pindah mengikuti pembicaraan dua pria yang juga duduk di lantai kayu. Dadanya turun naik, kepalanya berkali-kali menggeleng. Rugi saya kalau begitu, keluhnya.
Puluhan orang yang hadir di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Selasa (13/12) siang terpingkal-pingkal. Bukan karena mereka menertawakan pemuda bernama Lukas yang tampak resah. Lukas, pemuda suku Marind, pinggiran kota Merauke, untuk pertama kali mencoba menjual udang hasil tangkapannya ke Jayapura.
Selama ini, ia merasa terjebak dengan pedagang lokal yang membeli udang dengan harga murah. Inilah kisah tentang kerja keras dan harapan yang terbentur kekecewaan dalam film dokumenter Lukas Moment.
Menit demi menit membawa penonton lebih dekat dengan Lukas dan hidup sehari-harinya. Empati muncul saat pemuda yang sudah mengeluarkan modal Rp 600.000 ini hanya mendapat Rp 150.000 dari penjualan udang.
Makin lama, orang semakin tersadar kalau kehidupan pemuda berkulit hitam dan berambut keriting itu serupa dengan kehidupan sehari-hari banyak orang di kota besar. Hidup yang penuh harapan dan kekecewaan. Penonton bisa menertawakan diri sendiri, lewat sosok pemuda yang hidup dengan latar budaya jauh berbeda dari penonton.
Ternyata anak SMA di Merauke sama aja dengan kita yang SMA di Jakarta. Kalau bete, mereka belanja juga, tapi belanjanya buat makan adat, komentar seorang murid SMA dalam kuesioner yang disebarkan sutradara Lukas Moment, Aryo Danusiri.
Aryo berusaha menyuguhkan kepada penonton, bagaimana perjuangan Lukas akan harga diri. Bagaimana orang Papua melihat entrepreneurship dan bekerja lewat berbagai drama keseharian, kata Aryo.
Bergaya akrab
Lukas Moment menjadi salah satu film dokumenter yang tampil dalam sesi all about Indonesia di Jakarta International Film Festival (Jiffest) 2005. Sebanyak 17 judul film berdurasi antara 15 sampai 108 menit disiapkan, namun tiga di antaranya tidak diputar, yaitu Passabe, Timor Loro Sae, dan Tales of Crocodilles. Dari respons penonton tampak film dokumenter tak lagi menjadi sesuatu yang serius, datar, membosankan, dan tak menghibur.
Film Jogja Needs A Hero misalnya, selama 25 menit menyapa penonton dengan gayanya yang akrab. Tampil dengan gambar-gambar cepat ala MTV, film arahan sutradara Fajar Nugroho ini malah kental muatan lokal.
Jogja Needs A Hero bercerita tentang dinamika yang terjadi dalam masyarakat Jogja saat prakiraan tentang terjadinya badai tropis sempat membuat sebagian masyarakat panik.
Penonton pun dibuat terpingkal-pingkal dengan kondisi ketika kepercayaan tradisional bertemu logika modern. Jogja Needs A Hero dengan jeli menyoroti cerita tentang sayur asem yang hilang dari pasar, hingga tempat-tempat mesum di daerah selatan yang sepi pelanggan.
Muatan-muatan lokal yang dikemas dengan cara bertutur dan editing yang modern membuka mata, kalau film dokumenter pun bisa tampil seksi dan bergaya.
Film-film tentang Aceh pascatsunami juga menarik perhatian dalam sesi ini. Kreativitas pembuat film seperti yang terlihat dalam Atjeh Lon Sayang, Uba Ate Allah Allah, Ubat Sosah Peyasan Beuna, dan Sejarah Negeri Yang Karam juga memberikan variasi dalam pengolahan tema yang sama.
Walau terkadang masih ada masalah-masalah teknis seperti sudut pengambilan gambar yang monoton, atau cerita yang kurang difokuskan, namun mereka menunjukkan film dokumenter tak kalah menghibur dibanding dengan film fiksi.
Tahun 2004 ini masyarakat Indonesia disibukkan oleh Pemilu, mulai dari Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden putaran pertama, sampai dengan Pemilu Presiden putaran kedua yang akan berlangsung pada tanggal 20 September mendatang. Berkaitan dengan Pemilu, screenDocs! bulan ini akan memutar film-film pendek dokumenter yang bercerita mengenai makna Pemilu 2004 untuk masyarakat Indonesia di Aceh, Ambon, Yogyakarta dan Jakarta.
Film-film yang diputar merupakan hasil program Beasiswa Film Dokumenter Pemilu Indonesia 2004 yang diselenggarakan oleh Internews Indonesia bekerja sama dengan In-Docs, yang didanai oleh United States Agency for International Development (USAID) dan The Communication Assistance Foundation – Stichting Communicatie Ontwikkelingssamenwerking (CAF/SCO).
Diskusi | 14:45 WIB
Pada Pemilu 2004 ini pada kalangan media (radio, televisi, koran, majalah, dan lain-lain) muncul berbagai diskursus seputar Pemilu, mulai dari evaluasi terhadap teknis Pemilu, pelaksanaan Pemilu di daerah konflik, politik uang, dan sebagainya. Diskursus tersebut mewarnai hampir seluruh halaman dan jam siaran di media massa. Sesungguhnya, terdapat pula diskursus lain seputar Pemilu yang layak pula untuk kita perhatikan, karena hal tersebut merupakan realitas dari masyarakat Indonesia. Diskursus yang dimaksud adalah pembicaraan mengenai topik realitas Pemilu pada kelompok-kelompok di masyarakat yang selama ini terpinggirkan dari diskursus di media.
Pemutaran film-film dokumenter Pemilu 2004 ini berfungsi sebagai pengantar dan pembanding terhadap isu yang akan dibicarakan dalam diskusi screenDocs!. Dari diskusi ini, diharapkan bisa diperoleh jawaban mengenai pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana realitas pemilih dalam berbagai kelompok di masyarakat dalam Pemilu 2004? Apa harapan masyarakat Indonesia terhadap Pemilu 2004? Presiden seperti apa yang diharapkan terpilih nantinya berdasarkan “pembacaan” pembicara terhadap kelompok-kelompok tersebut?
Pembicara: Dave Lumenta (Antropolog, pernah membuat film dokumenter tentang Dayak Iban di perbatasan Indonesia dan Malaysia di pulau Kalimantan), Tantyo Bangun (sutradara film “Acang, Obeth dan Pemilu), Masrur Jamaludin (sutradara film “Sing Penting Nyoblos”), Syaiful Halim (sutradara film “Saat Menebar Mimpi”), dan Dandy F. Montegmary (kamerawan film “Politik Tengku”).
Moderator: Ignatius Haryanto (penulis dan pemerhati perkembangan media)
FILM SCREENING Sing Penting Nyoblos Indonesia 2004 · Filmmakers: Masrur Jamaludin, Muchtar Mukimin, Iswahyudi · English subtitle · 24 min
Tiga perempuan yang bekerja di pasar Bringharjo, Yogyakarta, membawa kita pada pandangan unik mereka mengenai pemilu. Wanita tidak berpendidikan, bekerja sebagai buruh, mengungkapkan makna pemilu bagi mereka, dan menggambarkan secara dekat bagaimana mereka membuat pilihan. Partai-partai politik bersaing untuk meraih dukungan, menawarkan uang, kaus dan janji-janji. Ketika hari pemilu semua harus memberikan pilihannya. Tiga anggota dari sektor masyarakat paling terpinggir di Indonesia ini mungkin bingung mengenai proses-proses politik, namun suara mereka sejajar posisinya dengan suara-suara orang lain. Apakah makna pemilu demokratis bagi mereka yang merasakan bahwa hidupnya semakin hari semakin sulit, dan bagi mereka yang berusaha melihat perubahan yang telah dibuat oleh pilihan mereka sebelumnya? Pembuat film mengikuti ketiga wanita tersebut dalam usaha mereka untuk memahami proses pemilu yang rumit.
Politik Teungku Indonesia 2004 · Filmmakers: Nur Raihan, Dendy F. Montgomery, Muchtaruddin Yakob · English subtitle · 24 min
Harapan atas pemilihan yang bebas dan jujur di Aceh meredup oleh prospek untuk memberlakukan hukum militer. Ada beberapa wilayah yang dianggap aman pada saat pemilihan akan berlangsung, beberapa wilayah tidak. Film ini menyorot usaha seorang ulama – Tengku Baihaqi – yang ingin memenangkan kursi di DPRD. Berkampanye sangatlah sulit. Banyak kandidat yang takut untuk berkampanye secara terbuka, takut menjadi sasaran dari pihak-pihak yang ingin mengganggu proses pemilihan. Pembuat film mengikuti sang ulama ketika sedang berkampanye.
Acang, Obeth dan Pemilu Indonesia 2004 · Filmmakers: Tantyo Bangun, Budi Satriawan, Herman · English subtitle · 24 min
Setelah beberapa tahun mengalami konflik etnis dan religius, Ambon memasuki tahun 2004 dengan damai. Konflik telah berkurang dan kedua komunitas mulai membangun kembali hidup mereka. Tetapi bersamaan dengan mulainya kampanye, timbul kekhawatiran jika Pemilu mungkin mendatangkan ketegangan kembali dan membuka luka lama. Pembuat film mengikuti satu kandidat yang berharap dapat memainkan peran dalam menyatukan kembali komunitas-komunitas di Ambon yang terpecah belah. Junaedi, seorang Muslim, adalah seorang kandidat untuk PDI-P, partai yang mayoritas anggotanya di Ambon adalah orang-orang Kristen. Film ini melihat usahanya untuk menarik pemilih dari penganut agama yang lain.
Pembuat film kembali ke Ambon tidak berapa lama setelah pemilu, ketika pertikaian muncul di propinsi yang bermasalah. Apakah kekerasan itu ada kaitannya dengan pemilu, atau hanya peringatan unhappy bahwa masih banyak pekerjaan membangun damai yang harus diselesaikan?
Saat Menebar Mimpi Indonesia 2004 · Filmmakers: Syaiful Halim, Syamsul Fajri, Ferry Kaendo · English subtitle · 24 min
Bambang Warih Koesoema adalah kandidat untuk DPD di Jakarta. Mantan anggota Golkar ini adalah politikus berpengalaman, karena pernah menjadi anggota DPR sampai tahun 1995 ketika ia di-recall. Tapi kali ini ia akan berkampanye dengan usaha sendiri: merekrut volunteer dan merencanakan strategi kampanye.
Pembuat film mengikuti Bambang selama kampanye. Mereka menangkap nilai-nilai tingginya – bercakap-cakap dengan rakyat biasa di daerah kumuh dan kampung-kampung – dan juga nilai rendahnya – keletihan dan frustasinya ketika kampanye berlangsung. Film ini juga mengangkat isu DPD itu sendiri. Bagaimana institusi baru ini bekerja? Dapatkah institusi ini benar-benar berpengaruh terhadap bagaimana politik dijalankan di Indonesia? Beberapa kritikus yang diwawancara dalam film ini berkata bahwa walaupun ide awal di belakang pembentukan DPD adalah bagus, dalam kenyataannya akan terbukti mengecewakan. Apakah mimpi Bambang Warih Koesoema berjalan ke arah yang sama?
Waduh! Kata Pak Quraish Shihab sebagai seorang muslim yang baik seharusnya tidak golput euy, karena di antara dua pilihan--walopun sama-sama jelek--pasti ada yang lebih sedikit jeleknya. Sayah jadi sedikit bimbang, padahal tadinya udah niat mo golput.
Gue? Iya, gue yang menghabiskan bermenit-menit (berjam-jam?) argumen dengan sali dan Wildan menjelaskan kenapa menurut gue kita harus milih, gue yang bikin iklan dan film tentang Pemilu, gue yang menganggap ide Pemilu masih lebih baik dari--let say--revolusi, mau golput?
Masalahnya gini. Gue menganggap Mega dan SBY tidak layak untuk jadi Presiden. Seperti gue bilang ke Hamdan, dua-duanya sama-sama jelek, cuma jeleknya beda. Ah ya, itu nurut gue aja sih. But the point is, tidak memilih adalah statemen gue bahwa dua-duanya gak layak pilih. Walopun statemen yang gak diwaro, mungkin :(
Tapi saya nonton ScreenDocs kemaren, yang muter film-film dokumenter tentang Pemilu. Ada 4 film, sebenarnya semua pernah diputer di MetroTV tapi saya gak nonton empat-empatnya dan baru nonton kemarin.
Saat Menebar Mimpi. Tentang perjalanan kampanye kandidat DPD Jakarta Bambang Warih Kusuma. Yang bikin reporter/produser(?) Buser. Kalo ngikutin perjalanannya Pak Bambang ini, menarik sekaligus miris ngeliat dia keluar-masuk pemukiman kumuh mencoba meraih orang-orang yang gak tau apa itu DPD, mencoba sok akrab tapi walau gimanapun tetap berjarak.
Politik Teungku. Tentang Pemilu di Nangroe Aceh Darussalam di mana orang-orang takut mencalonkan diri karena--simply--takut jadi sasaran GAM yang katanya pingin mengacaukan Pemilu. Ulama Dayah/Teungku (pemuka agama) apalagi, karena masih ada anggapan bahwa politik itu "kotor". Padahal menurut Teungku Boy (panggilan filmmaker-nya untuk Teungku Baihaqi, tokoh utama film ini), kan harus ada orang yang "bener" yang nyalonin diri.
Acang, Obeth dan Pemilu. Tentang Pemilu di Ambon related dengan konflik separatis di sana. Jujur nih, gue terkantuk-kantuk berat nonton film ini sehingga cuma ngeh awal sama akhirnya doang (Bukan masalah filmnya sih, guenya aja cape kurang tidur, gak ada temen lagi. Hamdan baru dateng pas film terakhir.).
Sing Penting Nyoblos. Wah, ni film lucu banget. Tentang tiga orang ibu-ibu buruh Pasar Bringharjo Jogja dan pandangan mereka terhadap Pemilu. Dari awal emang pingin banget nonton film ini. Pingin liat sisi lain, target audiens film gue.
Gue baca di koran minggu-minggu ini statemennya Irma Hutabarat, "perempuan pilih perempuan" (ok, mungkin gak sesederhana itu atau wartawannya salah ngutip atau gimana, but that's the point). Sialan! Itu kan judul skrip gue! Walopun akhirnya judulnya diganti sama Pattiro (the NGO we made the movie for).
Eh, gue loncat ya. Jadi ceritanya bulan Januari kemaren gue sama anak-anak GTV bikin film pendidikan untuk pemilih perempuan. Sebenarnya dari beberapa nara sumber kita waktu itu, mereka malah gak setuju sama "perempuan milih perempuan" itu. Pilih yang berkualitas, bukan perempuan atau laki-lakinya. Tapi dasar pemikiran gue waktu itu adalah keterwakilan perempuan sangat rendah. Jadi milih calon berkualitas adalah satu kebaikan, milih calon perempuan adalah satu kebaikan yang lain. Dan 5 April kemarin gue pilih empat-empatnya perempuan kok, walopun gak ngaruh ternyata karena katanya sih calon terpilih yang menuhin BPP (artinya calon yang beneran kepilih langsung, bukan karena urutan partai) cuma Hidayat Nur Wahid.
Kalo liat Sing Penting Nyoblos itu sih mudah-mudahan film gue lumayan kena. Ada poin gak usah milih sama dengan suami, misalnya. Gue sih (with the script) gak emphasize untuk memilih, tapi nara sumbernya yang mengajak begitu--soalnya mereka caleg sih ;P
Dari empat film itu sebenarnya gue dapet benang merah bahwa Pemilu tuh gak gitu-gitu amat. Tadinya gue mo nanya ke filmmaker-nya, "Apakah kalian emang mulai dengan prejudice itu?". Tapi ada orang lain yang nanya lebih saklek dari gue. Dari empat orang itu, yang pertama bilang Pemilu itu bullshit. Yang kedua bilang rada skeptis sama Pemilu tapi karena tiga bulan ngikutin Pak Bambang Warih jadi ikutan nyoblos. Yang bikin Acang... dan Sing Penting... bilang Pemilu ok-ok aja.
Jadi inget tulisannya Ekky Syachrudin yang ngebandingin Pemilu di Indonesia sama di Kanada. Nurut dia Pemilu di Kanada lebih substansial karena orang liat program, bukan rame-ramenya kayak di sini. Kayanya sih bener, tapi gue ngeliatnya Pemilu di Indonesia tuh bener-bener pesta rakyat. Entah karena doktrin 32 taun Orde Baru atau gimana, default-nya rakyat Indonesia tuh gak disuruh pun pasti nyoblos (bahkan kalo denger cerita tentang Pemilu '55 pun kayak gitu). Liat aja Pemilu 5 April kemaren ramenya kayak gimana.
Balik lagi ke "perempuan milih perempuan" itu, huh! Nyebelin banget! Beda konteks gitu antara Pemilu Legislatif sama Pemilu Presiden. Kalo legislatif kan kita milih banyak dari banyak. Masalah pewacanaan aja. Kalo presiden kan we suppose to choose the best (or in this case, the least worst). Hehe, kenapa gue merasa harus membela diri gini ya? Gak penting sebenarnya.
Programme Experiences: Election Documentaries - Indonesia
Summary In July 2004, Indonesia's METRO TV broadcast short documentaries in an effort to highlight what the 2004 elections meant to Indonesians in Aceh, Ambon, Yogyakarta, and Jakarta. In partnership with Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia (YMMFI)'s In-Docs, the non-profit organisation Internews Indonesia sponsored 15 Indonesian journalists and independent filmmakers to produce the documentaries.
Main Communication Strategies This programme involved the production of 5 television documentaries about the 2004 Legislative and Presidential elections. Four of the 5 films were aired on METRO TV - one film per day - from July 6 to July 9. The fifth film, a look at the Presidential race, was scheduled to air at a later date. The documentaries were also scheduled to be shown at film festivals throughout Indonesia in July and August 2004.
This programme was centred on community participation. Internews Indonesia and In-Docs launched an Elections Documentary Grants Program in August 2003 with a call for submissions published in the Kompas newspaper. In November, a selection committee chose the 5 best story ideas of the 38 submissions.
The televised films were broadcast in Bahasa Indonesian. For the Jakarta film fest screenings, English subtitles were added. While the films covered a wide range of themes, all focused on the life of ordinary Indonesians during extraordinary times. The filmmakers explored the courage of people campaigning for office in areas of conflict; looked at the elections through the eyes of labourers who struggle to make sense of a political system that seems to ignore their needs; and introduced viewers to the newest layer of government through the eyes of a candidate as he campaigns in Jakarta.
Specifically, the July 6 film ("Nonetheless I Punch (Sing Penting Nyoblos)") featured 3 uneducated, labouring women working in Bringharjo Market, Yogyakarta sharing their views about the elections, revealing what the elections mean to them, and offering an insight into how they make their decisions. The July 7th broacast ("Tengku's Politics (Politic Tengku)") followed the efforts of an ulama - Tengku Baihaqi - as he tries to spread his campaign message, and appeals to the voters to go to the polls. The July 8 film ("Acang-Obeth's Politics (Politik Acang-Obeth)") focused on ethnic and religious conflict between two communities. As campaigning started, there was concern that the elections might revive tensions, and reopen old wounds. The filmmakers followed one candidate who hopes to play a part in reconciling Ambon's divided communities...Finally, the July 9 film, ("Time to Spread a Dream (Saat Menebar Mimpi)") followed one candidate, Bambang Warih Koesoema, as he campaigned on his own, recruiting volunteers and devising his campaign strategy.
In addition to awarding grants that covered all aspects of the production of the documentaries, Internews and In-Docs conducted technical and story development training sessions with each group. An ongoing mentoring process followed the training, with editorial support provided by In-Docs and technical support by Internews. In-Docs and Internews were on hand for all stages of the filmmaking process: pre-production planning and design, shooting and production, and post-production editing and sound mixing. In this way, training was tied to the practicalities of making the documentaries a reality.
Development Issues Political Development.
Key Points These films are also part of the 6th annual Jiffest (Jakarta International Film festival) running from December 3 - 12 2004 at 10 Jakarta theatres. During the course of this festival, 130 films from 30 countries were to be shown. The Election Documentaries form part of the "All About Indoensia" programme.
Internews Indonesia is a non-profit organisation that promotes independent media, trains journalists and station managers in the standards and practices of professional journalism, produces radio programming and Internet content, and advocates for media laws that respect freedom of expression. Internews programmes are based on the conviction that vigorous and diverse mass media form an essential cornerstone of a free and open society. In-Docs is an integrated programme of Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia (YMMFI); the aim is to create an environment where film professionals can communicate and network, and audiences can discover and think.
Partners Internews Indonesia and YMMFI/In-Docs. Funded by the United States Agency for International Development (USAID), and the Communication Assistance Foundation - Stichting Communicatie Ontwikkelingssamenwerking (CAF/SCO).
For more information, contact: Wayne Sharpe Chief of Party/Resident Advisor Internews Indonesia Tel.: (62-21)392 3030 Fax: (62-21)392 2255 Mobile: (62-81) 115 2799 wsharpe@internews.org
Source Media release sent from Wayne Sharpe (Internews Indonesia) to The Communication Initiative on July 2 2004; and email from Wayne Sharpe to The Communication Initiative on December 3 2004.
Berbagai permasalah ekonomi, sosial, dan politik, di tanah air, pada akhirnya berdampak pada nilai-nilai atau norma di tengah masyarakat. Lebih khusus, menyangkut rasa kebersamaan yang telah pupus. Film ini mencoba menggambarkan situasi sebuah nagari di kawasan Batusangkar, Tanah Datar, Sumbar, yang pernah dijadikan uji-coba oleh Badiklit Depsos. Bagaimanakah gambaran nilai-nilai kebersamaan itu?
MAtaHAti production & Badiklit DEPSOS (Producers); Ratna S. Halim (In-line Producer); Bagoes Ilalang (Director/Script Writter]; Michael Torro [Cameraman]; Aria Hans Kertapati [Editor]; Suparyono [Production Assistant/Researcher]; Christ Sunu (Narator].
Berbagai permasalah ekonomi, sosial, dan politik, di tanah air, pada akhirnya berdampak pada nilai-nilai atau norma di tengah masyarakat. Lebih khusus, menyangkut rasa kebersamaan yang telah pupus. Film ini mencoba menggambarkan situasi dua desa di kawasan Lembang, Jawa Barat, yang pernah dijadikan uji-coba oleh Badiklit Depsos. Bagaimanakah gambaran nilai-nilai kebersamaan itu?
MAtaHAti production & Badiklit DEPSOS (Producers); Ratna S. Halim (In-line Producer); Bagoes Ilalang (Director/Script Writter]; Michael Torro [Cameraman]; Aria Hans Kertapati [Editor]; Suparyono [Production Assistant/Researcher]; Christ Sunu (Narator].
This film told about Kaka when he visited Baduy Village in Desa Kanekes, Banten. He intervieued Jaro Daenah and find some unique culture and places.
Film ini bercerita tentang Kaka yang mengunjungi Perkampungan Suku Baduy di Desa Kanekas, Banten. Ia mewawancarai Jaro Daenah dan mendapatkan budaya dan tempat-tempat nan unik.
Syaiful H. Yusuf & Syamsul Fajri [Executive Producer]; Ratna S. Halim & Agusto Perez [Producer]; Agusto Perez [Director]; Bambang Setiabudi [Cameraman]; Sibulan [Editor]; Kaka [Talent]; Iwan Nitnet [Guest Star].
OTHERS:
Duration: 24 minutes; Language: Indonesian/English (with English subtitles); Colour: Colour; Production Year: 2004.
Pang Tjin Nio is a member of Cina Benteng community at Tangerang, Banten. She has been a singer for traditional orchestra called Gambang Kromong since her youth. She is a portrait of a hard-worker, traditional artist and member of isolated and minority group. In her eighties, she still performs on stages, collided with liquor, dancers or wayang cokek, and anxiety for the future of Gambang Kromong.
Pang Tjin Nio adalah warga Komunitas Cina Benteng di Tangerang, Banten, yang sejak remaja hingga sekarang menjadi penyanyi Gambang Kromong. Ia adalah gambaran wanita pekerja keras, seniman tradisional, serta warga kelompok minoritas dan terpinggirkan. Di usianya yang melewati 80 tahun, ia masih bernyanyi dari satu panggung ke panggung lain; di antara minuman keras, para wayang cokek, dan kegalauan akan masa depan kesenian Gambang Kromong.
Syaiful H. Yusuf (Producer/Director/Cameraman]; Koqo Ferrizqo [Editor]; Jumhaedi Sukanta & Suyatma Nada [Production Assistants]; Ratna S. Halim [Archival Producer]; Suparyono [Researcher].
OTHERS: Duration: 29 minutes; Language: Indonesian (with English Subtitles]; Colour: Colour; Production year; 2006.
Available in DVD with English subtitles (contact to: matahatipro@yahoo.com)
Mimi Rasinah is one of legendary traditional artist in Indonesia. She is a mask dancer and until about 80 old year, she is still dancing. This film shows all her activities: teaches her students, dances in some places, and daily activites as an old woman. One statement; she ia a pearl and always try to be a pearl forever.
Mimi Rasinah adalah satu dari seniman tradisional legendaris di Indonesia. Dia adalah penari topeng dan hingga usianya mendekati 80 tahun, ia tetap menari. Film ini menunjukkan seluruh aktivitasnya; mengajar para siswanya, menari di sejumlah tempat, dan jefiatan sehari-hari sebagai perempuan tua. Satu pernyataan; ia adalah mutiara yang selamanya ingin menjadi mutiara.
Syaiful H. Yusuf [Producer & Director]; Michael Torro [Cameraman]; Aria Hans Kertapati & Koqo Ferrizqo [Editors]; Tommy RV Lesar [Soundman]; Jumhaedi Sukanta [Production Assistant]; Jackson Sinaga [Boom Operator].
OTHERS: Duration: 26 minutes; Language: Indonesian [with English Subtitles]; Colour: Colour; Production Year: 2005.
SCREENING: Jiffest 2005 Festival Film Pendek Konfiden 2006 Gorontalo TV Makassar TV
Available in DVD with English subtitles (contact to: matahatipro@yahoo.com)
Reruntuhan bangunan di Kawasan Ulee Lheu menghampat tanpa batas. Sejauh mata memandang hanya terlihat puing-puing, bendera merah-putih yang kusam, pohon-pohon yang tumbang, dan suasana miris lainnya. Inilah Nanggroe Aceh Darussalan, tiga bulan setelah tragedi tsunami terjadi.
Musibah tsunami di Aceh pada 26 Desember 2005 bisa jadi bencana terbesar di dunia selama abad ini. Paling tidak, bila hal ini dilihat dari jumlah korbannya yang mencapai 200.000 jiwa dan kerusakan fisik di banyak tempat. Adakah cerita lain yang diungkap paska bencana itu?
Maka, “ATJEH LON SAYANG”lah jawabannya.
Melalui karakter Tengku Reza Indria (seniman muda), kita akan disuguhkan rekaman dan penafsiran tentang musibah demi musibah yang terus saja menggelontor ke tanah Serambi Mekah. Reza mencatat, musibah itu dimulai dari perang-perang suku sebelum Belanda memecah-belah kesatuan warga Aceh. Setelah itu, di zaman Orde Baru, Aceh menjadi Daerah Operasi Militer (DOM), yang juga menguras air mata warga Aceh. Lepas dari DOM, kita dapati Aceh sebuah daerah konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah, hingga provinsi itu ditetapkan sebagai Daerah Darurat Militer. Klimaks bencana kemanusiaan itu, tentu saja, musibah tsunami 26 Desember 2005!
“Meskipun warga Aceh terus ditimpa kemalangan dan musibah terus-menerus, tapi mereka terus diberi ketabahan dan kekuatan. Inilah hebatnya orang Aceh,” papar Tengku Reza Indria.
Lepas dari Reza, kita akan mendapati seorang anak yatim korban tsunami bernama Munawar. Umurnya 12 tahun. Orangtuanya tewas digulung ombak tsunami. Lalu, ia dtampung di sebuah dayah (pesantren) asuhan Ustadz Tengku Abdul Razak.
Dari mulut Munawar, kita akan mendengar kembali penuturan peristiwa mengenaskan itu. Untuk melengkapi cerita Munawar, beruntung para filmmaker telah mendapat footage “cantik” yang mendekati kronologis yang dituturkan oleh Munawar.
“Beruntung teman-teman di Banda masih menyimpan rekaman gambar, yang belum dijual ke stasiun televisi. Sehingga, saya bisa mengolahnya untuk dipadukan dengan cerita yang belum utuh,” tutur Ratna S. Halim, produser eksekutif “ATJEH LON SAYANG”.
Menurut filmmakernya, film tersebut memang dibuat tanpa perencanaan. Ketika dua kru komunitas itu mendpat tugas ke Aceh untuk sebuah stasiun televisi, mereka hanya mengumpulkan gambar-gambar reruntuhan akibat tsunami. Bahkan, setelah dua kaset terisi penuh kedasyatan dampak bencana itu, mereka tetap belum menentukan premis atau film statementnya.
Rancangan cerita baru muncul, setelah mereka berbicara panjang dengan Tengku Reza Indria saat menggelar ubat atee dengan kelompok “Bangkit Aceh”nya. Perlahan-lahan ada pesan yang ingin dihadirkan, yang daya tahan dan kekuatan warga Aceh dengan segala masalahnya. Premis itu makin kuat, setelah filmmaker bertemu dengan Munawar dan gurunya, ustadz Tengku Abdul Razak.
Selain penuturan ketiga orang karakter; Tengku Reza Indria, Munawar, dan Tengku Abdul Razak, film ini juga menyuguhkan aktivitas ketiganya dengan dunianya masing-masing. Tengku Reza Indria dengan kelompok “Bangkit Aceh”nya, Munawar dengan kesehari-hariannya di dayah, dan juga aktivitas Tengku Abdul Razak di dayah.
Kekuatan utama “ATJEH LON SAYANG”, tentu saja, pada footage-footage yang dulu marak di hadapan televisi. Ketika di putar di layar Jiffest 2005, ada penonton yang mengkritisi filmmaker bahwa tampilan footage itu membuat “ATJEH LON SAYANG”jadi mirip berita. Tapi, saya sangat yakin, itulah harta karun yang akan bercerita di kemudian hari. Atau, ia juga tetap sangat menarik bagi orang yang tidak pernah melihat suasana bencana. Karena kebetulan, pengkritisi bermukim di Jakarta dan akrab dengan cerita-cerita seputar tsunami.
Namun, lepas dari kelemahan pada elemen-elemen cerita dan celah di sana-sini, film dokumenter ini layak mendapat perhatian bukan karena ide dan aktualitasnya. Tapi, keberanian menampilkan struktur cerita yang tak lazim; tiga kisah dengan kehidupannya masing-masing. Selang-seling jadinya. Tapi, kekayaan etnografi Aceh dengan nasyid dayah yang khas sekali, menjadi perekat yang ampuh. Sehingga, kita tidak terasa tengah dipindah-pindah dari satu bangunan ke bangunan lain.
Keberanian filmmaker untuk lepas dari pakem berita yang harus bernarasi, juga membuat kita jadi leluasa menikmati gambar dan suara. Sehingga, pada akhirnya, toh kita diberi keleluasaan pula untuk menafsirkannya. Memang gado-gado yang disuguhkan. Tapi, kita tetap berhak memilih bagian mana yang layak disantap. Karena itu. Kita pun bisa leluasa pula untuk meraih mutiara-mutiara yang berada di balik cerita.[]
A MAtaHAti production -- a SYAIFUL H. YUSUF film – TENGKU REZA INDRIA, MUNAWAR, TENGKU ABDUL RAZAK – Produced & Directed by: SYAIFUL H. YUSUF – Camera-persons: YON HELFY & SYAIFUL H. YUSUF – Edited by: KOQO FERRIZQO – Production Designed by: SYAIFUL H. YUSUF – Production Manager: RATNA S. HALIM – Researcher: SUPARYONO
Duration: 24 minutes; Language: Indonesian & Acehnese [with English Subtitles]; Colour: Colour; Production Year: 2006.
Bambang Warih Koesoema is a candidate for the DPD in Jakarta. The former Golkar man is already an experienced politician, having been a member of the DPR until his recall in 1995. But this time he will be campaigning on his own, recruiting volunteers and devising his campaign strategy. The filmmakers follow Bambang throughout the campaign. They capture his high points - talking to ordinary people in slums and kampungs - and the low points - his exhaustion and frustration as the campaign proceeds. The film also tackles the issue of the DPD itself. How will this new institution work? And can it really have an impact on how politics is conducted in Indonesia? Critics interviewed in the film suggest that while the initial idea behind the DPD was good, the reality will prove to be disappointing. Will Bambang Warih Koesoema’s dream go the same way?
Bambang Warih Koesoema adalah kandidat untuk DPD di Jakarta. Mantan anggota Golkar ini adalah politikus berpengalaman, karena pernah menjadi anggota DPR sampai tahun 1995 ketika ia di-recall. Tapi kali ini ia akan berkampanye dengan usaha sendiri: merekrut volunteer dan merencanakan strategi kampanye.Pembuat film mengikuti Bambang selama kampanye. Mereka menangkap nilai-nilai tingginya – bercakap-cakap dengan rakyat biasa di daerah kumuh dan kampung-kampung – dan juga nilai rendahnya – keletihan dan frustasinya ketika kampanye berlangsung.Film ini juga mengangkat isu DPD itu sendiri. Bagaimana institusi baru ini bekerja? Dapatkah institusi ini benar-benar berpengaruh terhadap bagaimana politik dijalankan di Indonesia? Beberapa kritikus yang diwawancara dalam film ini berkata bahwa walaupun ide awal di belakang pembentukan DPD adalah bagus, dalam kenyataannya akan terbukti mengecewakan. Apakah mimpi Bambang Warih Koesoema berjalan ke arah yang sama?
PRODUCTION TEAM: Internews-InDOCS-PJTV [Producers];Shanty Harmain, Horea Salajan, Abduh Aziz [Executive Producers]; Becky Lipscombe [Senior Producer]; Syaiful H. Yusuf [Producer/Director/Script Writter/Narrator/Additional Cameraman]; Ferry Kaendo [Cameraman]; Syamsul Fajri [Editor/Additonal Cameraman]; Agus Suwoto [Additional Cameraman]; Harry Roesly [Music]; Ratna S. Halim & Suparyono [Researchers].
OTHERS: Duration: 24 minutes; Language: Indonesian (with English Subtitles]; Colour: Colour; Production Year: 2004.
SCREENING: Metro TV Jiffest 2004 Election Documentary Film Roadshow
Films Transit Films Transit is one of the worlds leading international distributors of quality documentaries in two specific genres: Arts & Culture and Society and Politics. Generally looking for two types of documentaries: EPIC features docs, with more cultural rather than social-political subjects and URGENT docs, TV hour length films on strong, provocative and contemporary subject matters.
Actual Films Produce critically acclaimed documentaries for TV and theaterical release. Made documentaries for PBS, Discovery, Arte, BBC etc.
Aerial Productions Produce provocative documentary films on important global topics. Also films about personal accounts of extraordinary stories.
Danish Film Institute National agency responsible for supporting and encouraging film and cinema culture. Handle producing & development,marketing,distribution of Danish films
Norwegian Film Institute Objective of NFI is to preserve, distribute and support Norwegian and foreign films
International Documentary Association (IDA) Mission of IDA is to promote nonfiction film and video around the world by supporting and recognizing the efforts of documentary filmmakers, increasing public appreciation and demand & providing a forum for documentary makers, their supporters and suppliers.
ITVS (Independent Television Service) ITVS's mission is to create and present independently produced programs that engage creative risks, advance issues and represent points of view not usually seen on public or commercial television.
PBS (Public Broadcasting Service) A public non-profit media enterprise owned & operated by the the US' 348 public television stations
Discovery Channel the most widely distributed television brand in the world, reaching 475 million homes in more than 160 countries.Potrays real people in extraordinary endeavors.
ThinkFilm Company Launched by Jeff Sackman the current President and CEO.ThinkFilm distributes films in theaters and DVDs.
Buku-Buku Film Dokumenter
“An Introduction to Television Documentary – Confronting Raelty” (Richard Kilborn & John Izod, Manchester University Press, 1997)
“Directing the Documentary” (Michael Rabiger, Focal Press, 1997)
“Documentary for the Small Screen” (Paul Kriwaczek, Focal Press, 1997)
Buku-Buku Jurnalistik Televisi
“ABC Paket Berita TV” (PJTV, Internews Indonesia, 2001)
“BIAS – A CBS Insider Exposes How the Media Distort the News” (Bernard Goldberg, Perrenial, 2002)
“Broadcast Journalism – Techniques of Radio & TV News” (Andrew Boyd, Focal Press, 1994)